Innocent

Strifer Saviour
Chapter #19

Pengungkapan

“Uriel... aku juga menyayangimu. Aku ingin siapapun melukaimu. Cukuplah kau menderita selama ini. Aku ingin memberikan kebahagiaan untukkmu,” ucap Zael lirih. Rangkaian kata Zael terdengar begitu indah di telinga Uriel, begitu hangat di hati. “Terima kasih karena telah memberikan cintamu, UriielTapi maaf, aku sudah terlanjur mengucap janji dengan seorang gadis untuk menikahinya sebelum bertemu denganmu. Andai saja kita bertemu lebih awal, mungkin saja perasaan kita akan bersatu dan akhirnya menikah.”

Memang suara Zael terdengar lebih halus dan lembut, namun rasanya sangat sakit di hati Uriel. Terasa seperti ditusuk ribuan pedang. Hatinya hancur berkeping-keping.

***

Uriel menangis tersedu-sedu, sendirian di gelapnya malam. Ia memutuskan untuk enyah dari hadapan Zael untuk sementara. Ia mencoba menyatukan kepingan-kepingan hati yang terburai.

“Betapapun lembut dan halus kau mengatakannya, penolakan akan selalu menyakitkan.”

Penyihir terakhir dan terkuat yang berhasil mengalahkan puluhan prajurit dan bandit kini tak lebih dari gadis biasa yang ditolak cintanya.

***

“Maafkan aku, Uriel. Aku pasti sudah menyakitimu. Aku tak akan kaget jika kau tiba-tiba pergi dariku atau lebih buruk lagi, membunuhku. Aku tak keberatan.”

Uriel muncul kembali di hadapan Zael. Suasana mendadak canggung sejak kejadian tadi.

“Ayo kita ke Rapshodus!” seru Uriel penuh semangat seperti biasa.

Zael terkejut. Kemungkinan seperti ini tak pernah dipikirkan olehnya. Uriel sanggup bangkit dari keterpurukan dalam waktu yang singkat. Padahal terakhir Zael melihatnya, Uriel tampak seperti orang yang pasra dengan kematiannya.

“Uriel....”

“Aku tak bisa memaksakan perasaanmu. Tapi setidaknya, aku ingin bersamamu selama mungkin.” Uriel tersenyum, “Gadis itu pastinya sangat beruntung.”

Zael membalas senyumnya. “Terima kasih, Uriel.”

Mereka kembali menunggangi Sera. Sebelumnya,

Mereka melihat beberapa sampan dan kapal laut yang berbaris di tepi pantai milik pedagang. Zael berniat menyeberangi laut dengan salah satu darinya.

Beruntung, terdapat sebuah sampan yang berukuran cukup untuk mereka bertiga tumpangi.

Zael lekas mendayung sampannya usai Sera dan Uriel menaikinya.

Belum sampai sepuluh dayungan, kelemahan Zael muncul. Ia muntah hebat ke permukaan air. Tubuhnya terlihat lemas dan wajahnya sedikit pucat.

Uriel tertawa melihat tingkah Zael. Bahkan setelah apa yang terjadi, Uriel tetap menjadi Uriel, gadis baik hati yang kuat dan tegar.

“Biar aku saja yang mendayung, Zael. Kau cukup duduk dan menikmati perjalanan.”

“Bagaimana bisa aku menikmatinya? Perjalanan ini pastilah penuh dengan derita tiada akhir,” kata Zael dengan suara lemas lesu.

Uriel kembali melepaskan tawanya. Dalam hati, ia berucap, Terima kasih, Zael. Berkatmu aku bisa merasakan cinta dan akhirnya... aku seperti perempuan pada umumnya. Aku bersumpah akan menjaga perasan ini selamanya. Aku akan menjadi perisai yang melindungimu, aku akan menjadi panah yang selalu mendukungmu.

***

Beberapa saat yang lalu terjadi sebuah ledakan di luar dinding Rapshodus. Seluruh prajurit dan ksatria istana disiagakan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Alastor memimpin pasukan yang berjaga di depan gerbang. Seorang perajurit ditugaskan untuk memeriksa keadaan. Sayang, setelah sekian lama ia belum kembali. Hal yang mungkin terjadi adalah serangan kerajaan lain atau lebih parahnya sebuah kudeta.

Namun kemungkinan itu terkikis bersamaan dengan munculnya manusia bersayap yang muncul di Tempera.

“Siapa kau? Apa ledakan tadi adalah ulahmu?”

“Aku Logard, datang untuk memimpin dunia baru. Menyerahlah dan mengabdilah padaku! Tinggalkan raja lemah itu! maka kalian[n1]  akan menjadi bagian dari duniaku.”

Alastor mulai berpikir bahwa lawan di depannya bukanlah manusia biasa. Bagaimana bisa seorang manusia berani menghadapi sebuah pasukan yang terdiri dari dua ribu orang seorang diri?

Ribuan pasukan yang dipimpin Alastor tetap pada posisi. Tak gentar secuilpun. Sekitar dua ratus orang pemanah bersiap di puncak dinding sedangkan lainnya merupakan pasukan berkuda dan prajurit berpedang.

“Kami adalah ksatria dan prajurit Rapshodus. Mengucap sumpah setia pada Raja Legna. Jikalau harus mati, maka kami memilih mati sebagai pahlawan!” seru Alastor untuk membakar semangat tempur pasukannya.

Lihat selengkapnya