Innocent

Strifer Saviour
Chapter #18

Pahlawan

Beberapa warga berlayar dengan perahu nelayan. Mereka hendak membeli bahan makanan di desa seberang. Mayoritas penduduk desa tujuan adalah peternak dan petani. Ditambah lagi, jaraknya lumayan jauh sehingga bisa dipastikan desa itu tak akan terkena dampak puting beliung yang terjadi beberapa hari lalu.

Zael dan Uriel diperlakukan bak raja dan ratu. Duduk sejajar dengan Gilang selaku pemimpin desa. Namun Uriel lebih memilih berkumpul dengan perempuan sebayanya. Ia merasa ini adalah kesempatan emas untuk bertingkah layaknya gadis pada umumnya, membicarakan sesuatu dengan gadis lain. Selama ini yang ia lakukan hanyalah bertahan hidup dan melarikan diri dari prajurit dan bandit bayaran.

Usai membahas banyak hal dan mulai akrab, seorang gadis menanyakan sesuatu pada Uriel. “Hei-hei Uriel, siapa nama pacarmu itu?”

Nampaknya penduduk L'aile sangat mudah bergaul dan ramah.

“Pa-pacar?” Uriel nampak gugup serta panik. “Maksudmu Zael? Dia... bukan pacarku.”

“Kenapa wajahmu memerah, Uriel?” tanya gadis yang lain.

“Dia lumayan manis, ya?”

Uriel diberondong berbagai pertanyaan. Ia tak tahu harus menjawab yang mana terlebih dahulu.

“Oh… kau bukan pacarnya, ya. Boleh aku jadi pacarnya[n1] ?” tanya gadis lain lagi.

“Tidak!!!” Uriel berteriak sangat keras.

Para gadis yang berbicara padanya terkejut dan menembakkan pandangan ke arah Uriel, bahkan orang-orang yang tak ambil bagian dalam pembicaraan turut melakukan hal yang sama.

Uriel benar-benar merasa malu setengah mati tatkala puluhan pasang mata mengarah padanya. Bahkan jika ada lubang, ia ingin menguburkan dirinya dalam-dalam saking malunya.

Beruntung, mata orang-orang itu teralihkan dengan kedatangan para pria yang pergi membeli bahan makanan beberapa waktu lalu. Nampak mereka memikul sekarung padi, membawa dua ekor kambing hidup, dan bermacam sayuran segar hasil pertanian.

Setelah menyadari itu, para wanita baik tua maupun muda bergegas berkumpul di sebuah rumah. Hendak mengolah bahan-bahan itu menjadi makanan.

Saling bahu-membahu, mereka mengerjakannya dengan cekatan. Untuk saat itu, semua wanita desa L'aile menjadi koki dadakan.

Uriel duduk termenung sendirian. Teman bicaranya tengah sibuk. Sebenarnya ia sangat ingin membantu. Tapi ia tidak memiliki kemampuan memamasak. Terakhir kali Uriel melakukannya, ia malah berakhir memakan kelinci yang menjadi abu. Dan muntah-muntah selama dua jam. Sejak saat itu, ia hanya memakan buah-buahan dan makanan yang sudah siap makan.

Uriel duduk sembari memandang kesibukan mereka berteman kesendirian.

Beberapa saat berlalu. Makanan sudah tersaji dan ditata apik di tengah desa. Semua penduduk L’aile berkumpul mengelilingi makanan.

Setelah tak makan selama dua hari, waktu seperti ini sangatlah dielukan oleh semua penduduk. Dan hal ini tak akan terjadi tanpa Zael dan Uriel.

Di tengah lingkaran, berdiri Gilang.

“Warga L'aile tercinta!” serunya. “Kita telah melalui masa sulit selama dua hari. Puji Leyra, Dewa Calsell mengirim dua pengembara untuk menyelamatkan kita. Mereka adalah Zael dan Uriel. Kepada mereka mari kita doakan semoga tujuan mereka tercapai. Doa dipimpin oleh Priest Cleris,”

Seorang gadis berbaju serba putih berjalan mendekati pemimpin desa. Aura suci terpancar tatkala ia melangkahkan kakinya.

