InSTAN

Hasan Ali
Chapter #9

Tahap 3

1-0.

Tim lawan berhasil mendapatkan poin pertama melalui servis tajam yang dilakukan oleh tekong. Itu servis atas yang sempurna.

Namun, pertandingan baru dimulai. Servis kedua yang dilakukan oleh tekong lawan menabrak net. Skor 1-1. Selanjutnya, pertandingan berlangsung seru dan menegangkan. Saling jual beli serangan. Tekong lawan secara konsisten berhasil mendapatkan beberapa poin melalui servis yang mematikan. Sementara tim kami memiliki spiker yang hebat. Setiap smes yang dilakukan olehnya berhasil mendapatkan poin. Ia mengandalkan smes kedeng dengan posisi membelakangi net. Melompat dengan tumpuan salah satu kaki, lalu kaki yang digunakan untuk menendang diposisikan lurus. Perkenaan bola adalah pada kaki bagian luar.

Aku dan Jupe duduk di emper rumah warga bersama satu teman kami lainnya yang menjadi pemain cadangan. Sementara pelatih kami berdiri sepanjang pertandingan, memberikan istruksi kepada para pemainnya yang berada di atas lapangan. Menurut pelatih, pertandingan ini sangat penting untuk melatih mental bertanding sebelum pertandingan yang sesungguhnya di POPDA kabupaten. Ini juga menjadi pertandingan pertama kami di luar kandang. Kami yang biasanya melakukan latihan di gedung olahraga yang ada di sekolah, kini bermain di lapangan yang berada di tengah-tengah permukiman warga.

Setelah menjalani pertandingan yang alot, tim kami berhasil memenangkan set pertama dengan skor yang ketat, 21-19.

Pelatih melakukan rotasi pemain di set kedua. Aku, Jupe, dan satu pemain lainnya masuk menggantikan ketiga pemain inti. Aku berposisi sebagai apit kanan yang bertugas sebagai setter atau terkadang juga disebut feeder. Melemparkan bola kepada tekong saat melakukan servis, serta mengontrol dan mengoperkan bola kepada spiker. Jupe berposisi sebagai tekong yang bertugas melakukan servis sekaligus sebagai pemain bertahan. Sementara satu teman kami lainnya berposisi di apit kiri sebagai spiker sekaligus melakukan blok atas serangan tim lawan.

Ternyata tim lawan juga melakukan rotasi pemain. Ketiga pemainnya diganti. Di set kedua ini, tim kami mendapatkan kesempatan untuk melakukan tiga servis pertama. Setelah tiga kali melakukan servis, barulah tiga servis selanjutnya dilakukan oleh tim lawan. Begitu seterusnya.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melemparkan bola kepada Jupe. Mencoba menenangkan diri. Jupe bersiap-siap dengan satu kaki berdiri di atas garis lingkaran, di tengah area permainan kami. Sementara satu kaki lainnya bersiap menendang bola yang akan kulemparkan. Tangan kanannya melambai di atas kepala. Aku mengangguk. Bola kulemparkan sesuai keinginan Jupe. Bola itu melambung secara parabola, dan ketika sampai di titik yang diinginkan, Jupe menendang bola itu. Ia mencoba mengecoh lawan dengan melakukan teknik menapak dalam servisnya. Bola tidak ditendang dengan kaki bagian luar, melainkan dengan telapak kaki, mirip dengan pukulan drop shot dalam permainan bulu tangkis, bola mengarah di posisi dekat dengan net. Lawan yang berada di posisi belakang sempat terkecoh, tetapi tekong lawan berhasil maju dengan cepat dan mengontrol bola yang terbuat dari fiber sintetik itu dengan melakukan sepak sila.

