“Pasti kamu jatuh cinta pada pandangan pertama kan, Al?”
“Heh, jatuh cinta sama siapa?”
“Sama kambing kita?”
“Jatuh cinta sama kambing? Aku masih waras lah, Rul.”
“Maksudku kakak pembimbing kita, Mbak Aida.”
Sejak celotehannya tentang Mbak Aida saat OSPEK, aku dan Irul menjadi lebih akrab. Kami juga ternyata satu kelas. Sering bertemu di kelas maupun di luar kelas. Jika ada jeda waktu di antara perkuliahan di hari yang sama, aku akan mampir ke kamar indekosnya. Tak mungkin untuk pulang ke Purbalingga. Jikapun masih ada cukup waktu untuk pulang, itu sangat melelahkan. Lebih baik main ke indekos Irul atau beristirahat di Masjid Fatimatuzzahra.
Seperti hari ini, aku memilih ke kamar indekos Irul setelah menyelesaikan perkuliahan Bahasa Indonesia. Beristirahat sejenak di sana sambil mengerjakan tugas. Tak lupa makan siang. Kebetulan Irul sudah menanak nasi dan membeli lauk di warung. Sebelum berangkat mengikuti kuliah Pengantar Peternakan, kami sempatkan untuk salat Zuhur terlebih dahulu.
Irul memboncengku. Sepeda motornya masih di Kebumen, belum dibawa ke Purwokerto. Jika tidak bersamaku, ia harus mengandalkan kakinya untuk samapai ke kampus. Di sepanjang perjalanan, kami mengobrol banyak hal terkait kegiatan OSPEK yang telah berlalu. Dan di situlah ia tiba-tiba berceloteh tentang Mbak Aida. Mungkin, ia yang jatuh cinta dengan Mbak Aida tetapi tak berani mengaku sehingga aku yang dijadikan kambing hitamnya.
Sesampainya di kampus, kami segera berjalan menuju ruang kelas yang berada di lantai ketiga. Tidak ada lift ataupun eskalator. Kami harus menaiki satu per satu anak tangga. Berjalan menyusuri lorong yang telah ramai oleh para mahasiswa. Mereka hendak menuju kelas atau baru saja keluar kelas. Memakai pakaian bebas. Para cowok banyak yang mengenakan celana jin dengan atasan kemeja atau kaus berkerah. Para cewek juga banyak yang mengenakan celana jin dan atasan kemeja. Sementara sebagian dari mereka ada yang mengenakan rok atau gamis. Warna sepatu berwarna-warni. Bahkan ada yang memakai sepatu futsal, entah disengaja atau tidak. Fenomena ini berbeda sekali dengan zaman SMA yang diwajibkan memakai sepatu warna hitam. Haram hukuhmya memakai sepatu selain warna hitam. Bisa-bisa kamu dibawa masuk ke ruang BK. Selain itu, rambut cowok banyak yang dibiarkan gondrong. Tidak ada razia rambut seperti saat SMA. Tas digendong di salah satu pundak biar kelihatan lebih cool.
Kami mempercepat jalan menuju ruang kelas. Jika dosennya datang tepat waktu, maka kami sudah telat lima menit. Dan ternyata dosennya memang datang tepat waktu, sudah berada di dalam kelas.
“Sudah telat, Al.”
“Ah, gimana nih? Kita salaman dulu sama dosennya?”
“Heh, kita sekarang mahasiswa. Bukan anak SMA lagi. Kita langsung duduk di bangku paling belakang.”
“Ok, Rul.”
Irul membuka pintu kelas tanpa mengucapkan salam. Langsung berjalan ke belakang. Aku mengikuti gerakan Irul dengan terlebih dahulu menutup pintu kelas. Kami duduk di baris paling belakang yang hanya menyisakan dua kursi, padahal di baris depan masih banyak kursi yang kosong. Ya, begitulah. Mahasiswa datang lebih awal bukan untuk berebut kursi yang ada di depan, melainkan untuk menghindarinya.
“Siapa di sini yang masuk jurusan peternakan karena terpaksa?” tanya Pak Bagong―dosen mata kuliah Pengantar Peternakan―yang mengagetkanku. Memang pertanyaan ini tidak secara langsung ditujukan kepadaku, tetapi aku seperti merasakan jika dosen ini seperti mengerti kegelisahan yang ada padaku. Beliau seperti sedang mengintimidasiku dengan pertanyaannya.
Tidak ada mahasiswa yang mengacung, termasuk aku.
“Benar tidak ada? atau tidak ada yang mengaku? Dari pengalaman saya sebagai dosen di Fakultas Peternakan selama puluhan tahun, jurusan ini termasuk yang jarang diminati orang. Pasti jumlah mahasiswa yang lulus nanti akan berkurang banyak dari jumlah awal yang masuk. Saya sendiri juga sebenarnya terpaksa, tapi ternyata takdir membawa saya menjadi dosen di sini,” ujarnya.
“Tetap tidak ada yang mengaku? Baiklah tak mengapa. Itu bukan pertanyaan yang harus dijawab.”
Aku berusaha membela diri. Aku tidak terpaksa, hanya sedang berusaha meyakinkan diri dengan takdir yang sedang kualami. Mencari jawaban atas pertanyaanku. “Mengapa aku ada di sini?”
“Siapa yang ingin menjadi PNS?”
Puluhan mahasiswa mengacung. Aku tetap diam. Aku memang ingin menjadi PNS, tetapi itu jika berada di kampus PKN STAN, bukan di sini. Kalau di jurusan peternakan, entahlah. Aku berpikir sejenak. Mengacung atau tidak? Terlambat. Teman-teman yang lain sudah menurunkan tangannya.
“Tidak mengherankan, pasti banyak yang ingin menjadi PNS. Coba kalau yang ingin jadi peternak angkat tangannya!” lanjut Pak Bagong.
Aku memperhatikan sekeliling. Satu, dua, tiga, empat. Dari sekitar sembilan puluh mahasiswa, hanya ada empat orang yang mengangkat tangan. Aku berpikir sejenak, lalu memberanikan diri untuk menjadi yang kelima. Entah apa yang kupikirkan. Mungkin karena kemarin sempat membaca buku berjudul “Tata Cara Beternak Puyuh yang Baik dan Benar. Aku tertarik bisa beternak puyuh. Mungkin aku bisa menjadi PNS sembari beternak puyuh.
“Yang angkat tangan maju ke depan!”
Jantungku berdebar. Mengapa pula harus maju ke depan?
“Siapa namamu?”
“Nama saya Jaki, Pak.”
“Seperti nama kambing peliharaan saya. Kamu ingin beternak apa?”
“Saya ingin beternak domba, Pak.”
“Kenapa?”