InSTAN

Hasan Ali
Chapter #15

Cinta atau Cita?

Tak ada kopi yang tidak pahit,

Jikapun ada tentu bukan kopi murni.

Tak ada cinta yang tidak ada derita,

Jikapun ada tentu bukan cinta sejati.

Sang Bidadari Bermata Bening membacakan sebait puisi dari novel berjudul Utopis di dekat telingaku. Aku dapat merasakan dengan jelas embusan napasnya yang lembut. Sang Bidadari kembali mendekatkan bibirnya ke telingaku. Darah dalam tubuhku semakin cepat terpompa, membuat jantungku semakin tak karuan.

“Kamu benar-benar mau meninggalkanku di sini? Bagaimana jika aku ini adalah takdir yang Tuhan kirim untukmu? Apa kamu akan menyia-nyiakanku? Memangnya kalau keluar dari sini, kamu sudah pasti akan diterima di tempat baru yang kamu inginkan itu? Kamu harus tahu, aku bukanlah Fatima, si Wanita Gurun yang ada di dalam novel Sang Alkemis. Fatima bisa tegar untuk memandang padang pasir di sekelilingnya dengan penuh harap. Ia merestui kepergian kekasihnya dalam waktu yang lama untuk mengejar harta karun yang kekasihnya impikan. Tapi aku mungkin tidak akan sanggup menjadi wanita setegar Fatima. Aku mau kamu tetap di sini.”

Bisikan itu menggoyahkan imanku. Aku terdiam. Mengingat kembali kalimat demi kalimat dalam bisikan itu dengan cermat. Fatima secara terang-terangan mencintai kekasihnya. Berbeda dengan wanita yang sedang kucintai. Aku tak tahu isi hatinya. Bahkan setelah menjalani perkuliahan selama satu semester, aku belum pernah mengobrol langsung dengannya. Ia hanya pernah mengucapkan sepatah kata, “permisi” padaku. Benar-benar hanya sepatah kata, karena setelahnya aku dipanggil untuk segera masuk ke dalam laboratorium. Hingga kini, aku hanya bisa mencintainya dalam diam. Cintaku masih bertepuk sebelah tangan.

Bisikan itu menghilang. Sang Bidadari Bermata Bening telah terbang menggunakan sayapnya yang tak kasat mata. Sementara aku masih terjebak di dalam ruang imaji. Tak lama setelah kepergian sang Bidadari, tembok di dalam ruang imaji semakin mendekat. Ruangan itu semakin menyempit. Semakin dekat tembok ruangan yang menghadapku, secarik kertas putih yang tertempel di dinding itu semakin jelas terlihat. Tulisan “Politeknik Keuangan Negara STAN” yang telah kutulis sejak setahun lalu kembali menyapaku.

“Ayo Ali! Janganlah kamu cepat berputus asa. Kamu masih punya satu kesempatan lagi untuk bisa menggapai cita-citamu itu. Jangan takut untuk mengambil risiko. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat kamu raih sesukamu. Dunia ini bukan surga. Dunia adalah tempatnya lelah.”

Tulisan itu berubah menjadi sebuah layar besar yang menayangkan suasana di depan kampus impianku. Di dalam layar besar itu, aku berdiri sambil merangkul seseorang. Namun, aku tidak dapat mengenali dengan jelas siapa orang yang kurangkul itu. Di belakangku, ada sebuah kolam besar berbentuk lingkaran dengan tulisan “POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN” di atasnya. Kolam itu juga tampak lebih indah dengan adanya air mancur di beberapa sisi kolam. Di belakang air mancur itu ada sebuah gedung yang berdiri gagah dengan diapit oleh dua gedung kembar di kanan kirinya.

Dua bisikan yang menghampiri telinga itu membuatku bimbang. Tidak ada orang lain yang mampu membantu. Aku hanya punya diriku sendiri untuk memutuskan. Memilih pilihan pertama atau kedua. A atau B. Jika aku memilih A, maka setiap hari aku dapat melihat senyum manis sang Bidadari. Ibuku juga pasti akan senang karena aku tak akan pergi jauh darinya. Apalagi jika benar berjodoh dengan sang Bidadari. Tetapi seberapa yakin jika ia adalah jodohku? Aku tak tahu. Andai saja ada alat pendeteksi jodoh, mungkin aku bisa lebih mudah memilih. Aku akan mengetahui apakah dia benar-benar jodohku atau bukan.

