InSTAN

Hasan Ali
Chapter #11

Mengapa Aku Ada Di Sini?

Semburat matahari mulai menampakkan diri. Embun-embun di pucuk daun menjatuhkan diri menuju pusat gravitasi. Gerombolan burung pipit beterbangan, mencari rezeki di pagi yang cerah berseri.

Manusia mulai berkeliaran, keluar dari kandang. Mereka tak mau kalah dengan burung pipit, berusaha mengejar rezeki yang telah disiapkan Tuhan. Meskipun rezeki memang tak akan tertukar, bukan berarti rezeki itu bisa didapat sambil tiduran di atas tikar. Jika demikian, tidak ada gunanya suara kokok ayam di setiap pagi. Tidak ada maknanya matahari yang terbit tiap hari.

“Ayo, Nak! Bapak sudah menunggu.”

Iya, Mak.”

Aku bergegas mengencangkan tali sepatu. Menggendong tas, lalu mencium tangan ibu.

“Yang rajin sekolahnya ya, Nak. Biar nanti jadi orang sukses,” ucap ibu yang acap kali disampaikan kepadaku ketika akan berangkat sekolah. Aku mengangguk. Nasihat itu, bagiku hanyalah sebuah basa-basi seorang ibu kepada anaknya. Aku mengangguk sekadar sebagai bentuk penghormatan seorang anak kepada ibunya.

Bapak berjalan sambil menuntun sepedanya. Aku mengekor di belakangnya. Jalan di depan rumahku menanjak. Jika Bapak harus naik sepeda dari depan rumah dengan membawaku di jok belakangnya, tentu akan menguras tenaga. Kami harus berjalan sampai ke tempat dengan kontur yang rata, tepatnya di depan gerbang Pesarean Sipanjer.

Kedua tangan bapak mencengkeram erat setang sepadanya. Duduk di atas sadel. Kedua kakinya bersiap mengayuh pedal. Beliau menoleh sejenak ke belakang. Memastikan aku telah naik ke sadel belakang. Dari raut muka beliau, aku dapat melihat adanya rasa perih di dalam hatinya ketika melihatku harus ikut menanggung ketidakberdayaan bapak dalam menjalani hidup. Aku duduk di atas sadel tanpa bantalan busa. Itu sebenarnya bukan tempat yang pantas kududuki karena itu adalah tempat untuk menjempit jas hujan. Sementara itu, kedua kakiku berpijak pada pijakan kaki yang telah dipasang oleh bapak di samping kanan kiri roda belakang.

Sepeda mulai bergerak perlahan. Kedua tanganku berpegangan pada besi yang menyatukan sadel depan dan belakang. Aku mulai merasa kepayahan dengan tas yang kugendong. Di dalamnya terdapat tiga buku paket yang tebal. Tas itu seakan-akan mengajakku untuk menyerah, tidak sekolah, dan pulang ke rumah. Namun, aku tak pernah menggubrisnya. Kuanggap itu semua sebagai ilusi yang tak semestinya kuikuti.

Beberapa kali aku tersenyum tipis kepada tetangga yang sedang berada di teras rumahnya. Senyum yang memiliki beragam makna. Senyum penghormatan. Senyum yang menegaskan perasaan minder. Juga senyum kebahagiaan. Terkadang aku merasa minder karena diantar dengan sepeda, sementara teman-temanku diantar dengan sepeda motor. Namun, perasaan minder itu selalu kutepis dengan fakta bahwa masih banyak orang-orang yang hidupnya tak lebih baik dari hidupku. Aku selalu mencoba untuk bersyukur, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun. Aku harus bersyukur karena masih dapat bersekolah. Itulah yang terkadang membuat senyumku bisa berubah dari senyum minder menjadi senyum syukur. Dan aku juga harus ingat. Ini adalah risiko yang harus kuambil karena pada saat itu aku memilih untuk melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 2 Purbalingga, bukan di MTS Slinga.

Semakin lama duduk di sadel yang terbuat dari besi, semakin bokongku merasa sakit. Bokongku semakin lama semakin terasa kebas. Tetapi aku selalu menikmati momen-momen ini. Tidak semua anak seberuntung diriku, mendapatkan kesempatan dibonceng oleh bapaknya. Tidak semua anak bisa memiliki waktu berduaan dengan bapaknya. Meskipun aku jarang mengobrol dengan bapak, tetapi aku selalu merasakan ketulusan hati beliau melalui sikap dan tindakannya. Aku tahu persis perjuangan beliau untuk bisa membahagiakanku. Kerja keras seorang bapak untuk menyekolahkan anaknya dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Seorang bapak yang mengajarkan kerasnya kehidupan dunia kepada anaknya.

