Gerombolan burung pipit melayang bebas di udara. Mengepakkan sayap-sayap mungilnya sambil riang bernyanyi, menyapa hangatnya udara pagi. Bekas embun masih kentara, menempel lekat pada permukaan patera. Sekumpulan padi bergoyang-goyang diterpa sepoi pawana, melambai-lambai penuh sukacita. Air sungai mengalir tenang, memantulkan sinar mentari yang memancar terang.
Dari seberang sungai, sawah berjejer penuh pesona. Gunung Slamet berdiri perkasa. Mega putih mendekap gunung tertinggi di Jawa Tengah itu dengan mesra. Semua itu menyatu dalam bingkai lukisan alam yang begitu menyejukkan mata. Mungkin bagiku, orang desa yang setiap hari melihat pemandangan seperti ini terkesan biasa saja, tetapi bagi orang kota yang tak pernah pernah ke desa, maka lukisan alam seperti ini terasa begitu memikat hati.
Para petani berduyun-duyun melangkah menyusuri pematang sawah. Wajah mereka semringah melihat padi-padi yang sudah menguning, siap untuk dibawa ke rumah. Pria dan wanita tumpah ruah masuk ke dalam sawah. Mereka bersiap menuai hasil jerih payah sambil mengharap berkah. Sementara anak-anak kecil yang ikut bersama orang tuanya, duduk-duduk di dalam saung. Mereka asyik menarik tali yang terhubung dengan orang-orangan sawah. Begitu tali itu ditarik, orang-orangan sawah akan bergoyang-goyang, mengusir burung-burung yang hendak menagih pajak atas padi yang siap dipanen. Mereka terlihat bahagia begitu ada burung yang terbang ketakutan.
Aku, Wawan, Jupe, Budi, Krismon, dan Sumo melangkah penuh gairah. Bukan untuk pergi ke sawah, melainkan hendak pergi memancing di Sungai Klawing. Kami ingin menghabiskan waktu bersama sebelum sibuk dengan urusan masing-masing.
Jarak dari rumahku menuju Sungai Klawing kurang dari satu kilometer. Cukup berjalan kaki selama kurang dari seperempat jam. Di sungai itu telah terbangun Bendungan Slinga. Bendungan yang direncanakan sanggup mengairi 6.000 hektar lahan sawah di Kabupaten Purbalingga. Bukan hanya itu, bendungan ini juga telah menjadi destinasi wisata baru, membangkitkan ekonomi rakyat. Setiap akhir pekan, bendungan yang di atasnya terdapat jembatan penghubung antara Kecamatan Kaligondang dan Kecamatan Bojongsari ini selalu ramai. Bukan warga lokal saja, melainkan juga orang-orang luar kota. Sengaja mampir ke sini. Bersepeda, lari pagi, memancing, atau sekadar duduk santai di taman pinggir sungai sembari menikmati suasana alam yang masih asri.
Aku masih ingat betul saat pembangunan bendungan ini. Puluhan kendaraan berat melintas di jalan kampung yang sempit, menjadi tontonan warga. Orang-orang berbondong keluar rumah untuk melihat truk kontainer, truk yang membawa paku bumi, truk molen, truk yang membawa buldoser, serta kendaraan berat lainnya melintas. Pernah suatu ketika ada sebuah truk kontainer yang terjebak di jalan samping musala hingga menabrak tembok pembatas musala. Jalan di situ sempit dan menanjak serta ada dua kelokan seperti huruf Z. Kejadian itu menjadi tontonan warga sekampung. Truk itu akhirnya berhasil melintas setelah didorong buldoser dari belakang.
**
Kami berenam melangkah terus menuju hulu bendungan, menuju sebuah taman yang masih dalam proses pembangunan. Masing-masing dari kami sudah mempersiapkan satu set alat pancing yang terdiri atas joran atau yang biasa kami sebut walesan, senar, mata kail, timah sebagai pemberat yang sering kami sebut timbel, pelampung sebagai penanda saat umpan sedang dimakan ikan atau yang biasa kami sebut kumbul, dan penggulung senar. Aku juga membawa sebuah ember cat ukuran lima kilogram berwarna putih. Berharap akan ada banyak ikan yang masuk ke dalam ember ini. Sementara Jupe membawa gelas air mineral yang berisi cacing-cacing kecil sebagai umpan. Cacing-cacing itu kami dapatkan di comberan belakang rumahku.
Kami berenam memasang umpan ke mata kail masing-masing, melemparkannya ke dalam air. Kalau dilihat dari tempat kami berdiri, air terlihat dangkal dan diam, tetapi sebenarnya tidak demikian. Diam-diam bisa menghanyutkan. Sudah beberapa kali sungai ini memakan korban jiwa, terutama ketika bendungan ini baru selesai dibangun.
