“Selamat ya akhi. Selamat sudah lolos tahap 1.”
Senyumku mengembang, persis saat aku pertama kali mendapatkan kabar itu melalui pengumuman dari website PKN STAN.
“Tapi bagaimana dengan ibumu? Apa ibumu juga senang ketika tahu kamu lolos ke tahap selanjutnya?”
“Meskipun ibuku belum sepenuhnya rida dengan keputusanku, tapi beliau tetap terlihat senang setelah mendengar kabar itu, Wan. Entahlah, apakah benar-benar senang atau karena beliau tidak ingin melukai perasaanku.”
“Kamu harus pastikan ibumu sudah merestui kamu, Al! Kalau bapakmu gimana?”
“Kalau bapak sih mengikuti apa kata ibu.”
“Masalah kamu ini mirip masalah yang ada di kisah novel tahu, Al? Pernah baca novel Cinta Suci Zahrana? Zahrana sudah mendapatkan tawaran beasiswa S-2 di Delft University of Technology, Belanda. Beda dengan kamu sekarang yang masih harus berjuang untuk bisa mengejar cita-citamu. Kalau Zahrana itu, justru ia yang ditawari, bukan yang menawarkan diri. Tapi, dia tidak direstui oleh orang tuanya. Kamu sedikit beruntung, Al. Hanya ibumu yang tidak merestui. Kalau Zahrana itu bapak dan ibunya yang tidak merestui. Dan masalahnya juga sama. Bapak dan ibunya tidak ingin ditinggal oleh anaknya, apalagi Zahrana anak tunggal. Sementara kamu, lagi-lagi sedikit beruntung karena masih ada adikmu, Al. Ya sudah jangan dipikir dulu. Aku doakan semoga ibumu tetap mendukung cita-citamu, Al. Yok katanya mau joging! Aku sudah siap nih.”
“Terima kasih, Wan. Ayo! Aku juga sudah siap.”
Aku dan Wawan melakukan pemanasan terlebih dahulu di halaman depan rumahku. Melakukan gerakan-gerakan ringan untuk mengurangi kemungkinan cedera. Mengapa aku mengajak Wawan? Karena sebelum hijrah, ia adalah mantan atlet sepak bola yang bisa dibilang cukup jago di kampungnya. Setiap sore, ia bermain sepak bola bersama timnya di lapangan kecamatan. Tentu fisik dan staminanya bagus. Beda denganku yang hanya bermain sepak bola di pekarangan belakang rumah. Itu pun menggunakan bola plastik. Aku berharap mampu mengambil ilmu darinya tentang bagaimana caranya agar memiliki stamina yang kuat untuk berlari dalam waktu yang cukup lama. Tentu itu akan sangat berguna bagiku saat menghadapi ujian tahap 2.
Selesai pemanasan, kami berdiskusi tentang rute yang akan dilewati. Setidaknya ada tiga opsi yang bisa kami pilih. Berkeliling desaku, menuju rumah Wawan di desa sebelah, atau menuju ke Stadion Goentoer Darjono. Setelah memilih dan memilah, kami memutuskan untuk berkeliling desaku. Jarak yang akan kami tempuh sekitar 4 kilometer. Aku akan berusaha menempuh jarak itu dalam waktu 12 menit tanpa berhenti.
Jalanan yang kulalui tentu akan berbeda dengan tempat ujianku satu minggu yang akan datang. Tetapi berlari di jalanan seperti ini akan lebih menantang dibandingkan dengan berlari di tepi lapangan sepak bola. Ada tanjakan dan turunan yang harus kulewati. Jika mampu melewati ini, aku yakin bisa menyelesaikan ujian tahap 2 dengan mudah.