Innocent

Strifer Saviour
Chapter #17

Terjebak

“Semua baik-baik saja?” seru pemimpin desa L’aile. Raut wajahnya serius. Menoleh ke segala arah untuk mencari tanggapan.

“Kami baik-baik saja,” jawab warga desa bergantian.

Syukurlah. Gempa kali ini tidak terlalu kuat.. Terima kasih, Dewa Calsell,” batin pemimpin desa.

Semua warga yang mulanya di dalam rumah kini berhamburan keluar. Berkumpul di depan kediaman pemimpin desa. Mereka terlihat terlatih menghadapi bencana.

“Ada yang terluka?” tanyanya lagi.

“Tidak. Semuanya baik-baik saja,” jawab beberapa warga.

“Ada yang tahu dari mana gempa ini berasal?”

“Kelihatannya dari arah hutan sebelah utara,” sahut salah seorang pemuda.

“Hutan selatan belum pernah terjadi gempa sebelumnya. Apa ini pertanda dari dewa pelindung?” celetuk warga lain.

“Tunggu, bukankah hutan selatan dekat dengan gua penyimpanan peti harta simpanan desa?” pikiran sang pemimpin desa langsung tertuju pada seorang pemuda berambut biru dan gadis berambut merah.“Apa mereka baik-baik saja, ya?” batinnya.

“Memangnya ada apa?” salah satu warga bertanya

“Aku khawatir dengan harta simpanan kita,” pemimpin desa menyembunyikan alasannya. Entah kenapa ketika mengatakannya, ia terdengar seperti orang yang sedikit serakah. “Aku akan kesana memeriksanya.”

“Tidak, biarkan kami yang kesana. Kau adalah pemimpin desa. Tugasmu hanyalah menjaga dan memimpin.”

“Karena itulah aku tak bisa membiarkan kalian berada dalam bahaya!” pemimpin desa sedikit berteriak.

Suasana mendadak hening. Bahkan angin pun tak berhembus. Para warga saling berbisik sehingga terdengar mirip desisan.

“Ferry, Rian, Diki. Kalian akan ikut bersamaku. Bawa busur dan anak panah kalian. Temui aku di selatan desa!” perintah pemimpin desa.

***

Pemimpin desa bersandar di sebuah pohon dengan batang seukuran tubuhnya seraya menanti ketiga orang lainnya. Kicauan burung terdengar jelas. Seakan lupa dengan apa yang terjadi beberapa hari lalu, hutan tertiup angin kencang sehingga nyaris terbang.

“Berapa lama kau menunggu?” suara seseorang menggantikan kicauan burung yang sedari tadi mengisi liang telinga.

tiga orang berdiri di sampingnya. Dua orang membawa busur di tangan dan anak panah sekitar 20 buah di punggung, seorang lagi memegang tombak di tangan kanan. Mereka terlihat sebaya dengan pemimpin desa.

“Belum lama,” jawabnya datar. “Sebaiknya kita segera berangkat!”

Mereka berempat masuk ke dalam hutan. Tidak ada percakapan hangat. Semuanya hanya diam membisu. Makin mereka masuk, cahaya makin berkurang dan lebih lembap. Mereka terlihat menambah tingkat kewaspadaan. Di hutan ini hanya terdapat sedikit hewan, dan hampir semuanya merupakan bertipe racun. Sehingga mereka tak bisa berburu untuk mendapatkan bahan makanan.

“Kalian tidak diijinkan  mati di sini sekarang. Keluarga di rumah menunggu kepulangan kalian,” seru pemimpin desa tiba-tiba.

Tiga orang lainnya pun sontak mengarahkan pandangannya ke asal suara dan menatapnya aneh.

“Kau pikir sedang bicara dengan siapa?” tanya Diki.

Rambut hitam sebahunya yang berkilau bergoyang tertiup angin. Menyunggingkan senyum hangat dibawah kumis yang lumayan tebal.

“Jangan samakan kami denganmu. Kami belum berkarat sedikit pun,” imbuh Ferry.

“Apakah menjadi pemimpin desa membuatmu melemah, Gilang?” Rian mengalungkan tangannya ke leher kepala desa. “Kita tetap akan menjadi prajurit terkuat L’aile sampai kapanpun.”

“Padahal aku hanya mengkhawatirkan kalian,” Gilang berucap datar.

“Simpan rasa khawatirmu untukmu sendiri yang belum menikah di usiamu yang sekarang.” Rian menggosok puncak kepala Gilang sambil tertawa keras menghina. Ferry dan Diki ikut tertawa terbahak-bahak. Pemimpin desa benar-benar kehilangan kewibaannya di depan teman masa kecilnya. Kini ia tak lebih dari seorang perjaka 27 tahun.

“Sudah lama sekali sejak kita bisa bersenda gurau seperti ini,” ucap Diki.

“Kau benar, baik aku, kau dan Rian sudah berkeluarga. Sementara Gilang sibuk sebagai pemimpin desa. Waktu-waktu seperti ini belum tentu datang setiap setahun sekali.”

