InSTAN

Hasan Ali
Chapter #13

Apakah Ia Takdirku?

Sejak pandangan pertama yang tak disengaja kala itu, aku semakin semangat untuk kembali memandang sang Bidadari Bermata Bening. Eh maksudnya untuk berkuliah.

Suatu waktu di hari Minggu, ada acara pemilihan ketua dan wakil ketua angkatan. Acara ini bersifat wajib bagi mahasiswa baru. Aku harus ikhlas menggunakan jadwal istirahatku. Atau lebih tepatnya aku sangat ikhlas karena memiliki kesempatan untuk memandang sang Bidadari Bermata Bening.

Di depan Ruang Aula Fakultas Peternakan sebagai tempat berlangsungnya acara, aku mengisi daftar hadir. Hal terpenting yang tak boleh terlewatkan. Lalu, segera menyelusup melalui pintu belakang. Ternyata ruang itu sudah dipenuhi para mahasiswa yang duduk lesehan. Aku cingak-cinguk mencari tempat yang masih kosong sambil mencari peruntungan barangkali tempat yang kosong itu ada di samping Bidadari Bermata Bening. Tetapi dari ujung ke ujung apa yang kuharapkan tidak juga kutemukan.

“Al, sini!” seru Irul yang duduk di baris kedua dari belakang. Tak mau ambil pusing, aku mengambil posisi duduk di sampingnya.

“Heh, kenapa kamu telat, Al?”

“Harusnya aku yang tanya kamu kok tumben datangnya gasik[16].

“Eh, itu karena Kak Aida akan jadi pembawa acara hari ini,” ucapnya berbisik.

“Oh, ada udang di balik batu ternyata.”

Tak lama kemudian, dua orang pembawa acara masuk dan berdiri di depan aula. Seorang cowok bertubuh kurus, berkacamata dan seorang lagi adalah Kak Aida.

“Nah itu benar kan kataku, ada Kak Aida,” bisik Irul yang semakin terobsesi dengan sang Kambing.

“Al, kira-kira aku cocok nggak ya jadi pacarnya?”

“Heh, sadar kamu, Rul. Walaupun gigi kamu maju ke depan bukan berarti kamu bisa maju ke depan untuk menembak Kak Aida.”

“Ah, kamu ini malah mengolok-olokku.”

Irul tetap saja bercerita banyak hal tentang Kak Aida. Juga sesekali berkhayal tentang kemungkinannya bisa bergandeng tangan dengannya. Aku hanya sesekali meladeninya. Semakin kuladeni, semakin semangat ia untuk bercerita. Malas sekali mendengarnya.

“Kita panggil kandidat selanjutnya. Hanip Udin dan Nuraisha.”

Seketika pendengaranku menjadi amat sensitif dengan kalimat yang disampaikan oleh Kak Aida. Bukan karena tertarik dengannya, aku tertarik dengan apa yang barusan diucapkan sang Kambing. Nuraisha. Nama itu seperti tak asing di telinga. Ketika masih menerka-nerka dengan nama yang baru saja disebut, mahasiswi bernama Nuraisha itu berjalan di belakang seorang mahasiswa bertubuh tinggi dengan kumis yang teramat lebat. Keduanya berdiri di samping dua pasang kandidat lainnya.

Nuraisha. Nama yang begitu lembut untuk didengar. Nama yang begitu nyaman masuk ke dalam relung hati. Dan tidak salah lagi. Nuraisha tidak lain adalah sang Bidadari Bermata Bening. Ah, agaknya aku masih nyaman menyebutnya dengan Bidadari Bermata Bening.

Dan, mengapa pula ia harus disandingkan dengan si Cowok itu. Entah mengapa ada perasaan perih yang menyayat hati. Padahal mereka berdua hanyalah pasangan calon ketua angkatan dan calon wakil ketua angkatan, bukan calon suami istri. Lagi pula aku tidak mungkin menggantikan posisi Hanip Udin. Aku tak bisa berbicara di depan banyak orang. Apalagi bicara soal ide dan gagasan.

Raut mukaku berubah. Irul melihat perubahan yang terjadi padaku. “Heh, kenapa kamu, Al”

“Eh, nggak papa, Rul.”

“Kamu sehat?”

“Sehat.”

“Kok kamu kayak lagi cemas begitu. Memangnya kamu punya utang yang belum lunas?”

“Aku cemas karena kamu belum membayar utang buat beli jas lab kemarin.”

“Ah, kamu ini. Jangan ungkit-ungkit itu lah. Nanti kalau aku sudah dapat uang bidikmisiku ya.”

“Iya... iya....”

Semua kandidat ketua dan wakil ketua angkatan sudah mengampanyekan visi dan misinya jika terpilih sebagai ketua dan wakil ketua angkatan. Hanya menyisakan Nuraisha. Pandanganku fokus ke depan. Menunggu sang Bidadari berbicara. Aku ingin menatap wajahnya yang teduh. Melihat senyumnya yang teramat manis. Dan mendengar suaranya yang begitu mesra masuk ke dalam telinga.

Bagitu nama Nuraisha dipanggil oleh pembawa acara, hatiku bergejolak. Rasa-rasanya di ruangan itu hanya ada aku dan dia. Aku yang sedang duduk manis menatap perempuan yang jauh lebih manis dari posisi dudukku. Celotehan Irul kuabaikan. Dia bagai matahari dengan aku sebagai buminya. Memberi gaya gravitasi yang menarikku agar terus memperhatikannya. Aku tak peduli dengan apa yang hendak ia sampaikan. Kehadiranku hanya untuk memandang wajahnya.

“Al, kamu tahu nggak? dia juga dapat beasiswa bidikmisi loh, sama kayak aku,” ujar Irul. Aku yang sedari tadi fokus ke depan langsung melirik ke arah Irul. Itu adalah kepingan informasi yang sangat berharga. Irul memberikan informasi itu secara cuma-cuma, tidak lagi berceloteh soal Kak Aida.

“Oh ya?”

“Iya. Aku baru tahu kalau dia mencalonkan diri menjadi wakil ketua angkatan. Dia juga jadi santri di Pesma Mafaza.”

“Masjid Fatimatuzzahra?”

“Iya. Di sana kan ada pesantren buat mahasiswa.”

Satu keping informasi kembali kudapatkan dari Irul. Tetapi aku tidak berani bertanya banyak hal tentang Nurasiha kepada Irul. Biarkan dia yang memberikan informasi itu secara cuma-cuma. Jika banyak bertanya, bisa jadi Irul akan berprasangka jika aku jatuh cinta dengan calon wakil ketua angkatan itu, meskipun itu memang benar adanya. Keping infomasi terkahir yang kudapatkan adalah Nuraisha berasal dari Banjarnegara.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh....”

Nuraisha mengucapkan salam pembuka. Selanjutnya, ia memperkenalkan diri dan langsung menyampaikan visi dan misinya jika terpilih sebagai wakil ketua angkatan. Jika ditanya apa visi dan misi Nuraisha menjadi wakil ketua angkatan, aku tidak mungkin bisa menjawabnya. Aku sedang terkurung di dalam ruang imajiku. Di dalam ruang itu, aku bernyanyi dan menari dengan ditemani bunga-bunga yang bermekaran warna-warni.

“Eh, ngomong-ngomong kamu mau ikut UKM apa, Al?”

Seketika aku tersadar. Pertanyaan Irul membuat pintu ruang imajiku terbuka dan aku diharuskan untuk keluar dari sana. “Apa ya? Aku juga masih bingung. Kamu ada rekomendasi nggak?

“Kalau aku ikut UP3.”

“Apa tuh UP3?”

Lihat selengkapnya