Akhirnya usaha keras Zael membuahkan hasil. Ia melihat Melyra duduk tertelungkup bersandar sebuah pohon. Rambut pirang Melyra membuat Zael yakin bahwa gadis itu sungguh Melyra
Zael mendekatinya. “Anda baik-baik saja, tuan putri?”
Yang ditanya perlahan mendongak. Dilihatnya sosok pemuda dengan rambut dan baju berwarna biru berdiri di hadapannya. Meski remang, Melyra merasa bahwa mata Zael berkaca-kaca. Tidak, dia memang menangis. Itu adalah air mata kebahagian.
Melyra bangkit dan memeluk Zael dengan erat higga mereka berdua sedikit susah bernapas.
“Aku percaya kau pasti akan datang, Zael.” Melyra pun tak kuasa menahan tangis. Ia menumpahkan air matanya di pundak Zael. “
“Terima kasih sudah menungguku.”
Di tengah reuni mengharukan mereka, ledakan terdengar cukup dekat. Membuat Zael segera melepas pelukannya pada Melyra dan menarik tangan Melyra untuk lari secepatnya. Ia yakin bahwa itu adalah makhluk bersayap yang mengejar Melyra. Mau tak mau mereka harus menyudahinya.
Berada di hutan berdua dengan Zael menciptakan sedikit nostalgia akan kenangan mereka dulu.
Tangan Zael begitu besar, kokoh, dan hangat.
Usai berlari cukup jauh di tengah hutan, mereka berhenti untuk istirahat sejenak. Malam itu begitu terang dikarenakan berepatan dengan bulan purnama. Ditambah lagi pepohonan tak terlalu rimbun.
“Melyra, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ucap Zael.
Melyra malah canggung dan sedikit penasaran. Pastinya yang ingin dibicarakan Zael di saat genting seperti ini adalah sesuatu yang sangat penting.
Zael menatap dalam ke manik Melyra. Membuat jantung putri Rapshodus itu makin berdebar.
“Melyra, aku... “ Zael berhenti sejenak. Menghembuskan napas panjang, kemudian menutup mata dan berteriak, “pernah tak sengaja melihatmu telanjang saat mandi!”
Sontak wajah Melyra memerah karena malu yang tak tertahankan. “Zael mesum! Kurang ajar! Mata keranjang! Kenapa harus kaukatakan di saat seperti ini?” caci Melyra sembari memukuli Zael dengan kepalan tangannya yang halus lagi putih. Zael pum mengaduh kesakitan.
“Ini sangat penting bagiku. Aku selalu ingin memberitahumu tentang ini, tapi aku belum siap. Aku tak tahu kapan aku akan mati, jadi kurasa hal ini harus disampaikan secepatnya. Aku tak ingin mati dengan penyesalan.”
Melyra menghentikan pukulannya. Bahkan setelah perjalanan panjang, kau tetap tak berubah, Zael. Selalu jujur dan apa adanya, itulah yang membuatku jatuh cinta padamu.
“Melyra, ayahmu....”
“Hentikan, Zael. Aku tak ingin menangis. Aku tak ingin menyesali pengorbanannya.”
Zael tersenyum. “Kau sudah berubah, Melyra. Sekarang kau adalah sosok gadis yang kuat. Aku rasa kau sudah tidak memerlukan perlindunganku lagi.”
“Tapi aku ingin selalu berada di sampingmu, Zael,” ucap Melyra.
“Aku juga begitu.”
Dari kejauhan, Zael mendengar sesuatu mendekat, ia segera menarik Melyra untuk berada di belakangnya. Pemuda itu mengeluarkan pedangnya dan memasuki mode tempur. Sesungguhnya ia tahu bahwa rak mungkin untuknya mengalahkan manusia bersayap itu. Tapi keinginan untuk melindungi Melyra lebih besar dari rasa takutnya.
Melyra terlihat ketakutan sembari memeluk pisau Zael. Dia telah melihat sendiri bagaimana mengerikannya makhluk itu, yang mampu membunuh semua prajurit Rapshodus.
