InSTAN

Hasan Ali
Chapter #7

Tahap 1

Kucoba memejamkan mata. Berkali-kali, tetapi tetap saja tidak bisa. Pikiran kukosongkan. Sekali dua kali, tetapi tidak ada bedanya. Suara jarum jam dinding di keheningan malam terdengar menggelegar. Menjalar menuju daun telinga hingga menyusup ke dalamnya. Aku yang sudah bolak-balik guling ke kanan, guling ke kiri tetap tidak bisa tidur.

Pertempuran sudah di depan mata. Tinggal menunggu beberapa jam lagi. Aku harus beristirahat. Menyiapkan energi untuk menghadapi pertempuran pertamaku. Berperang melawan musuh-musuhku yang tidak lain adalah orang-orang dengan impian yang sama. Merebut tempat di kampus PKN STAN.

Telolet! Telolet! Pukul 01.00 dini hari, alarm ponselku berteriak. Aku yang belum sempat tidur harus segera bangkit. Berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka dan buang air kecil.

Aku mengambil tas yang telah kupersiapkan sebelumnya. Senjata-senjata untuk menyerang musuh sudah ada di dalam. Pensil, pena, penghapus, alas tripleks, BPU, buku-buku catatan, serta dompet yang berisi uang, juga tak ketinggalan nasi rames dan sebotol air minum. Semua sudah tertata rapi.

“Mobilnya sudah sampai belum, Mak?”

“Belum. Coba kamu hubungi sopirnya! Sudah jam segini kok belum datang juga.”

Ponsel yang masih tergeletak di atas meja segera kuambil. Mencari nomor sang Sopir, lalu segera meneleponnya. Kucoba hingga tiga kali panggilan tetapi hanya berdering. Di panggilan keempat baru sang Sopir mengangkat.

Assalamu’alaikum, Pak!”

Wa’alaikumsalam. Maaf ya saya agak telat datangnya. Lagi menjemput penumpang lain dulu.” Belum juga menyampaikan keresahanku, beliau langsung paham dengan maksudku meneleponnya.

“Ok, Pak. Aku tunggu!”

Kemudian, aku mencari nomor Jupe. Memberi kabar kalau sang Sopir akan datang sedikit terlambat. Jupe langsung mengirimkan emotikon jari jempol, menandakan dia bilang “Oke.” Kali ini, Jupe memang tidak tidur lagi di rumahku. Ia akan dijemput di rumahnya, di dekat Pasar Panican. Sekitar tiga puluh menit perjalanan.

Setelah sekian lama menunggu, mobil itu sampai juga. Seperti biasa, mobil berhenti di depan Musala Irsyadul Muttaqin. Aku bergegas menghampirinya. Kucium tangan ibu dan bapak. Sementara Sipur masih terlelap.

“Maaf, terlambat. Barusan ambil penumpang di Kejobong sama di Kaligondang.”

“Nggak papa, Pak. Yang penting kita nggak terlambat ke tempat tujuan.”

“Ok, tinggal menjemput temanmu.”

“Hati-hati di jalan, Nak!” ucap ibu singkat, tanpa memberikan nasihat-nasihat lainnya.

“Iya, Mak.” Aku segera masuk ke dalam mobil. Begitu pun dengan sang Sopir. Kulambaikan tangan ke ibu dan bapak. Mobil bergerak perlahan dan terus menjauh dari kedua orang tuaku. Kali ini aku duduk di samping sang Sopir. Beliau mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam, topi di kepalanya, dan sebuah jam di pergelangan tangan kirinya. Kepalanya bulat. Tubuhnya juga agak gempal, tapi kurang pas jika dikatakan gendut.

Tatapanku mengarah ke depan. Menikmati cahaya lampu jalan di desaku yang remang-remang. Seekor kucing tiba-tiba melintas di hadapan. Beruntung tidak tergilas. Jika dikatakan nyawa kucing ada sembilan mungkin ada benarnya juga. Mereka memang terkadang melintas secara tiba-tiba. Mengagetkan pengendara yang lewat. Apalagi jika dalam kecepatan tinggi. Untungnya mobil yang kutumpangi ini melaju pelan.

“Asu!”

“Itu kucing, Pak. Bukan asu.”

“Maaf-maaf! tuman nih mulut. Kucing, tapi kelakukaannya kayak asu. Ngomong-ngomong kamu sudah siap asunya? Eh, maksudnya ujiannya.”

Sang Sopir memulai obrolan setelah sekian lama kami bersemayam dalam diam. Seorang introver sepertiku rasanya canggung jika harus memulai pembicaraan terlebih dahulu, apalagi dengan orang yang belum akrab. Harus dipancing terlebih dahulu. “Siap nggak siap harus siap, Pak.”

“Terus kalau misalnya diterima nih, semoga diterima ya. Kamu sudah siap kalau mendapatkan penempatan yang jauh? Di Kalimantan misalnya, atau di Sulawesi, atau di Papua.”

“Siap nggak siap harus siap, Pak. Tapi ibuku sebenarnya masih belum sepenuhnya rida, Pak. Belum siap kalau ditinggal anaknya di tempat yang jauh. Katanya nanti yang urusin ibu sama bapak siapa kalau sudah sepuh.

“Nah itu, kamu harus meyakinkan orang tuamu. Restu orang tua itu penting banget. Saya dulu juga pernah merantau ke Riau. Kerja di kebun sawit. Ibu saya dulu nggak memberi izin. Tapi saya tetap kekeh. Kan katanya rezeki harus kita kejar ya?! Setahun di sana, saya nggak pernah tau kabar ibu. Apalagi dulu kan handphone belum kayak sekarang. Dulu cuma beberapa orang saja yang punya handphone. Waktu lebaran, saya pulang ke rumah....” Sang Sopir berusaha menahan kesedihannya. Setitik air mata di ujung matanya beliau seka. Sang Sopir menarik napas dalam-dalam, hendak melanjutkan ceritanya.

“Asu!”

“Itu kucing, Pak. Bukan asu.”

Lihat selengkapnya