InSTAN

Hasan Ali
Chapter #14

Nenek dan Ayam-Ayamnya

Rutinitas terus berlangsung. Hari terus berjalan sebagaimana mestinya. Duniaku diwarnai dengan perjalanan pergi dan pulang Purbalingga – Purwokerto – Purbalingga yang selalu kulalui bersama Supra milik bapakku. Kuliah pulang, kuliah pulang, atau banyak mahasiswa yang menyebutnya sebagai “kupu-kupu”. Aku tidak mengikuti kegiatan lain selain kegiatan dari Salam. Tidak peduli dengan ingar-bingar yang ada di sekitar kampus. Seperti halnya ketika ada aksi demo para mahasiswa se-Purwokerto terkait penolakan atas pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Baturraden yang berpotensi merusak hutan lindung Gunung Slamet. Bukan berarti aku tidak peduli dengan dampak kerusakan alam yang akan terjadi, tetapi lebih karena aku tidak suka dengan keramaian.

Jika ada tugas, aku tak banyak berpikir bagaimana tugas itu dapat selesai dengan sempurna, seperti pada saat masih duduk di bangku SMA. Aku sekadar berpikir jika tugas itu dapat terkumpul tepat waktu, tak mengapa jika hanya mendapat nilai 11 dari 100. Kecuali jika itu adalah tugas kelompok. Mau tidak mau aku harus tetap mengerjakan tugas itu sebaik mungkin bersama teman satu kelompok. Bahkan sempat pada suatu kali, ketika sedang berada di rumah, aku dihubungi oleh teman satu kelompok untuk meminta tanda tangan kakak asisten dosen yang sedang melakukan penelitian di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTUHPT) Baturraden. Katanya, itu adalah tugasku. Aku harus mendapatkan tanda tangan di hari itu juga, karena besok harus dikumpulkan. Dengan sedikit terpaksa, aku tetap menjalankan tugas itu, mengajak Supraku menuju kampus, mengambil tugas dari temanku, lalu berangkat seorang diri ke tempat yang belum pernah kutahu sebelumnya. Memang bisa menggunakan google maps, tetapi ketika sudah sampai di lokasi, aku tidak tahu harus masuk lewat mana. Aku tidak mempunyai nomor kakak asisten dosen itu. Dan tentu saja, bagiku, lebih baik tersesat dibandingkan harus bertanya. Sempat berputar-putar hingga kembali ke titik awal, sebelum akhirnya bertemu dengan teman dari kelompok lain yang mempunyai misi yang sama. Tugas itu pun pada akhirnya berhasil kulewati.

Namun, pada saat-saat aku merasa tidak memiliki tujuan apa-apa di kampus ini selain daripada mengikuti jalan takdir yang Tuhan berikan, tugas kelompok pun terkadang tidak kupikirkan. Seperti pada saat ada tugas kelompok dari Pak Bagong untuk mewawancarai peternak ayam. Aku seorang diri yang pertama kali datang ke tempat peternakan yang akan kelompokku wawancarai, meminta izin kepada sang pemilik peternakan. Lalu, keesokan harinya, aku bersama teman satu kelompok datang untuk melakukan wawancara itu. Bertanya banyak hal terkait jenis ayam yang dipelihara, kapasitas kandang, pakan yang digunakan, biaya-biaya apa saja yang harus dikeluarkan, bagaimana pemeliharaannya. bagaimana pemasarannya, dan tentu saja adalah menanyakan berapa omzet peternak itu pada tiap kali panen. Setelah wawancara selesai, aku tidak peduli lagi dengan data-data itu. Biarkan teman satu kelompokku yang mengolah data-data itu.

Ketika masuk waktu ujian, para mahasiswa merasa gelisah, takut mendapatkan nilai yang jelek, takut harus mengulang mata kuliah itu lagi, sementara aku tetap tenang saja. Mereka mati-matian belajar untuk ujian, aku malah sibuk memandang kertas yang tertempel di dinding kamar sambil menyeruput secangkir kopi. Melamun dan membayangkan bisa mewujudkan impianku. Terkadang, aku bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam tanpa melakukan apa-apa. Hanya sekadar melihat kertas dengan tulisan “Politeknik Keuangan Negara STAN” saja. Entah mengapa, kertas itu seakan mempunyai nyawa. Ia seolah berbisik padaku, “Masih ada kesempatan Ali. Selama kepercayaan itu tetap melekat padamu, maka keberhasilan akan senantiasa mendekat. Keberhasilan suka pada orang-orang yang memiliki kepercayaan.” Setelah mendengar bisikan itu, aku langsung mengambil buku USM PKN STAN untuk berlatih soal. Tiada hari tanpa berlatih soal-soal ujian masuk PKN STAN.