Jika memilih B, maka aku harus berjuang lagi dari nol. Aku harus kembali berjudi dengan nasib. Bisa berhasil, bisa gagal. Tapi bukankah cita-citaku itu hadir sebelum cintaku? Apakah aku akan mengkhianati cita-citaku demi cinta?

Aku memejamkan mata seperti sesaat setelah membuat tulisan “Politeknik Keuangan Negara STAN” di secarik kertas putih dan ditempel di dinding kamar. Aku membuka mata kembali, ingin berteriak lantang untuk melepaskan kebimbangan. Namun, teriakanku tertahan di kerongkongan. Layar lebar itu mati, lalu hidup lagi dengan menayangkan dua orang yang berangkulan. Tapi kali ini bukan aku dan orang yang tidak jelas identitasnya. Sekarang, dua orang yang berangkulan itu adalah ibu dan bapakku. Mereka berjalan mendekat. Layar lebar itu menghilang, lalu ibu dan bapak yang tadi berada di dalam layar itu menjadi sosok nyata di hadapanku. Ibu tersenyum, sementara bapak tetap bersemayam bersama wajahnya yang tanpa ekspresi.

“Nak, apakah kamu tetap akan mengejar impianmu itu? Sekarang kamu sudah berhasil masuk kampus negeri. Itu bukan hal yang bisa semua orang capai. Apakah kamu tidak ingin menyelesaikan pendidikanmu di sini saja? Setidaknya jika tetap ingin masuk kampus impianmu itu, kamu jangan keluar dulu dari kampus yang sekarang. Emak dan bapak pasti akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Emak ingin melihatmu sukses, melihatmu tersenyum bahagia. Tapi Emak juga ingin mendapatkan kebahagiaan darimu. Emak harap nanti kamu mencari jodoh orang sini saja ya, Nak! Supaya nanti jika benar-benar bisa meraih cita-citamu itu dan akan bekerja di tempat yang jauh, kamu tetap akan memiliki waktu untuk pulang ke rumah. Supaya Emak nanti bisa menggendong cucu darimu.”

Apa yang disampaikan ibu barusan justru membuatku semakin bimbang. Cinta atau cita? Padahal pilihan-pilihan itu masih berupa harapan. Belum ada yang menjadi kenyataan. Aku bisa mendapatkan salah satunya, mendapatkan keduanya, atau bahkan kehilangan semuanya.

Sejenak, aku mencoba menutup mata dan telinga. Mengabaikan bisikan-bisikan yang telah memenuhi telinga. Kini, aku akan mendengarkan bisikan dari hatiku. Aku akan memilih berdasarkan apa yang disampaikan olehnya. Bismillah. Aku menyilang salah satu jawaban dengan pena.

“Al! Ali! Al! Kunci jawabanmu!”

Kembali terdengar suara bisikan. Tetapi kali ini suara bisikan itu terdengar nyata. Itu bukan lagi suara bisikan imaji, itu suara bisikan dari Hanip Udin. Mata kubuka. Ibu dan bapak sudah tidak ada di hadapanku. Ruang imaji telah berubah menjadi ruang ujian. Dan di hadapanku kini ada Hanip Udin yang sedang duduk dan menoleh ke arahku, ingin melihat jawabanku.

Wah enak saja ia mau menyontek. Apalagi kemarin ia menjadi calon ketua angkatan bersama Nuraisha. Eh, tapi bukankah soal-soal ini kujawab dengan asal-asalan? Aku yakin sekali jika jawabanku banyak yang salah.

Obrolan batinku sudah mendapatkan satu keputusan. Aku memiliki keyakinan penuh jika jawabanku tidak meyakinkan. Mungkin hanya benar separuhnya saja. Itu pun jika jawaban yang menurutku benar tak meleset. Jika meleset, bisa jadi aku hanya benar tiga puluh persen saja, atau bahkan salah semua. Akhirnya, kubiarkan kertas jawabanku dilihat oleh Hanip Udin. Andai tahu kalau jawabanku ngawur, mungkin dia sama sekali tidak tertarik untuk menyontekku.

Lihat selengkapnya