Menunggu ketidakpastian tidak ada bedanya dengan berjudi. Terkadang menang, namun lebih sering kalah. Itu adalah sesuatu yang tidak dapat kukendalikan. Aku menjadi teringat dengan salah satu ajaran filsafat stoikisme―sebuah filosofi yang menekankan pada takdir, logika, dan pengendalian diri―yang dikemukakan oleh Marcus Aurelius. “Bersedialah menerima apa yang ada di luar kendali kita.” Dan kali ini, aku harus menerima kekalahan yang tidak bisa kukendalikan.
Aku berbalik badan. Bersiap untuk pulang. Saat kaki siap kuseret, gerung motor dari arah timur terdengar begitu kencang. Benar saja. Ada sepeda motor Supra yang melintas di atas jalan yang lengang. Sepeda motor itu menyalip matahari di atas kepalanya yang sedang merangkak perlahan. Aku kembali berbalik badan. Suara gerung sepeda motor itu begitu familier. Tidak salah lagi, itu adalah suara sepeda motor Wawan, sahabat sekaligus teman sebangkuku yang sering datang mepet dengan bel masuk. Kali ini, ia sepertinya bernasib sama denganku. Bukan lagi mepet, namun benar-benar telat.
Dari jarak sepuluh meter, ia melirik ke arahku. Wawan menghentikan Supra yang dikendarainya dengan cekatan. Ilmu fisika pada bab “Momentum dan Impuls” yang dipelajari pada saat kelas 11 diaplikasikan dengan sempurna. Dengan pijakan rem yang pas, Supra yang dikendarainya tepat berhenti di hadapanku.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kaifa haaluka yaa akhi?” tanya Wawan dengan senyum yang ramah. Senyum yang melukiskan sebuah ketenangan. Tidak ada kesan gugup di raut wajahnya. Beda sekali denga raut mukaku yang tertekuk, takut terlambat.
“Wa’alaikumsalam. Semalam aku ditangkap pocong, terus tadi dikejar-kejar macan, dan jatuh dari jurang, Wan,” jawabku, namun dengan wajah yang datar, seolah-olah kejadian-kejadian yang kusebutkan itu hanya kejadian yang biasa saja.
“Astagfirullah al-‘azim. Beneran, Al?” Wajah Wawan berubah panik. Mungkin ia mengira apa yang kukatakan adalah benar, meski aku juga tidak berbohong. Sebelum ia bertanya banyak hal, aku langsung membonceng di belakangnya. Menepuk pundaknya sebagai isyarat agar segera berangkat, seperti yang biasa dilakukan oleh seorang penumpang kepada tukang ojek.
Wawan paham dengan maksudku. Ia menyalakan kembali sepeda motornya, lalu memelesat dengan kecepatan maksimal. Aku merasa seperti sedang dibonceng Valentino Rossi yang sedang mengejar Dani Pedrosa ketika mereka sedang beradu kecepatan di Sirkuit Sepang, Malaysia. Bedanya kami hanya mengendarai motor Supra X bertenaga 110 cc. Satu per satu kendaraan yang ada di depan disalip. Kami benar-benar seperti pembalap yang menguasai jalanan. Ketika di tikungan, Wawan mengurangi gigi untuk mengurangi kecepatannya. Sepeda motor miring sampai lutut kami hampir menyentuh aspal. Belok ke kanan, lalu ke kiri. Beruntung jalan tidak dalam keadaan licin. Jika saja tadi malam turun hujan, mungkin kami telah tergelincir. Jantungku benar-benar berdebar-debar.
Kami juga hampir saja menabrak kucing yang secara tiba-tiba menyeberang jalan. Andai kucing itu lama tinggal di Jepang, aku rasa ia tak akan berbuat demikian. Pasti kucing itu akan mencari zebra cross untuk menyeberang. Beruntung klakson yang dibunyikan Wawan mampu membuat si kucing berlari terbirit-birit ke pinggir jalan.
Jika kucing berbulu loreng kuning dan putih itu tertabrak, bakal panjang urusannya. Masyarakat di desaku masih banyak yang memercayai mitos yang menyebutkan jika seseorang yang menabrak kucing harus mengubur kucing yang ditabrak dan mengadakan selamatan.
Sebenarnya, aku tidak percaya dengan mitos itu. Bukankah semua takdir telah ditentukan oleh Tuhan? Jika setelah menabrak kucing mendapat musibah atau cobaan, sungguh itu bukan disebabkan menabrak kucingnya. Musibah itu terjadi sebab takdir dari Tuhan. Jika dilihat dari perbuatan-Nya, semua takdir itu baik. Takdir yang dinggap jelek itu pasti menyimpan sebuah hikmah. Jika tidak mampu mengambil hikmahnya, maka itu sebab keterbatasan pemikiran manusia.
Kucing sendiri digolongkan sebagai hewan yang tidak mengganggu manusia. Jika menabraknya bukan sebab kesengajaan, tidak akan mendapatkan dosa. Namun, tetap saja ada perasaan risau jika hal itu benar-benar terjadi. Bukan sebab takut akan mendapatkan musibah, namun aku takut tidak bisa sampai ke sekolah. Aku dan Wawan harus mengurus batang kucing itu. Apalagi jika kucing itu ternyata ada tuannya, bisa-bisa kami harus memberikan ganti rugi atas kematiannya.
Setelah berada di atas jalanan selama tujuh menit, akhirnya kami sampai di perempatan terakhir sebelum sampai sekolah. Perempatan yang memisahkan gedung SMA dan SMP-ku.
Wawan mengendarai motornya dengan gesit. Melewati dua becak yang terparkir di tikungan. Dua tukang becak tampak sedang bercakap-cakap sambil duduk santai di becaknya masing-masing. Wajah mereka tampak segar dan ceria meskipun belum mendapatkan penumpang. Melihat mereka, aku langsung teringat dengan bapak. Seorang lelaki yang darahnya mengalir di dalam tubuhku. Meski mereka bukanlah bapakku, namun sebab kesamaan jalan hidup, aku selalu membayangkan ada sosok bapak di setiap tukang becak. Dan ketika aku membayangkan sosok bapak, maka jiwaku bergejolak. Di balik wajahnya yang sudah keriput, ada sebuah harapan besar yang ingin beliau sampaikan kepadaku. Beliau ingin agar aku menjadi orang sukses. Sebuah harapan yang diinginkan oleh bapak supaya jalan hidupku lebih baik dari beliau. Sebuah harapan agar aku dapat bersekolah hingga jenjang pendidikan yang tinggi. Bapak menginginkan agar aku tidak ikut mengayuh becak seperti beliau untuk mendapatkan sesuap nasi.