“Ternyata kau disini, Zael?”
Rupanya itu adalah Uriel yang menunggangi Sera. Zael menghembuskan napas lega.
“Kau tiba-tiba pergi begitu saja. Sebenarnya ada apa?” sambung Uriel.
“Kau tahu? Aku hampir saja menebasmu tadi. Bagaimana caramu menemukanku?”
“Tadi terdengar ledakan dari arah sini, jadi aku segera kemari.”
Melyra dan Uriel saling bertatapan. “Siapa gadis itu, Zael” tanya kedua wanita itu bersamaan.
Zael menoleh ke Uriel, kemudian ke Melyra. Dia bingung harus menjawab mana terlebih dahulu.
“Anu... Uriel, perkenalkan dia Melyra, putri kerajaan Rapshodus. Dan Melyra, perkenalkan dia adalah Uriel, penyihir terakhir yang menemaniku selama perjalanan.”
Gadis penyihir ini terlihat kuat. Dia pasti bisa melindungi Zael. Tidak sepertiku yang hanya bisa membebaninya. Ditambah lagi, dia juga cantik.
Putri Rapshodus? Dia sangat cantik, pakaiannya sangat mewah, kulitnya begitu putih, tak sepertiku. Aku tak akan terkejut jika Zael jatuh cinta padanya.
Suasana menjadi canggung dan hening.
“Mungkin... sebaiknya kita bersembunyi di tempat yang aman untuk sementara,” ujar Zael memecah keheningan. “Jika makhluk itu sampai menemukan kita, kemungkinan besar dia akan membunuh kita semua.”
“Dan sayangnya kalian terlambat untuk melarikan diri.” Sebuah suara berat serta sedikit serak muncul dari langit. Sosok pemilik suara itu mendarat dengan menebas pohon-pohon yang menghalanginya
Bertubuh mirip manusia dengan sepasang sayap putih, bertelanjang dada, berambut perak panjang, mata dengan manik berwarna merah, dan membawa sebuah pedang.
Bulu kuduk Zael berdiri, kakinya gemetaran oleh ketakutan yang belum pernah dirasakannya. Kami terlambat.
“Aku akan langsung ke intinya,” kata Makhluk bersayap itu. “Serahkan Putri Melyra dan kalian akan kubiarkan hidup.”
Zael menguatkan rahangnya agar tak bergetar karena ketakutan yang luar biasa ini. “Siapa sebenarnya kau?” tanya Zael
“Baiklah, sebelum kau menerima tawaranku sebelumnya, akan kujawab pertanyaanmu. Aku adalah Logard.” Ia memegang dagunya. “ Mungkin kalian lebih mengenalku sebagai dewa kekuatan dan kebanggan, Dewa logard.”
Dada Zael, Melyra, dan Uriel terbelalak bersamaan. Rasa tak percaya tertanam kuat meskipun itulah kenyataannya. Siapa yang menyangka salah satu Leyra yang disembah Tempera malah membunuh para bangsawan di seluruh penjuru negeri.
Sebuah bola api terbang ke arah Logard. Ia tak tinggak diam. Diarahkannya telunjuknya pada bola api itu. Kilatan berwarna merah bercampur hitam muncul dari ujung jarinya. Menghantam bola api dan meledak.
“Apa yang kau lakukan, Uriel?” bentak Zael.
Uriel tak mengindahkan Zael sama sekali. Wajahnya menunjukkan mimik murka yang begitu menakutkan. “Jadi certa tetang Leyra memang benr adanya, ya?” Ia berjalan sampai ke depan Zael. “Kau tahu berapa banyak kaumku yang dibantai oleh penyembahmu? Aku akan membalaskan dendam mereka. Membunuh seorang dewa bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan setiap hari.
Untuk pertama kalinya, Zael merasakan hawa membunuh yang sangat kuat terpancar dari Uriel, bahkan membut bulu kuduknya merinding.
“Jadi penyihir masih tersisa, ya?” kata Logard sedikit merendahkan.
“Aku yang terakhir dari kaumku.”