Jika ibu diibaratkan sebagai kayu bakar, maka ayah adalah api yang akan membakar kayu itu agar dapat menciptakan kehangatan.

Ayah terus mengayuh sepedanya. Melewati turunan dan tanjakan. Ketika di tanjakan itulah aku merasakan betul arti “memeras keringat”. Pakaian bapak yang sedari rumah masih bersih, kini telah basah oleh keringat. Beliau turun dari sepedanya. Membiarkan tubuhku tetap berada di atas sepeda. Beliau mendorongnya dengan bantuan keringat yang terus mengucur deras.

Meskipun bapak tetap diam, tetapi jiwanya seakan berkata lembut kepadaku, “Nak, jangan sia-siakan perjuangan Bapak ya!” Jiwaku bergetar hebat. Meronta-ronta. Aku ingin sekali menjawab, “Akan aku buktikan, Pak.”

Bapak kembali naik ke atas sepedanya. Membiarkan jiwaku terus bergejolak. Membiarkan jiwaku terus tumbuh semakin dewasa, agar aku dapat memahami makna perjuangan dan cinta. Sepahit apa pun kehidupan, hidup mesti berjalan. Dan aku harus berusaha untuk memiliki mimpi dalam hidup. Karena tidak ada kehidupan dalam diri seorang yang tidak memiliki mimpi. Jikapun ada, ia hidup dalam kehampaan.

Perjalanan singkat ini membuatku merenung. Pendidikan bukan hanya hadir saat duduk di bangku sekolah sembari mendengarkan guru yang menjelaskan materi pelajaran. Itu hanyalah secuil saja dari makna pendidikan. Sejatinya, makna pendidikan yang lebih besar ada di sekitar kita. Jika pendidikan di sekolah lebih banyak untuk menajamkan akal dan pikiran, maka pendidikan yang ada di sekeliling kita akan meruncingkan jiwa.

Perjalanan menuju sekolah terus berlanjut. Bapak menapakkan kakinya ke jalan. Melihat ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada kendaraan yang melaju kencang. Beliau kembali naik ke atas sepedanya. Mengayuh kembali sepedanya. Menyeberang jalan.

Aku menikmati perjalanan ini. Semakin lama, jalanan semakin ramai oleh kendaraan. Namun, di antara semua kendaraan, mungkin bapak adalah satu-satunya yang menggunakan sepeda di jalan ini.

Sepeda motor saling menyalip, berusaha menjadi yang terdepan. Namun, mereka akan sulit untuk menyalip bus. Kendaraan besar itu tidak pernah mau kalah. Jika ada sedikit saja ruang kosong, maka ia akan menyalip kendaraan di depannya. Setelah menyalip, secara tiba-tiba, bus itu menyalakan lampu seinnya ketika ada penumpang di dalamnya yang berteriak lantang, “kiri!”, atau ketika ada orang yang melambai di pinggir jalan.

Tak terasa, perjalanan ini telah sampai kepada ujungnya. Aku telah sampai di depan gerbang sekolah. Segera turun dan menyalami bapak. Wajah beliau tetap datar. Tidak ada senyum seperti yang biasa dilayangkan oleh ibu. Tidak ada nasihat seperti yang disampaikan oleh ibu. Beliau langsung berbalik badan dan meninggalkanku. Aku menatap punggungnya yang basah oleh keringat hingga tak lagi terlihat.

Aku menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Kini saatnya untuk fokus bersekolah. Aku harus menuruti nasihat ibu. Harus mampu menjawab perkataan jiwa bapak. Begitu mata kubuka, aku baru tersadar jika di hadapanku kini adalah gedung Fakultas Peternakan UNSOED.

Sedari tadi, aku tidak sedang dibonceng oleh bapak dengan menggunakan sepedanya, tetapi sedang mengendarai supraku menuju kampus. Sepanjang perjalanan dari Purbalingga ke Purwokerto, aku tersesat dalam kenangan masa lampau. Tersesat dalam momen perjalanan ke sekolah bersama bapak. Aku melupakan fakta jika sekarang sudah memiliki sepeda motor. Meskipun sepeda motorku sudah berumur, tetapi aku tetap bersyukur.

Lihat selengkapnya