“Wahai dewa pelindung, Dewa Calsell maha agung. Tarima kasih atas berkatmu. Jadikanlah kemudahan bagi jalan kedua pengembara itu. Lindungi mereka dibawah langitmu.” Priest itu berdoa dengan suara yang lembut dan nyaman didengar. Seakan mengajak hati terbang ke angkasa. 

Usai berdoa, Gilang mempersilahkan semua yang hadir menyantap hidangan di depan mereka[n2] .

Bau lezat terbang di udara, memperkuat nafsu makan. Hidangan yang tersaji diserbu oleh manusia berbagai usia. Meski begitu, mereka sangat tertib. Mengutamakan anak-anak dan orang tua.

Wajah riang terpancar begitu jelas. Pesta itu merupakan puncak kebahagian.

Namun tidak dengan Zael. Wajahnya tetap mengesankan keterpurukan. Kala semua orang gegap gempita, ia hanya duduk memandangi mereka.

Bahkan setelah yang terjadi, Uriel bisa kembali ceria dalam waktu singkat, batin Zael seraya menatap Uriel juga ambil bagian dalam kegembiraan mereka.

***

Pesta berakhir. Gilang memanggil Uriel dan Zael ke rumahnya.

“Karena sudah larut, aku tak bisa membiarkan kalian pergi sekarang. Di sebelah barat rumah ini ada rumah yang tak terpakai. Kalian bisa tinggal di sana sementara,” ujarnya ramah.

“Terima kasih banyak,” ucap Uriel.

Mereka berdua tiba di depan pintu rumah yang dikatakan pemimpin desa. Keseluruhan bangunan itu terbuat dari kayu. Kala masuk ke dalam, Uriel amat terkejut. Bagian dalam rumah itu sangat terawat, bersih, serta rapi. Tak mencerminkan sebuah rumah yang ditinggal pemiliknya.

Aku tidak pernah menyangka akan bisa tidur di kasur lagi setelah sekian lama hanya tidur di tengah hutan beralas tanah dan rumput, ucapnya dalam hati sembari tersenyum kecil.

Tidak terlalu luas memang. Tapi lebih dari cukup untuk mereka berdua bermalam.

“Rumah ini akan sempurna jika ada lebih dari satu kamar,” uriel bergumam.

“Tidak masalah. Aku bisa tidur dimana saja. Kau bisa menggunakan kamarnya,” sahut Zael datar.

“Te-terima kasih.”

Uriel mulai tak nyaman sekaligus khawatir dengan sifat Zael yang sekarang.

Sampai lewat tengah malam, Zael tetap membuka matanya. Tak sekalipun rasa kantuk menyerang. Atau mungkin rasa sakit dan kehilangan telah menaklukan penat yang melanda. Zael hanya menyesalinya selama semalaman. Duduk tertelungkup seraya memandang kosong ke lantai kayu.

Decitan pintu terdengar dari kamar Uriel, gadis itu keluar rumah. Awalnya Zael tak memperdulikannya. Baru ketika suara goresan pisau di kulit kayu muncul cukup lama, ia lekas berdiri dan memeriksanya.

Uriel berhadapan dengan sebuah pohon besar. Nampak tangan kanannya memegang pisau dan mengukir susuatu di batang.

Zael berjalan pelan, menghampiri gadis itu. Manik Zael melebar mendapati abjad bertulis ‘Rach’ terukir di batang pohon.

“Apa yang kau lakukan?”

