InSTAN

Hasan Ali
Chapter #4

Kopi Susu

Upacara telah usai. Para guru sedang ada rapat. Semua murid telah menuju kelasnya masing-masing. Kami para cowok kelas XII IPA 1 berkumpul di pojok belakang ruang kelas. Waktu yang tepat untuk membicarakan masa depan. Membangun cita-cita, melayangkan harapan, serta beradu nasib.

“Kita sekarang sudah mau lulus nih. Kalian pada mau lanjut kuliah di mana?” tanya Yayan mengawali pembicaraan.

“Kalau aku sih mau mencoba SNMPTN, SBMPTN sama STAN,” jawab Jupe lugas.

“Kepingin di universitas dan jurusan apa, Pe?” tanyaku.

“Kalau universitas dan jurusan apa, aku belum tahu. Kalau kamu bagaimana, Al?”

“Aku juga niatnya kayak gitu. Pilihan utamaku di STAN. Kalau nggak di STAN kepinginnya di jurusan teknik. Tapi entahlah, ibu masih belum merestuiku sepenuhnya kalau ke STAN.”

“Memangnya kenapa, Al?” tanya Wawan penasaran.

“Ibu pingin supaya aku kerjanya tidak jauh-jauh. Kalau di STAN, kemungkinan aku harus merantau jauh.”

“Semoga ibumu segera merestui cita-citamu, Al.”

“Amin.”

Budi yang duduk tepat di hadapanku kini ikut bertanya. “Eh, ngomong-ngomong, kalau kamu lolos SNMPTN atau SBMPTN terus lolos STAN, berarti SNMPTN atau SBMPTN-nya nggak diambil dong?”

“Kalau SBMPTN begitu, Bud. Tapi kalau aku lolos SNMPTN dan STAN mungkin aku pilih SNMPTN-nya. Kan katanya kalau lolos SNMPTN dan nggak diambil, sekolah kita bisa di-black list.”

“di-black list bagaimana?” tanya Wawan penasaran.

“Ya kalau di-black list berarti tahun depan siswa dari sekolah kita nggak bisa diterima di kampus itu.”

“Oh begitu. Kalau kamu mau ke mana, Mon?”

Krismon yang sedang melahap nasi rames segera menjawab pertanyaan Wawan dengan nasi yang masih berada di dalam mulutnya. Suaranya seperti orang sedang kumur-kumur. “Aku juga sama kayak Ali. Kalau Yayan kayaknya sih mau langsung ijab sah. Iya nggak, Yan?”

“Heh, nggak lah, kecuali kalau adikmu mau jadi istriku, Mon, he… he ….”

“Heh, adikku cowok. Kamu mau?”

“Nggak lah. Tak kira cewek, Mon.”

“Apa lah Yayan ini. Kalau kamu mau ke mana, Wan?” tanya Budi.

Berbeda dari kami, Wawan lebih memilih untuk melanjutkan ke pondok pesantren. Aku tidak terkejut. Wawan yang pertama kali kukenal saat kelas sepuluh dulu memang berbeda dengan Wawan yang sekarang. Ia benar-benar telah berubah, ingin mendalami ilmu agama secara intens. Aku tak tahu pasti hal apa yang mampu membuat ia menjadi berubah demikian, tapi yang jelas aku bersyukur karena ia berubah ke arah yang positif. Aku yang tiap hari duduk di sebelahnya pun ikut mendapatkan impak yang baik.

“Beneran, Wan? Katanya kamu dulu ingin jadi guru matematika.”

“Insya Allah sudah mantap keputusanku.”

“Mondok di mana, Wan?”

“Insya Allah di Boyolali.”

“Kalau kamu sendiri mau lanjut ke mana, Bud?” Wawan bertanya balik.

“Aku kepingin ke Bandung.”

“ITB, wah mantap Bud.”

“Nggak lah. ITB itu cuma buat siswa-siswa genius. Lah siswa kayak aku ya nggak mungkin. Aku kepingin ke Telkom.”

“Swasta dong?”

“Ya.”

“ITB yang dekat sini juga ada. Institut Teknologi Blater,” ujar Krismon sambil meremas bungkus nasi rames yang telah habis dimakan.

“Maksudmu Fakultas Tekniknya UNSOED?”

“Betul, Pe. Sama-sama ITB kan?”

Obrolan kami terus berlanjut. Masing-masing dari kami sudah memiliki gambaran tentang masa depan yang akan kami kejar. Tak terasa sekarang sudah pukul 09.00. Seharusnya pelajaran sudah dimulai, tetapi sampai sekarang belum ada guru yang masuk.

“Tau nggak? Masa-masa mendekati ujian, jumlah jomlowan dan jomlowati meningkat tajam loh. Aku sudah survei ke lima puluh siswa kelas 3 di SMA kita. Sebanyak tiga puluh siswa atau enam puluh persen dari sampel telah memiliki pacar. Lalu, sebanyak dua puluh lima siswa atau lebih dari delapan puluh persen di antaranya memilih untuk menjomlo sampai serangkaian ujian di kelas 3 berakhir.”

Jere sapa[5], Yan? Kurang kerjaan kamu,” ujar Krismon.

“Loh kamu nggak percaya, Mon. Menurut buku ‘Manusia Setengah Salmon,’ jomlo jenis ini namanya jomlo cyclical. Jomlo yang terjadi karena adanya kecenderungan orang-orang untuk tidak berpacaran pada masa-masa tertentu.

“Mana buktinya?”

Yayan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Sumo yang sedang duduk termenung di kursi pojok kiri paling belakang. “Itu buktinya!”

“Assalamu’alaikum. Diberitahukan kepada siswa yang bernama Krismon, kelas XII IPA 1 untuk segera ke lobi sekolah sekarang juga.” Sebuah suara dari salon yang menggantung di depan kelas mengagetkan kami.

Lihat selengkapnya