InSTAN

Hasan Ali
Chapter #6

Tahap 0

Cita-cita masuk ke kampus PKN STAN tidak mungkin aku dapatkan hanya dengan melihat secarik kertas putih yang kutempel pada dinding kamar. Cita-cita itu harus aku perjuangkan.

Salah satu perjuangan yang kulakukan adalah dengan tidak pernah jajan selama satu tahun terakhir. Uang saku yang diberi oleh bapak, setiap harinya aku masukkan ke dalam celengan jago berwarna biru. Tak kusangka, dalam waktu satu tahun, celengan itu dapat terisi penuh.

Dan hari ini, aku harus mengikhlaskan hasil jerih payahku itu. Aku harus mengambil sebagian uang dari celengan jago untuk biaya transportasi menuju Yogyakarta. Sekarang aku sudah semakin dewasa. Rasanya semakin rikuh jika meminta uang kepada orang tua secara terus-terusan.

Bagian atas celengan dari lubang tempat memasukkan uang kusobek dengan pisau dapur. Lubang itu semakin melebar. Lalu, aku mengambil empat lembar uang lima puluh ribuan. Setelah itu, lubang hasil sobekan pisau dapur itu kututup dengan menggunakan selotip bening.

“Oalah, pisau dapur lagi dicari-cari ternyata ada di sini. Kamu lagi apa, Nak?” tanya ibu yang tetiba masuk ke dalam kamar.

“Ini lagi membuka celengan, Mak.”

“Buat apa?”

“Buat biaya biaya travel ke Jogja, Mak,”

“Bukannya kemarin bapak sudah kasih kamu uang?”

“Kemarin buat biaya pendaftarannya. Untuk uang transportasi masih kurang, Mak.”

“Kamu nggak minta sama bapak lagi?”

“Nggak perlu, Mak. Ali masih ada celengan ini.”

Aku memandangi wajah ibu yang sudah mulai keriput. Uban di kepalanya juga telah tumbuh menggantikan sebagian besar rambut hitamnya. Wajah ibu tampak pasrah. Berusaha menerima dengan lapang dada keinginan kuat yang telah tumbuh dan mengakar kuat pada diriku.

“Assalamu’alaikum.

“Itu Jupe sudah datang, Nak.”

Malam ini, Jupe akan menginap di rumahku. Kebetulan saat itu kami melakukan pendaftaran di waktu yang sama sehingga mendapatkan jadwal verifikasi berkas yang sama pula. Aku dan Jupe akan berangkat bersama pukul 02.00 dini hari. Kami akan dijemput mobil travel yang sudah kupesan jauh hari. Yang pasti mobil ini tidak akan meninggalkan kami seperti mobil jemputanku untuk pergi ke sekolah tempo itu.

Kami mengobrol sejenak sembari mengecek kembali dokumen-dokumen yang akan dibawa. Rapor, KTP, bukti pembayaran pendaftaran, foto studio berwarna terbaru dengan mengenakan kemeja putih sebanyak tiga lembar, dan bukti pendaftaran online atau BPO dengan meterai sebesar enam ribu rupiah. Kalau sampai ada yang tertinggal satu dokumen saja, kami tidak akan mendapatkan BPU. Kalau tidak mendapatkan BPU, kami tidak bisa mengikuti ujian. Kalau tidak bisa mengikuti ujian, secarik kertas putih di dinding kamarku itu melayang nyawanya, tidak berarti lagi. Nilainya tidak lebih dari sebuah debu yang terombang-ambing di tengah gurun pasir.

Pukul 22.00, kami memutuskan untuk rehat. Alarm sudah kami pasang sebelum jadwal keberangkatan. Kali ini aku memasang alarm pada ponsel. Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Aku sudah tidak percaya lagi dengan alarm pada jam tangan sialanku.

Bapak, ibu, dan Sipur sudah masuk ke dalam kamar. Sementara aku dan Jupe akan tidur di atas karpet yang sudah terbentang di ruang tamu. Sebenarnya aku sudah mengajak Jupe untuk tidur di dalam kamarku, tetapi ia tidak mau. Rikuh.

