Pulau Nusakambangan, Lapas Besi, Hari Senin, pukul 21.00
Petugas membuka gembok sel, empat orang di dalamnya menatap orang baru yang akan bergabung. Mereka diam, tak sepatah kata pun terucap, bahkan setelah pemuda dua puluh lima tahun itu sudah masuk ke dalam kurungan besi bersama mereka.
Satu pria gondrong dengan tato naga di wajah kanannya terbatuk. Ia berdiri, mendekati napi yang baru bergabung, tepat di samping kanan.
"Kenapa Lo bisa ke sini?" Nada bertanya si pria gondrong cukup keras. Bau mulutnya pun terasa menyengat, terlihat juga giginya yang kekuningan.
Pemuda dengan kulit sawo matang itu hanya menatap ke arah luar sel sambil memegang besi yang mengurungnya.
"Buat apa tanya?" Tanpa menoleh si pemuda itu bertanya. Tatapannya hanya fokus ke depan, layaknya orang yang sedang melamun.
Pria gondrong itu kembali duduk bersandar pada tembok. Wajahnya menyeramkan, tapi tak berpengaruh terhadap pemuda baru. Tak lama kemudian orang baru itu berjongkok, masih memegang besi dengan kedua tangan, lantas tetesan air dari matanya membasahi kedua pipinya, ia pun terisak.
"Eh, buat apa Lo nangis?" tanya pria gondrong sambil berdiri, lalu membantu si pemuda berdiri untuk menghadap ke yang lainnya. "Lo liat tuh si Cristian, nanti jam dua belas bakal mati. Si Ahmad, dua hari lagi juga koid. Terus si Udin, bandar narkoba, sama kayak elo, nih gw juga sama kayak elo." Pria gondrong kini menghadap ke pemuda itu, menjambak rambutnya agar wajah si orang baru melihat wajahnya, "Semua di sini bakal mati, Boy! Jadi, udah, gak usah nangis!"
Si Udin, pria empat puluhan tahun itu kini ikut berdiri, mendekati pemuda yang itu. Menatap matanya secara dekat, "Gua yakin Lo masuk ke sini bukan karna kasus kecil, jadi, apa yang ngebuat Lo masuk ke sini?"
Si pemuda masih diam. Ia kembali menunduk, perasaannya kali ini sudah campur aduk, ketakutan telah merasuk ke dalam pikirannya semenjak ia dipindahkan ke lapas besi ini.
"Lo liat si Cristian?" Si Udin menunjuk pria yang ada di pojokan, "Tuh, yang megang kalung salib, Lo tau kenapa dia masuk penjara?"
Pemuda itu menggeleng sambil melihat Cristian. Pria yang sepertinya sangat religius, memegang kalung salip dengan mulut yang seolah sedang berdoa kepada Tuhannya.
"Dia pembunuh!"
Pemuda itu sedikit terkejut, tetapi ia masih membisu.
Kini Udin menunjuk ke arah pria dengan tasbih di tangannya sambil bersila, "Dia juga ngebunuh orang!"
"Nah," ucap si gondrong, "Elo kenapa bisa ke sini, boy?"
"Gua gak minta kalian cerita, terus kenapa gua mesti jawab?" Tatapan si pemuda seolah menantang, ia yang tadinya menunduk, kini mendongak ke arah wajah si gondrong dan Udin.
Si Gondrong terlihat kesal. Emosinya tersulut akibat ucapan orang baru yang songong. Tangan kanannya meremas kerah baju pemuda itu, mendorongnya hingga punggungnya membentur besi sel, suaranya pun berhasil mengundang penghuni sel lain untuk melihat.
Udin memisahkan sambil menggeleng, "Udah gak usah emosi, biarin, toh kita bakalan mati semua."
Cengkeraman si gondrong mengendur. Ia kembali duduk bersandar di dinding dengan Udin bersebelahan. Hingga mereka tertidur beberapa saat kemudian.