Pada tiap sepertiga malam, aku bangun. Mengambil air wudu, lalu salat malam. Tidak ada doa khusus yang kupanjatkan selain daripada doa memohon untuk bisa masuk ke kampus PKN STAN. Dan doa dimohonkan untuk didekatkan kepada sang Bidadari Bermata Bening, jika memang ia adalah jodohku. Aih, mengapa pula ia hadir begitu cepat di dalam hidupku. Atau memang beginilah cara Tuhan menguji seberapa besar usaha yang kulakukan untuk menggapai cita-citaku?

Ibu paham betul jika cita-citaku belum mati, tetapi beliau tak tahu jika pada malam-malam yang kulalaui, aku sedang berlatih ujian masuk PKN STAN. Tentu, yang beliau tahu adalah aku belajar materi yang telah kudapat di bangku kuliah yang sekarang. Bahkan, terkadang aku berlatih sampai larut malam, hingga ibu sudah tertidur, dan bangun lagi untuk kembali berlatih sebelum ibu terbangun.

Ketika teman-teman kuliahku berdiskusi tentang materi kuliah yang baru saja mereka pelajari, aku hanya mendengar saja. Tak tertarik untuk masuk ke obrolan itu. Pertama, karena aku memang tidak tertarik. Kedua, karena aku introver. Jika tidak diajak untuk berdiskusi, tidak ada di dalam kamus hidup seorang introver menimbrung obrolan orang.

Dan satu-satunya teman yang sering kali mengajakku berdiskusi tentu saja adalah Irul. Ia memang satu-satunya mahasiswa yang patut kusebut sebagai “teman”. Sementara teman-teman lainnya, mungkin lebih pantas kusebut sebagai “mahasiswa satu angkatan”. Atau jika ia adalah seorang kakak tingkat, maka aku menyebutnya sebagai “mahasiswa satu jurusan”. Jika ia mahasiswa jurusan lain, maka aku menyebutnya sebagai “mahasiswa satu almamater”. Dan jika ia adalah mahasiswa yang telah mengisi hatiku, maka aku menyebutnya sebagai "Bidadari Bermata Bening."

“Kamu beli ayamnya di mana, Al?”

“Aku nggak beli, ini ayam punya nenekku.”

“Wah, berarti nggak perlu urunan dong?”

“Heh, mana bisa! Nanti aku harus nyari penggantinya.”

“Memang nenekmu masih bisa pelihara ayam?”

“Sebenarnya nenekku sudah nggak bisa kemana-mana, Rul. Tiduran terus di ranjang. Sudah sepuh.”

“Wah, berarti memang nggak perlu urunan dong?”

“Heh, nenekku bahkan lebih sayang kepada ayam peliharaannya dibandingkan anaknya sendiri. Nanti kalau nggak ada penggantinya, nenekku bisa nangis. Tiap hari beliau selalu bertanya kabar ayam-ayamnya kepada ibuku yang sekarang mengurus ayam-ayam itu. Kamu juga masih punya utang jaket lab yang lagi kamu pakai ini loh!”

“Iya, Al.”

“Untungnya praktikumnya pakai ayam, Rul. Bukan sapi.”

“Kalau praktikum sapi, yang ada kita patungan buat kurban, Al.”

Tampak ada sedikit kekecewaan di raut muka Irul ketika ia tetap harus membayar urunan untuk membeli ayam nenekku yang akan digunakan untuk praktikum sore ini. Dan tentu saja, karena ia baru saja aku ingatkan tentang utangnya.

Praktikum akan dilaksanakan pukul setengah empat sore, setelah salat ashar. Praktikum pada mata kuliah biologi ini adalah praktikum pertamaku sebagai seorang mahasiswa. Dan praktikum semacam ini akan lebih sering dilakukan di semester-semester selanjutnya, terutama untuk jurusan peternakan.

Praktikum dilaksanakan secara berkelompok, di mana setiap kelompok terbagi atas tujuh mahasiswa. Dan lagi-lagi, aku tidak satu kelompok dengan sang Bidadari Bermata Bening. Entahlah, mungkin ini cara Tuhan menguji rasa cintaku.

“Kamu sudah siap ikut pre test, Al?”

Lihat selengkapnya