Mereka tersenyum hangat secara bersamaan setelah mendengar ucapan Ferry. Daun-daun yang berserakan diatas tanah beterbangan tertiup angin seakan turut berbahagia bersama empat sekawan itu.

Mereka melanjutkan perjalanan. Kini suasana terasa lebih ramah lantaran tiap derap kaki diikuti canda dan tawa. Tak seperti beberapa saat lalu, yang hanya diam bisu dan saling bersikap dingin. Bahkan Gilang selaku pemimpin desa yang dikenal tegas dan kaku menjadi ceria dan tertawa lepas khusus untuk hari ini.

Suara semak yang bergesek meluncur ke liang telinga mereka. Secepat kilat berbalik dan menghadap ke arah asalnya suara. Kemudian mundur beberapa langkah menjauh. Riki dan Ferry yang berdiri paling belakang mengambil anak panah dan bersiap menembakannya kapanpun.

Tiba-tiba suara itu berhenti dan semak dimana bunyi itu berasal, kini kembali diam dan tak bergerak sedikitpun. Namun itu tidak menurunkan tingkat kewaspadaan mereka berempat.

Suasana hening cukup lama. Bahkan angin tak mau bertiup.

“Tunjukkan wujudmu, hewan liar!” teriak Rian seraya melemparkan batu sebesar kepalan tangan ke semak tadi. Tepat setelah batu itu lenyap di puluhan daun dan ranting semak, sesosok hewan berbulu hitam dengan punggung hingga kepala berwarna putih meloncat keluar dari baliknya. Besarnya setara seekor singa dewasa, taringnya yang mencuat keluar dari bibir meneteskan air liur. Cakar-cakar hitam nan panjang menghiasi tiap masing-masing jarinya.

Hewan itu berlari ke arah Rian yang berdiri paling depan dengan begitu cepat. Riki dan Ferry menembakinya beberapa kali. Semua anak panah memang berhasil menancap di tubuh hewan yang penuh bulu itu. Bahkan darah turut mengalir. Mewarnai tubuhnya dengan warna merah.

Namun ia tak berhenti sedikitpun. Mungkin hewan itu tak memiliki rasa sakit. Makin dekat dengan Rian, hewan itu menerkam dan mengayunkan kaki depannya yang penuh cakar ke arah wajah Rian.

Rian menahan serangan hewan itu dengan tombaknya yang digenggam di atas kepalanya. “Maaf saja. Tapi aku belum ingin mati sekarang, Retal!”

Gilang melompat sambil menyabetkan pedangnya. Seketika wajah Retal menyemburkan darah segar. Sebagian menciprati wajah dan baju Gilang. menimbukan bercak merah.

Retal terjatuh dengan posisi berbaring. Namun segera bangkit lagi. Meski empat anak panah menembus tubuhnya, ia masih bisa bergerak seagresif itu seperti tak merasakan sakit. Retal memang terkenal hewan paling nekat. Ditambah lagi taringnya mengandung racun yang berbahaya karena kebiasaannya memakan ular dan kalajengking. Jika tak ingin mati, mereka harus waspada dan menjaga jarak.

Retal membuka mulutnya lebar-lebar. Menunjukkan deretan gigi-gigi runcingnya dan mengeluarkan suara mendesis mirip ular. Ia bersiap untuk kembali menyerang.

Ferry dan Diki terus menembakinya dengan panah. Beberapa mengenai wajah dan mata hewan liar itu. Rian dan Gilang maju berlari bersamaan ke arah si Retal. Gilang melompat dan mengayunkan pedangnya secara horizontal, menyayat sebagian lehernya. Mengaum keras, mulutnya terbuka lebih lebar dari sebelumnya.

 Rian menusuk mulut hewan itu dengan tombak yang digenggamnya hingga menghancurkan tenggorokan dan kerongkongannya. Seketika hewan itu tak bergerak sebelum akhirnya roboh dengan mulut yang mengalirkan cairan merah kental.

“Terima kasih, Dewa Calsel!” ucap Gilang seraya menghela napas.

Hutan ini dihuni oleh hewan-hewan beracun sehingga warga L’aile lebih memilih mencari ikan dan bertani. Namun anehnya, meski jarak hutan dan desa hanya berjarak sekitar 150 meter, tidak pernah ada insiden penyerangan hewan pada warga desa. Bahkan nyaris tak ada hewan yang menginjakkan kaki di tanah L’aile.

Mereka benar-benar percaya bahwa Leyra sembahan mereka, Dewa Calsell akan selalu melindungi desa selama mereka menyembahnya.

Mereka sampai di gua yang dituju. terbelalak mendapati pintu masuk tertutup oleh bebatuan besar. Lubang masuk itu kini begitu rapat seperti tanpa celah, seakan cahaya pun tak bisa menyelinap diantaranya.

“Apa-apaan ini?” teriak Rian sembari berlari.