Banyak orang yang menyangkutpautkan kejadian itu akibat penunggu Sungai Klawing yang meminta tumbal untuk pembangunan bendungan. Jika tidak dituruti maka bendungan bisa roboh. Bagiku, itu hanyalah sebuah mitos. Tidak ada kaitannya antara tumbal dengan kokohnya bendungan. Bendungan yang roboh bisa terjadi akibat konstruksi bangunan yang kurang baik atau akibat faktor alam yang tidak dapat diprediksi. Atau bisa juga karena adanya kajian ilmiah yang kalah dari kajian politis, seperti kisah pembangunan jembatan Sungai Cibawor dalam novel “Orang-Orang Proyek.”
Di hadapan kami ada sebuah perahu yang sedang mengapung. Dua orang di atas perahu bertelanjang dada. Berkulit hitam legam. Satu orang berada di belakang, memegangi mesin sambil mengarahkan laju perahu. Satu orang lainnya duduk di depan. Mereka adalah para pencari pasir sungai.
Orang yang duduk di depan terjun ke dalam air. Kedua tangannya merogoh ke dasar sungai dengan menggenggam sebuah wadah. Hanya kepalanya saja yang terlihat.
Beberapa saat kemudian, wadah itu berhasil terisi penuh oleh pasir. Lalu ia mengangkatnya dan memberikannya kepada orang yang ada di atas perahu. Pasir itu ditumpahkan ke perahu. Begitu seterusnya sampai tumpukan pasir memenuhi perahu. Orang yang berada di dalam air naik kembali ke perahu. Mesin perahu dinyalakan dan perahu bergerak menepi.
**
Setengah jam kami menunggu sembari memandang lukisan Sang Ilahi. Tetap tidak ada satu pun ikan yang mencicipi sarapan yang kami bawa untuknya. Kami membereskan alat pancing, lalu duduk-duduk sebentar di gazebo. Walaupun terbuat dari bambu dengan atap rumbai, tetapi bangunan ini tetap kokoh meskipun diterpa angin yang cukup kencang.
Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya kami putuskan untuk pindah tempat. Kami berjalan di tepi jalur irigasi, menuruni lereng, melewati bebatuan, hingga menabrak putri malu yang berduri. Kalau tidak berhati-hati, durinya bisa menancap ke kaki. Sakit, meskipun tidak sesakit patah hati, eeaa!
Kami juga harus melewati semak belukar. Rasa gatal mengerubuti sekujur badan setiap bergesekan dengan semak-semak yang menjulang lebih tinggi dari kami. Setelah berhasil menyibak semak belukar, sampailah di lokasi kedua. Slis.
Slis konon kependekan dari Saluran Irigasi Slinga. Dibangun pada masa penjajahan Belanda, sekitar tahun 1920-an. Bertujuan untuk mengalirkan air dari Sungai Klawing menuju sawah-sawah di sekitarnya. Sekarang, Slis sudah tidak berfungsi lagi, tinggal menyisakan sebuah histori.
Kami berenam mengambil tempat di bawah tanjlig Slis. Itu adalah sebuah bangunan dengan tinggi empat meter dan lebar tiga meter dengan dua buah pintu air dari besi. Di atasnya, ada kerangka rumah model gudangan dengan atap yang terbuat dari seng. Jadi, tanjlig pada zaman dulu itu berfungsi sebagai pintu air dari Sungai Klawing menuju parit yang kemudian air itu akan dialirkan ke sawah-sawah yang ada di sekitar Desa Slinga.
“Ini baru namanya bocah petualang. Bolang si bolang, si bocah petualang, ….”
“Jangan nyanyi, Wan. Suaramu nggak enak, nanti ikannya pada takut.”
“Justru ikannya pada mendekat, Mo.”
Dan betul saja. Ada seekor ikan lele yang menyembul ke permukaan air, seperti lumba-lumba. Ukurannya cukup besar, sekitar tiga jari.
“Memang kalau ustaz yang ngomong benar-benar membawa berkah ya.”
“Betul, Mon. Jangan main-main kamu sama Ustaz Wawan Al Gondang City, Mo!”
Tanpa menunggu lama, Budi langsung melemparkan mata kail yang sudah diberi umpan. Ia mengarahkannya ke tempat munculnya sang Lele. Semenit berlalu tetapi tidak ada reaksi apa-apa. Sang Lele tak memakan umpan yang dipasang Budi.
“Awali dengan basmalah dulu, Bud!” Wawan berkomat-kamit. Membaca basmalah dengan lirih lalu melemparkan mata kailnya ke samping posisi mata kail Budi.
Joran yang dipegang Wawan melengkung. Strike! Ia mendongakkan tubuhnya ke depan. Kaki kanan dilangkahkan ke depan untuk membuat gerakan kuda-kuda. Ia menarik jorannya sekali helaan. Gedubrak! Wawan terjungkal ke belakang.
Kami semua melongo ketika melihat hasil helaan Wawan. Rupanya ia menarik mata kail milik Budi. “Ha… ha… ha….” Kami tertawa lepas.
“Aduh bagaimanalah ustaz kita ini. Basmalahnya kurang meyakinkan. Sekarang kalian semua lihat aku nih!” Sumo melemparkan mata kailnya ke arah yang cukup jauh dari arah melompatnya sang Lele. Tak butuh waktu lama, jorannya melengkung. Dengan penuh kepercayaan diri, ia menarik jorannya kuat-kuat.