InSTAN

Hasan Ali
Chapter #2

Jam Tangan Sialan

Kedua kakiku menapak pada tanah yang lembap. Rumput-rumput liar tumbuh subur. Sebagian besar dari rumput-rumput liar itu tumbuh setinggi pinggangku. Pada pucuk-pucuk daunnya menempel setitik embun. Menetes dan langsung merembes ke dalam tanah. Embun itu seperti menetes ke dalam dadaku, merembes ke dalam hati, membuatku merasakan adem ayem.

Aku berdiri dengan dikelilingi pepohonan besar. Begitu rindang nan sejuk di mata. Aku tak paham persis pohon apa saja yang berdiri tegak di sekelilingku. Namun, yang pasti, sejauh mata memandang, hanya ada aku dan pohon-pohon tak bertuan. Pohon-pohon ini berperawakan tinggi besar. Akar-akarnya menyembul keluar dari tanah. Menjalar ke berbagai arah. Mentari yang tepat berada di atas ubun-ubun pun tak terasa sengatannya sebab dihalangi oleh ranting dan dedaunan yang merebak ke segala penjuru. Menutupi separuh langit yang biru.

Kenapa aku bisa berada di sini? Tempat yang asing. Ini adalah pertama kalinya aku berada di tempat ini. Bahkan aku juga tidak sadar kenapa bisa berada di sini. Apa aku tersesat di hutan? Apa aku dibawa cepet[4]? Apa aku diculik? Atau …. Berbagai kemungkinan memenuhi pikiranku. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi padaku.

Tiba-tiba suara auman macan menggetarkan gendang telinga. Suara itu berasal tepat dari arah muka. Sebegitu kencangnya suara itu hingga tertegaklah bulu roma. Saking takutnya dengan suara itu, celanaku langsung basah kuyup. Aku mengompol.

Rumput dan ilalang di depanku bergoyang. Semakin lama, goyangannya semakin menjadi-jadi. Kedua kakiku ikut bergoyang. Menjalar ke pinggul, pinggang, perut, dada, tangan, kepala, hingga ke ujung rambut. Mataku terbelalak ketika seekor macan tetiba melompat dan berdiri tepat di hadapanku. Kucing besar itu melirikku sinis. Rahangnya menganga. Taringnya menyembul tajam. Cakar runcingnya menebas-nebas rumput di hadapannya, seperti pedang samurai Jepang.

Apakah ajalku akan tiba hari ini?

“Sekarang, engkau sudah tidak bisa ke mana-mana lagi wahai pemuda kerempeng.” Macan itu ternyata bisa berbicara. Aku tercengang mendengarnya. Bagaimana mungkin macan bisa berbicara dengan bahasa manusia. Aneh sekali. Lebih aneh lagi sebab macan itu memakai bahasa Indonesia. Bukankah ada banyak pilihan bahasa di dunia. Atau karena dia lahir di Indonesia? Atau jangan-jangan dia poliglot?

“Wahai Sang Raja Hutan yang tampan lagi disegani. Izinkan hamba untuk berpikir sejenak. Sampeyan tetap diam di tempat!” pintaku.

“Baiklah, saya persilakan engkau berpikir untuk yang terakhir kalinya sebelum mati ditanganku, ha… ha… ha…,” macan itu tertawa renyah, serenyah peyek yang disajikan di stoples ketika lebaran.

“Kemarin aku baru saja menonton film. Entah film apa, aku sudah lupa. Katanya untuk membuktikan apakah sedang berada di dalam mimpi atau bukan, yaitu dengan mencubit pipi. Kalau terasa sakit, berarti aku tidak sedang bermimpi. Kalau tidak terasa apa-apa, berarti ini cuma mimpi. Baiklah akan kucoba,” gumamku lirih. Aku langsung mempraktikkannya. Pipi kucubit kuat-kuat, dan ternyata aku tak merasakan sakit sama sekali.

“Wah, berarti ini cuma mimpi saja. Alhamdulillah,” ucapku pelan sambil tersenyum simpul.

“Engkau pasti ini cuma mimpi? Bagaimana kalau ini nyata? Apa engkau sudah siap untuk mati?”

Tiga pertanyaan beruntun dari sang Raja Hutan membuatku berpikir ulang. Aku masih ingin hidup. Mewujudkan cita-citaku. Aku juga masih bujang. Aku mau kawin.

Jari telunjuk kuarahkan ke belakang macan. “Ada cewek cantik tuh!”

Kucing Besar itu langsung menoleh ke belakang. “Halo cantik!” sapanya.

Sekerlip mata aku berbalik badan dan memelesat cepat. Berlari pontang-panting. Semak belukar seakan tak menjadi penghalang. Semuanya kutabrak. Ketakutan yang menjalar ke sekujur tubuh membuatku dapat berlari tanpa ngos-ngosan, serasa sedang terbang melayang di atas awan. Mungkin jika ikut lomba lari, aku dapat mengalahkan Usain Bolt, si pelari tercepat di muka bumi. Inilah yang dinamakan the power of kepepet.

Namun, semuanya seakan sia-sia saja. Jurang di depan mata telah menungguku. Di kanan dan kirinya ada tembok yang menjulang tinggi. Entah siapa yang membangun tembok itu di tengah hutan. Atau mungkin itu adalah tembok kerajaan sang Raja Hutan? Yang jelas, aku tidak akan bisa memanjat tembok itu. Kucing Besar itu sepertinya memang sengaja mengarahkanku ke tempat ini. Dia pasti sudah paham betul dengan dengan area ini. Aku terjebak. Sang Raja Hutan semakin mendekat. Terus mendekat hingga berjarak lima meter saja dariku.

Lihat selengkapnya