Mencoba mencongkel bebatuan itu berharap bisa membuka jalan meski sedikit. Ia terus berusaha meski tahu kemungkiannya sangat sedikit. Otot-otot di lehernya sampai menggumpal.

“Gawat, apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita tidak bisa bertransaksi dan membeli bahan makanan tanpa harta simpanan kita. Karena cuaca belum sepenuhnya membaik, ikan-ikan di perairan L’aile belum kembali.”

“Ferry benar, ditambah lagi karena badai beberapa hari lalu kita juga mengalami gagal panen,” imbuh Riki. Ia terdiam sejenak. “Tunggu, kuda siapa ini?” tanyanya ketika melihat seekor kuda tegap lengkap dengan pelana dan tali pengikat yang tersimpul rapi di sebuah batang pohon.

“Sepertinya aku pernah melihatnya,” kata Gilang. “Itu adalah kuda milik dua orang pengambara yang kuminta mengambilkan harta simpanan kita.”

Mendengar ucapan Gilang, Rian membanting tombaknya. Berjalan cepat ke arah Gilang dengan wajah yang terlihat marah. “Apa katamu?” ia mencengkeram kerah baju merah cerah Gilang. Mendorongnya hingga punggung pemimpin desa itu membentur sebuah pohon. “Kau membiarkan orang luar tahu tempat vital bagi desa kita? Lebih dari itu kau menyuruh mereka pergi ke sini untuk mengambilkan harta kita. Bagaimana jika mereka mencuri harta yang telah kita kumpulkan sekian lama? Di mana otakmu?” suaranya terdengar keras. Guratan wajah murkanya makin tampak jelas.

“Aku merasakan aura hangat mirip Raja Ageis dari pemuda berambut biru. Sorot matanya pun tidak menunjukkan bahwa ia memiliki maksud buruk,” jelas Gilang.

Bahkan Ferry dan Diki tak berkutik di hadapan Rian yang merah telinga.

“Jadi kau melakukannya atas dasar perasaanmu? Bukan berdasar akal sehat? Aku tidak tahu kenapa warga desa memilihmu sebagai pemimpin. Kenapa kau tidak meminta kami mengambilnya?”

“Aku memiliki firasat buruk. Dan itu terbukti dengan adanya gempa tadi,” Gilang menatap mata Rian dalam. “Percayalah padaku, mereka akan kembali membawa harta simpanan kita. Jika mereka tak kembali, kau boleh memotong lidahku, tanganku, bahkan leherku.”

“Gilang benar, jika kita bersikeras menyingkirkan batu ini kita mati kelelahan karena bahan makanan kita nyaris tidak ada. Apalagi akan membutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikannya,” kata Ferry.

Cengkeraman Rian perlahan melemah. “Kau sebegitu percayanya pada orang luar itu. Seperti bukan dirimu yang biasanya.” Ia akhirnya melepaskan tangannya. Berbalik memunggungi Gilang. “Akan kupegang kata-katamu. Jika mereka tidak kembali sampai petang besok, aku sendiri yang akan memenggalmu.” Rian mengancam.

“Sekarang sebaiknya kita kembali ke desa dan mengadakan ritual pemujaan untuk dewa Calsell,” usul Ferry.

“Aku setuju. Dewa Calsell pasti akan membantu kita.” Riki mengiyakan.

Warga L’aile memiliki tingkat kepercayaan sangat tinggi pada Leyra sembahan mereka, Dewa Calsell.

***

“Zael, Uriel, dan Rach berbalik arah. Menelusuri kembali isi gua yang pernah mereka lalui demi menemukan jalan keluar lain. Jalan yang ditempuh mereka sedikit lebih sulit. Pijakan batu tersusun menurun serta tidak rata. Jikalau salah melangkah, bukan tidak mungkin kaki mereka akan terkilir atau kemungkinan terburuk mereka bisa saja terjatuh dan menggelinding langsung ke dasar tanpa perlu lelah berjalan kaki dan tewas.

Makin ke bawah, keadaan makin lembap. Pun penerangan hanya mengandalkan api yang berkobar di telapak tangan Uriel. Mau tak mau mereka harus lebih memerhatikan tiap langkah yang mereka pilih.

“Rach, apakah kau yakin lewat sini?” Zael mulai meragukan insting Rach lantaran mereka menemui jalan buntu.

“Aku yakin. Tapi aneh sekali. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya,” jawab Uriel.

“Mungkin ada pintu tersembunyi dibalik dinding ini. Ayo kita coba mendorongnya!” ajak Uriel.

Mereka berdiri sejajar dengan jarak tiak lebih dari satu jengkal tangan. Mulai menempelkan telapak tangan mereka masing-masing ke permukaan dinding gua yang diduga tersembunyi pintu rahasia.

“KREEEK!”

“Apakah hanya aku yang mendengar bunyi sesuatu yang retak?” tanya Uriel datar.

Lihat selengkapnya