“Politeknik Keuangan Negara STAN!!!”
Krik...! Krik...!
Krik...! Krik...!
Dari pojok sebuah ruangan berukuran tidak lebih dari sembilan meter persegi. Ditemani seberkas cahaya dari sebuah lampu bohlam sepuluh watt yang menggantung di langit-langit kamar. Diiringi kerikan jangkrik jaliteng yang mengalun sepanjang malam. Duduk seorang pemuda di atas seliri kayu tua dengan secarik kertas putih membentang di hadapannya. Ia baru saja melisankan isi kertas putih itu dengan lantang.
Lima detik berselang, kertas itu kembali diturunkan. Sementara kertas itu dibiarkan telentang, ia mengambil secangkir kopi di ujung mejanya. Kopi itu telah lama melebur bersama udara malam, sebab hanya diseruput sesekali saja ketika sedang membutuhkan inspirasi. Namun, kali ini pemuda itu menyeruput kopinya hingga hanya menyisakan ampas di dasar cangkir.
Tetes terakhir kopi yang ia seruput, membuat dahinya sedikit berkerut. Ia merasakan ada sesuatu yang kurang mengena, tetapi entah sesuatu apa. Ia berpikir keras. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit-langit kamar bermateri anyaman bambu yang cat putihnya sudah mulai mengelupas. Layaknya tengah menatap bidadari bermata bening, senyum pemuda itu tersungging. Ia telah menemukan sesuatu yang kurang mengena pada secarik kertas putihnya.
Pemuda itu sadar, pena yang digunakan tidak cukup tebal. Tanpa menunggu lama, ia mengambil spidol yang terletak persis di samping pena yang digunakan barusan. Jemarinya lincah menggerakkan spidol, mengikuti lekukan-lekukan huruf yang telah dibuat sebelumnya. Hanya menebalkan saja, tidak menambah tulisan lain.
Begitu selesai, spidol itu dikembalikan ke tempat asal. Secarik kertas putih itu kembali diangkat dan dibentangkan. Ia memandang kertas itu seperti seorang penjaga toko kelontong yang baru saja menerima selembar uang seratus ribuan. Kedua bola matanya melotot tajam, lalu terpejam. Ia menarik napas dalam-dalam. Mulutnya mulai bergetar perlahan. Komat-kamit, seperti mbah dukun yang hendak menyemburkan air dari dalam mulut ke wajah pasiennya.
“Hamba tahu, Engkau telah menentukan jalan hidup hamba. Bahkan sejak lima puluh ribu tahun sebelum bumi dan langit ada. Melalui pena yang Engkau cipta, takdir hamba telah Engkau reka. Kini takdir hamba tersimpan rapat di lauhul mahfuz-Mu.
Malam ini, ditemani rembulan dan kartika yang tersenyum dari cakrawala, hamba akan mengikrarkan sebuah cita. Hamba berharap, Engkau akan mempermudah jalan ikhtiar hamba. Meski hamba bukanlah makhluk yang sempurna. Meski hamba telah melakukan berjuta dosa, tetapi hamba percaya, Engkau adalah sebaik-baik pemberi maaf. Engkau adalah Al-Afuww. Hamba yakin, Engkau tidak akan bosan mendengar doa-doa hamba.”
Pemuda itu kembali membuka matanya. Menarik napas dalam-dalam. Mengatur detak jantungnya agar tetap seirama dengan suara gangsir yang mengerik di dalam lubang persembunyian di sebelah kamarnya.
“Politeknik Keuangan Negara STAN!” Suara pemuda itu teramat lantang hingga menggetarkan tembok kamar. Beruntung tembok kamarnya kokoh, sekokoh cita-citanya.
Senyum pemuda itu mengembang. Jiwanya terasa melayang sesaat setelah impian yang tertanam di dalam benaknya kembali didengarkan oleh makhluk-makhluk yang ada di dalam kamar. Setidaknya buku-buku yang tergeletak di atas meja belajar, serta bantal dan guling yang teronggok di atas ranjang, telah menjadi saksi bisu atas usaha awal pemuda itu dalam mengejawantahkan cita-citanya.
Pemuda itu mengambil lem kertas. Ia oleskan lem itu ke sudut-sudut belakang kertas putihnya. Kertas itu kembali dibentangkan, lalu ditempel di dinding kamar, tepat di hadapan meja belajar. Secarik kertas folio bertuliskan “Politeknik Keuangan Negara STAN”. Dengan ukuran huruf yang cukup besar, tulisan itu dapat dilihat setidaknya dari jarak sepuluh meter oleh mata yang belum berkacamata. Itulah sebuah cita-cita dari seorang pemuda bernama Hasan Ali. Ya, pemuda yang dimaksud adalah diriku sendiri, Hasan Ali. Dari sinilah perjuanganku akan dimulai.
**
Cita-citaku untuk melanjutkan pendidikan ke Politeknik Keuangan Negara STAN telah bulat. Cita-cita ini dibangun bukan tanpa fondasi. Cita-cita ini sudah melalui tahapan riset yang mendalam. Aku mengambil sampling beberapa anak di kampung yang sukses masuk dan telah lulus dari salah satu kampus ikatan dinas paling beken di Indonesia itu. Mereka menjadi kebanggaan orang tua dan sering menjadi bahan gosip tetangga. Menjadi mahasiswa di Kampus Ali Wardhana―julukan kampus PKN STAN, sebab dasar hukum berdirinya kampus itu keluar pada saat Ali Wardhana menjabat sebagai menteri keuangan―adalah salah satu cara untuk bisa menjadi kebanggaan keluarga. Pun akan mengangkat derajatnya ketika berhadapan dengan calon mertua―entah kata siapa. Mungkin seperti ini ilustrasinya.
“Lulusan mana kamu?” tanya sang Calon Mertua.
“Lulusan PKN STAN,” jawabku dengan percaya diri.
“Lulusan mana kamu?” tanya sang Calon Mertua kepada calon menantu lainnya―sainganku.
“Lulusan S-3.”
“S-3 di mana?” selidik sang Calon Mertua.
“SD, SMP, SMA, hehe…,” jawabnya dengan cengengesan.
Begitulah kiranya. Restu dari calon mertua begitu berarti bagi keberlangsungan cerita cinta dengan seseorang yang dicinta.
**
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarku berteriak. Ada seseorang yang hendak masuk ke dalam kamar. Jam dinding telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Siapa kiranya yang masih membuka mata pukul sebegini? Bapak, ibu, dan adikku sedang menikmati kembang tidur. Tidak mungkin nenekku yang sudah beberapa tahun terakhir hanya bisa berbaring di atas ranjang, tiba-tiba mengetuk pintu kamarku.
“Siapa di luar?” tanyaku dengan suara sedikit bergidik. Aku takut suaraku dapat mengganggu tidur orang lain. Atau mungkin aku takut jika suara itu adalah sesosok hantu?