Hanya ada dua cowok di kelompokku. Kami sepakat akan melakukan voting untuk menentukan siapa yang akan menjadi mempelai pria. Kelima cewek di kelompokku yang akan menentukan.
“Aku pilih Yayan,” usul Yanti cepat.
“Lah kamu kan sudah nikah sama Yayan? Mau nikah lagi sama Yayan?” tanya Lina.
“Mana ada. Justru aku nggak mau sama Yayan. Biar kamu aja yang nikah sama Yayan,”
“Sudah, jangan malah bertengkar. Aku pilih Yayan juga. Kalau kamu mau pilih siapa, Lin?” tanya Sari.
“Kalau aku pilih Ali.”
“Aku juga pilih Ali,” Hani memberikan jawabannya sebelum ditanya.
Sekarang suara penentuan ada di tangan Latif. Dia yang akan menentukan siapa yang akan berperan sebagai mempelai pria. Kami semua menatap Latif. Menunggu suara terakhir.
“Kalau aku, ehmm ..., aku mau pilih ….”
“Hasyiiim! Alhamdulillah,” ucap Krismon sambil berjalan ke luar kelas. Ingusnya kembali meler.
“Aku mau pilih Ali.”
“Yes!” ujar Yayan sambil melompat girang, seakan-akan ia baru saja terhindar dari sebuah hukuman.
“Nah sekarang siapa yang bakal jadi mempelai wanitanya nih?” tanya Lina. Dari ucapannya, sepertinya ia sangat berharap bisa menjadi mempelai wanita.
“Kalau itu mending terserah Ali saja, siapa wanita pujaanmu di sini, Al? eeaa …,” ledek Yayan cengengesan.
“Jangan aku yang milih lah. Kamu saja yang milih, Yan!”
Yayan berbisik kepadaku sambil menunjuk orang yang dimaksud. “Latif saja ya, Al. Dia cantik loh.”
Yanti, Sari, dan Hani setuju. Lina juga setuju, tetapi dengan ekspresi yang agak sedikit kecewa.
“Jangan aku dong!” Latif tampak malu. Tetapi keputusan telah bulat. Tidak dapat diganggu gugat.
Latif memang cantik. Bahkan salah seorang guruku pernah mengatakan jika dia mirip dengan aktris sekaligus model berdarah Bugis-Jerman-Jawa, Sophia Latjuba. Meskipun begitu, aku sama sekali tidak ada perasaan sama dia. Ini hanya sebuah keterpaksaan saja.
“Cie … cie ..., bakal ada pengantin baru nih,” Yayan memanas-manasi suasana di hari yang semakin panas. Kipas angin yang tergantung di langit-langit ruang kelas tak terasa embusan anginnya. Atau mungkin karena aku yang sedang grogi? Encit! Encit! Encit! Suara putaran baling-baling justru seperti meledekku.
Setelah satu jam berdiskusi, sekarang giliran kami tampil berakting. Kebetulan kelompok kami mendapatkan giliran tampil pertama. Aku sebagai mempelai pria dan Latif sebagai mempelai wanita. Yayan sebagai bapaknya Latif, Hani akan menjadi penghulu pada saat ijab kabul. Lina sebagai ibunya Latif, Yanti sebagai ibuku, dan Sari harus berganti gender menjadi bapakku. Sementara yang menjadi saksi sekaligus tamu undangan adalah teman-teman di luar kelompokku.
Pada kesempatan ini, Krismon dan Jupe mengajukan diri untuk merekam prosesi lamaran dan akad nikah kelompokku. Sementara yang lain duduk di tepi ruang kelas setelah semua meja dan kursi dipinggirkan.
“Assalamu’alaikum. Diberitahukan kepada siswa yang bernama Krismon, kelas XII IPA 1 untuk segera ke lobi sekolah sekarang juga.” Sebuah suara dari salon yang menggantung di depan kelas kembali mengagetkan kami. Krismon izin meninggalkan kelas. Posisinya kini diganti oleh Dian, teman kami yang paling hobi berjoget di atas panggung.