Setelah itu, tekong lawan melakukan sentuhan kedua dengan melakukan operan melambung kepada spiker. Saat spiker lawan melompat, seketika aku tercengang. Kaki kirinya diangkat tinggi, lalu kaki kanannya memberikan tolakan untuk melompat. Kaki kanannya bergerak memutar hingga ujung kakinya lurus ke atas. Bola yang dilambungkan oleh tekong berhasil ditendang dengan kaki bagian luar si Spiker. Bola itu memelesat cepat melewati net dan jatuh di area permainan kami. Itu adalah gerakan roll spike. Teknik tertinggi dalam permainan sepak takraw. Tim kami belum ada yang bisa melakukan teknik itu. Hanya pelatih kami yang bisa. Skor 1-0 untuk tim lawan.

Selanjutnya, tim kami kewalahan menghadapi roll spike pemain itu. Pertandingan set kedua pun berakhir dengan cepat. Tim lawan unggul 21-10.

Set ketiga kembali terjadi rotasi pemain. Aku, Jupe, dan satu pemain lainnya yang bermain di set kedua diganti oleh pemain inti. Sementara lawan tetap memainkan pemain yang sama.

“Al, ponselmu berdering,” ujar Jupe.

Aku mengambil ponselku yang berada di dalam tas. “Halo, assalamu’alaikum.”

“Pulang, Nak! Sedela maning sandekala[10],” jawab orang yang berada di seberang. Dari suaranya, aku dapat mengenali betul jika orang itu adalah ibuku. Tetapi kali ini aku mendengar ada yang berbeda dengan suara ibu, seperti ada sesenggukan yang ditahan. Beliau juga tidak menjawab salamku.

Tetapi aku tidak mungkin pulang begitu saja. Aku berangkat ke sini dibonceng oleh pelatih. Aku tidak mempunyai sepeda motor. Dan tidak mungkin aku meminta pelatih untuk mengantarku pulang sekarang. Pertandingan masih menyisakan satu set penentuan.

“Iya sebentar lagi, Mak. Sebentar lagi Ali selesai main sepak takrawnya.”

“Jangan kelamaan ya!” Tidak lama kemudian ibu mematikan sambungan teleponnya tanpa mengucapkan salam. Aku semakin merasakan ada sesuatu yang ganjil. Aku menonton pertandingan di set ketiga dengan macam-macam prasangka yang memenuhi pikiran.

Pertandingan di set ketiga berakhir dengan skor 21-17 untuk kemenangan tim lawan tepat saat azan magrib berkumandang. Segera setelah itu, aku langsung meminta pelatih untuk mengantarku pulang.

Pelatih ingin mengantarku pulang hingga depan rumah, tetapi aku menolak tawarannya. Aku meminta untuk diturunkan di pertigaan tempat biasa aku turun dari angkot saat pulang sekolah. Aku berjalan seorang diri dari tempat itu. Di belokan terakhir sebelum sampai ke rumah, aku melihat ada banyak orang yang keluar masuk pesarean. Aneh sekali. Biasanya waktu magrib seperti ini, orang-orang menuju masjid atau langgar, bukan ke pesarean.

Aku hendak bertanya kepada salah satu dari mereka, tetapi mulutku terkunci. Pertama, karena aku adalah seorang introver yang sangat sulit untuk bertanya terlebih dahulu. Kedua, karena sekarang adalah waktu sandekala. Aku takut jika mereka yang kulihat bukan manusia, melainkan bangsa jin. Ketiga, karena setelah melewati belokan itu, aku melihat bendera putih yang berkibar di depan rumahku.

Deg! Jantungku rasanya mau copot. Sekarang aku paham kenapa saat meneleponku, ibu seperti menahan sesenggukannya. Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa yang telah berpulang?

Aku segera berlari menyibak kumpulan orang yang sedang sibuk memasang tenda dan menata kursi di halaman depan rumah.

“Nak.” Suara ibu tertahan. Air mata yang sedari tadi ditahannya, kini ditumpahkan. “Kakekmu meninggal.”

“Kakek meninggal?”

Lihat selengkapnya