“Jadi… kau membenciku?”
“Sangat. Aku membencimu sampai ke tulang.”
Tiba-tiba Logard tertawa begitu keras. “Jadi kau marah pada penciptamu?” ucapnya sembari tetap tertawa.
“Maaf saja. Aku tak percaya dongeng tentang penciptaan dunia oleh 4 Leyra yang diyakini oleh pengikut sekte.”
“Biar kuperjelas. Leyra memang tak menciptakan dunia. Tapi kami yang menciptakan penyihir.”
Pernyataan Logard membuat Uriel, Zael, dan Melyra terkejut.
“Apa maksudmu?” Zael menegaskan.
“Seperti yang kau dengar. Leyra-lah yang menciptakan penyihir.”
“Omong kosong. Bagaimana bisa makhluk yang tak menciptakan dunia bisa menciptakan makhluk hidup?” Uriel tetap teguh pada keyakinannya.
“Daripada menciptakan, mungkin kata yang lebih tepat adalah membuat.” Kalimat Logard sangat sulit dipahami oleh ketiganya.
“Sebenarnya apa maksudmu?” Melyra angkat bicara.
“Apa satu-satunya perbedaan penyihir dan manusia biasa? Tentu saja kemampuan sihir. Dan apa kau tahu darimana asal sihir?”
Suasana tiba-tiba senyap. Kalimat Logard yang diakhiri dengan tanda tanya tak mampu dijawab baik oleh Melyra, Zael, bahkan Uriel.
“Apakah kalian pikir masuk akal jika seseorang terlahir dengan bakat kemampuan sihir begitu saja? Kalian pasti berkata bahwa sihir diturunkan melalui keturunan. Tapi siapa yang memulainya? Dan kapan itu dimulai?” tanya Logard lagi.
Uriel mulai goyah dengan keyakinan, dendam, dan amarahnya. Kini ia menjelma menjadi anak-anak yang mendengarkan kisah sebelum tidur yang dibacakan ibunya.
“Kami para Lisera atau yang dianggap sebagai dewa di dunia inilah yang memberikan berkat itu. Dan kejadian itu telah terjadi sekitar 250 tahun yang lalu.”
“Apa alasan kalian menciptakan penyihir? Apa keuntungan yang kalian peroleh?” tanya Zael.
“Manusia adalah makhluk yang lemah. Mereka mudah melupakan sesuatu, tak mampu menggunakan sihir, dan tak bisa terbang. Salah satu dari kami, Ficarraz berinisiatif untuk memberikan sedikit mana, energi untuk mampu menciptakan dan menggunakan sihir pada beberapa manusia yang lemah.”
Tiba-tiba Uriel jatuh berlutut. Ia menunduk dengan pandangan kosong. Bagaimana ia bisa membunuh orang yang memberinya kekuatan? Itu seperti ia harus menghancurkan jantungnya sendiri. Ia tak memiliki peluang untuk menang.
Zael merasa iba dengan Uriel. Tapi tak lantas ia membungkuk dan menolong Uriel. Ia memiliki cara sendiri untuk menolong Uriel.
“Apa yang kau lakukan di saat seperti ini, Uriel?” ujar Zael. “Memangnya kenapa jika dia adalah sumber sihir? Aku akan menghajar siapapun yang membuatmu menangis.” Zael menatap tajam kea rah Logard. Rasa takut kini menjelma menjadi amarah.
Zael mulai sadar bahwa kejadian buruk yang menimpanya dan orang-orang disekitarnya bersumber dari orang di depannya.
Mata Uriel melebar. Ia tersentuh oleh beberapa kalimat ang keluar dari mulut Zael. Ia bangkit kembali. Menghapus air mata yang hendak menetes. “Terima kasih, Zael,” Uriel dengan lirih. “Aku akan bertarung bersamamu.”
Aku tidak salah jatuh cinta padamu, Zael. Kau selalu bisa membuat orang lain bangkit, batin Melyra.
“Tidak, Uriel. Aku akan melawannya sendirian. Pergilah bersama Melyra.”