Aku tidur telentang. Menghadap langit-langit ruang tamu yang bahannya sama seperti langit-langit kamarku. Mencoba memejamkan mata, tetapi belum bisa. Meskipun remang-remang karena hanya ada sorot lampu dari kamar ibu yang tembus melewati celah-celah ventilasi, aku tetap belum bisa untuk tidur. Aku melihat ada secarik kertas putih yang menempel pada langit-langit ruang tamu di atasku. Secarik kertas putih bertuliskan “Politeknik Keuangan Negara STAN”.

Tiba-tiba kertas itu melayang jatuh, seperti sebuah layang-layang yang putus dari senarnya. Melayang mengikuti arah angin. Kertas putih itu melayang hingga menimpa mukaku.

Telolet! Telolet! Alarm menjerit tepat pukul setengah dua. Aku dan Jupe terbangun. Gelagapan. Tanganku mencoba meraih kertas putih yang tadi menimpa muka, tetapi tidak ada apa-apa. Ternyata keberadaan kertas putih itu hanyalah sebuah imaji.

Aku dan Jupe bergegas keluar rumah sambil menggendong tas. Ibu, bapak, dan Sipur, yang sudah bangun sedari tadi ikut keluar rumah. Kami berlima menunggu kedatangan mobil travel.

Pukul sebegini, di desaku tak lebih lengang dibandingkan dengan kuburan. Hanya ada suara dari binatang-binatang malam, seperti jangkrik, gangsir, dan walang kerik. Sementara langit hanya dihiasi oleh gemintang, sang raja malam hanya tampak sebagai garis melengkung tipis. Hawa dingin cukup menyengat. Beruntung aku mengenakan jaket. Setidaknya hawa dingin itu perlu menembus tiga lapis kain untuk sampai ke kulit.

Tiga puluh menit menunggu hingga datanglah sebuah mobil berwarna hitam berhenti di pertigaan depan musala. Terlambat lima menit dari jadwal. Kami berlima bergegas menuju ke arah mobil itu.

“Sudah siap semua?” tanya sang Sopir.

“Insya Allah siap semua, Pak,” jawabku.

“Hati-hati ya, Nak! Semoga kalian berdua sukses! Semoga Allah mempermudah segala urusan kalian. Jangan lupa baca basmalah!” pinta ibu sambil menepuk-nepuk bahuku. Meskipun masih ada pergolakan di dalam batin ibu, tapi beliau berusaha untuk tetap tegar melepasku.

Nggih, Mak. Kami pamit. Assalamu’alaikum.”

Aku mencium tangan ibu dan bapakku dengan takzim, juga menyalami tangan Sipur. Kemudian, bergegas masuk ke dalam mobil. Jupe mengikuti apa yang kulakukan. Setelah kami berdua masuk, sang Sopir juga bergegas masuk dan menyalakan mesin mobilnya. Kami melambaikan tangan, mereka membalas lambaian tangan kami. Mobil mulai bergerak menuju tempat tujuan selanjutnya.

**

Setengah jam berlalu tanpa ada obrolan sepatah kata pun. Hening. Kantuk mulai menyerang. Tak lama kemudian, aku tertidur.

Aku terbangun ketika mobil ini berhenti di suatu tempat. Entah ada di mana, aku tak mengetahui tempat ini. Ada dua orang naik ke dalam mobil. Penumpang pertama adalah seorang pemuda sepantar denganku. Sementara penumpang yang satunya lagi adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Penumpang pertama duduk di samping sang Sopir. Sementara penumpang yang satunya duduk di sebelah kiri Jupe. Aku sendiri duduk di kanan Jupe, di belakang sopir.

“Mau kemana, Mas?” tanya penumpang yang baru masuk.

“Mau ke Jogja, Pak,” jawab Jupe singkat.

“Ya kan travel ini memang tujuannya ke Jogja, Mas. Ke Bandara, atau mau liburan ke Pantai Parangtritis, Malioboro, atau ke mana?”

“Mau mendaftar kuliah, Pak.” Kondisi di dalam mobil yang gelap membuatku tak bisa melihat dengan jelas wajah penumpang itu. Aku hanya bisa menerka kalau penumpang yang bertanya itu memakai baju kotak-kotak dan mengenakan celana jin.

Lihat selengkapnya