Uriel sedikit terkejut dengan keberadaan Zael. Kemudian tersenyum. “Ini adalah caraku untuk mengenang mereka yang telah meninggal,” jawabnya. “Rach bukan manusia, dan lagi dia hidup sebatang kara. Namanya tak akan dikenali oleh siapapun. Karena itu ... aku ingin mengingat sebanyak-banyaknya tentang Rach. Memang waktu kita bersama hanya sebentar, tapi ... dia adalah monster berhati manusia. Dia jauh lebih baik hati dari manusia.”

“Tapi kau hebat, Uriel.” Zael menunduk. “Kau tetap bisa seceria itu setelah kematian Rach. Kau pasti sudah terbisa dengan kematian orang di dekatmu. Mengingat semua keluarga dan penduduk desamu telah dibantai.”

Pisau yang dipegang Uriel jatuh menancap di tanah. “Tetap ceria? Terbiasa?” Uriel menampar pipi Zael begitu keras. Pemuda itu sampai terhuyung-huyung. “Bagaimana aku bisa terbiasa dengan kematian orang yang berharga untukku? Aku memang telah menyaksikan nyawa orang-orang yang kusayangi direnggut di depan mataku. Tapi....” Uriel memandang mata biru tua Zael dengan mimik sedih. Air mata mengucur dari kedua sudut mata yang awalnya tak menunjukkan kesedihan sedikitpun. “Kehilangan salah satu temanku yang kutemui di perjalanan ini sangat menyakitkan. Aku berpura-pura ceria untuk menghilangkan rasa sedihku. Tapi semakin kucoba, aku malah semakin mengingatnya. Dan dadaku terasa sangat sesak.”

Betapa bodohnya aku. Menangis dan menyesali tak akan menghidupkan Rach kembali. Hal yang sama juga berlaku pada ayah,” batin Zael. “Aku memang bodoh. Aku sama sekali tidak peka dengan perasaan Uriel jadi selama ini ia terus menahan kesedihannya?.

Tangan Zael mengepal. Ia melayangkan pukulan pada pipinya sendiri hingga jatuh terduduk. Ia mengaduh kesakitan.

“Zael, apa yang kau lakukan?”

“Yang tadi itu hanya untuk menyadarkanku.” Zael berdiri kembali.

Uriel membuang muka. “Jika ... aku mati, apa kau juga akan sesedih itu?” tanya Uriel.

“Tentu saja aku akan sangat sedih,” jawab Zael tanpa ragu. “Uriel, berjanjilah padaku kau tidak akan mati!”

Uriel tersentak. Kemudian tersenyum. “Dan berjanjilah, Zael. Jangan sampai namamu yang kuukir di batang pohon!”

Keduanya saling mengaitkan kelingking. Perlambang mengikat janji.

Zael mulai kembali pada dirinya. Matanya yang mulanya sayu dan sedikit sembab, kini nampak bersinar. Mengesankan semangat. Ia mulai bisa bangkit dari keterpurukan berkat Uriel.

Bersamaan dengan Uriel yang mengelap air matanya, fajar mulai tiba. Perlahan menyinari mereka dan segala benda disekitarnya.

***

Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan memasak bersama. Mungkin lebih tepatnya, mengajari Uriel memasak. Meskipun baru pertama kali, dia sangat buruk.

Jarinya teriris saat mengupas bawang, wajan terbalik saat menggoreng telur, sup terbakar, nasi goreng yang berakhir jadi bubur.

Zael bahkan nyaris menyerah mengajarinya.

***

 “Jadi? Apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?” tanya Gilang.

Uriel dan Zael menghadap pemimpin desa, awalnya berniat pamit dan berterimakasih. Namun tampaknya tak semudah yang mereka kira.

“Kami akan melanjutkan perjalanan kami,” jawab Zael.

“Kemana?”

“satu-satunya tempat yang belum kami datangi, kerajaan tempur, Tempera.”

“Aku dengar disana sangat ketat. Selain penduduk asli dan orang berkepentingan tidak diperbolehkan melewati gerbang,” tutur Gilang. “Lagipula untuk sampai ke Tempera kau harus menyeberangi laut. Bagaimana kau kesana?”

“Aku ...” mimik Zael tenang, nampaknya ia telah merencanakan itu. “Belum memikirkan sampai sejauh itu.”

Suasana hening sesaat.

“Hei! Kau gila, ya?” teriak Gilang dan Uriel bersamaan.

“Apa kau pikir kita akan berenang sejauh tiga kilometer untuk ke sana?” bentak Uriel.

Gilang, sang pemimpin desa berdeham. Ia mencoba bersikap bijaksana. “Aku bisa meminta seseorang untuk mengantar kalian ke sana. Itu jika kalian....”

“Tentu saja kami mau.” Potong Uriel penuh semangat.

Gilang tersenyum kecil. “Aku suka gadis yang langsung ke intinya sepertimu, Uriel,” puji Gilang.

“Dan aku tidak suka pria berumur yang belum menikah-menikah,” balas Uriel.

“Berisik!” bentak pemimpin desa. “Padahal aku memujimu, tapi kau malah membalasnya dengan hinaan.”

***

Zael, Uriel, dan Sera berdiri di pantai. Menghadap lautan.

“Uriel!” panggil Zael lembut.

“Hmmm!”

“Jika kau ingin mundur, inilah saatnya. Tempera adalah pihak yang paling mengincarmu. Kau bisa pergi dan menemukan hal lain yang berharga untukmu.”

“Aku adalah penyihir dan aku sudah bersumpah untuk mengikutimu kemanapun kau pergi. Kami, para penyihir menganggap sumpah sama berharganya dengan nyawa,” jawab Uriel. Dan lagi... aku sudah menemukan hal yang berharga dalam hidupku, lanjutnya dalam hati.

“Terima kasih.” Zael kembali membuang pandangan ke laut. “Satu lagi, Uriel. Jika aku tetap tidak menemukan apapun di Tempera, kurasa aku harus merelakan diriku untuk dihukum mati. Dan saat itu terjadi ... aku ingin mau tetap hid....”

“Itu tak akan terjadi. Kita pasti menemukan pelakunya. Kau sudah berjanji kemarin malam untuk tetap hidup agar aku tak mengukir namamu di batang pohon.” Uriel memasnag wajah kesal. Bukan, tapi kecewa karena Zael pesimis.

Tak ada dialog lagi. Hanya deburan ombak menghantam perahu yang terdengar. Disusul sebuah bunyi langkah kaki diatas butiran-butiran pasir putih, kian mendekat.

“Hai! Perkenalkan, aku Riki, orang yang diperintah pemimpin desa mengantar kalian ke Tempera.”

Orang yang mengaku bernama Riki terlihat lebih ramah dan bersahabat. Telanjang dada dengan perawakan sedikit lebih berisi dari Zael.

Tanpa banyak bicara, mereka berempat naik ke sebuah perahu penangkap ikan bertenaga dayung manual. Ya, empat, karena Sera juga turut.

“Aku sudah lama sekali tak melihat Tempera.”

“Sudah lama? Jadi paman pernah kesana sebelumnya?” tanya Zael.

“Ayolah! Mungkin usiaku hanya sekitar sepuluh tahun lebih tua dari kalian. Jadi aku merasa tak nyaman dipanggil paman,” ucap Riki. “Ya. Aku pernah kesana. Dulu sekali. Saat Tempera masih menguasai semua wilayah dibawah pimpinan Raja Vorn.”

“Bukankah itu sudah lama sekali?” sergah Uriel. “Itu sekitar 20 tahun yang lalu.”

“Tepat. Dan saat itu aku berusia 8 tahun.” Riki menjelaskan. “Aku masih ingat ketika Raja Ageis dan Raja Legna masih seumuran dengan pemuda berambut biru itu. Mereka ingin mempersatukan seluruh wilayah dan menentang tirani Tempera. Awalnya banyak yang memusuhi mereka karena tidak ada yang berani macam-macam dengan Raja Vorn.”

Lihat selengkapnya