Kami berjalan mengikuti jalan berumput hingga sampailah di ujung jalan. Tapi perjalanan belum usai. Dari tempat kami berdiri, masih belum tampak tempat yang dituju. Hanya terdengar sayup-sayup gemercik air.
“Subhanallah,” ucap Wawan berkali-kali. Ia adalah sosok dibalik perjalanan ini. Ia yang mengajakku dan Yayan untuk menjelajahi tempat yang direkomendasikan oleh teman pondoknya. Kebetulan, aku dan Yayan sedang menikmati libur semester. Meskipun setelah liburan usai, aku tak akan melanjutkan perkuliahan lagi.
Ratusan anak tangga harus kami lewati. Tidak ada jalan lain untuk menuju tempat itu. Wawan memimpin jalan, sementara aku dan Yayan menguntit dari belakang. Jalan yang kami lewati sengaja dibuat berkelok-kelok supaya tidak terlalu curam. Dua kali kami berhenti sejenak sambil menatap tebing yang berdiri sejajar dengan tempat kami berdiri. Tebing itu didominasi oleh pohon kelapa yang tumbuh menjulang. Daun-daunnya yang terjuntai dari ujung pohon, melambai-lambai ketika ditiup angin, seakan sedang menyambut kedatangan kami.
Setelah melewati anak tangga terakhir, kami segera beranjak menuju sumber gemercik air yang sedari atas sudah kami dengar bunyinya. Dari tempat ini, suara gemercik air itu terdengar semakin jelas, tapi wujudnya masih belum terlihat.
Kami berjalan di tepi aliran air yang mengalir jernih di atas bebatuan alam. Tidak ada sampah di sepanjang aliran air ini. Tidak seperti sungai-sungai yang berada di kota atau yang melintasi kawasan permukiman. Wawan berhenti begitu sampai di tempat yang kami tuju. “Subhanallah,” lidahnya terus mengagungkan nama Tuhan. Ia sadar betul jika pemandangan yang terlukis di hadapannya saat ini adalah karya dari Sang Pencipta yang tidak dapat ditiru oleh siapa pun. Ada yang tahu tempat ini? Ini adalah air terjun atau kami biasa menyebutnya curug Ceheng. Curug yang terletak di Desa Gandatapa, desa yang sama saat pelaksanaan acara TEKAD 1.
Aku dan Yayan berjalan menuju satu bangunan tempat berteduh yang terlihat tidak terawat. Bangunan ini mungkin bisa disebut sebagai gazebo. Memiliki empat tiang di tiap sisinya, lantai semen, atap beton, dan tidak memiliki dinding. Sungguh sayang sekali, tempat yang begitu indah seperti ini tidak memiliki tempat berteduh yang lebih nyaman. Mungkin karena sepi pengunjung sehingga pengelola malas untuk merawat tempat ini. Hari ini saja hanya ada kami bertiga. Tidak ada pengunjung lain. Padahal akhir pekan.
Yayan tidak bisa berlama-lama berdiam diri ketika ada air yang begitu jernih di depan mata. Ia segera menanggalkan baju dan celana jinnya, menyisakan celana pendek yang melekat di tubuhnya. Segera berlari dan menceburkan diri ke dalam muara curug. Wajahnya tampak semringah seperti seorang bocah yang baru saja dibelikan mainan baru oleh ayahnya.
“Kamu nggak ikut Yayan, Wan?”
“Nggak, Al. Di sini saja. Aku nggak bawa baju ganti.”
Aku tak bisa berlama-lama bersama Wawan. Suara gemercik air yang terjun dari ketinggian 13 meter itu memaksaku untuk segera berada dalam dekapannya. Aku berlarian dengan bertelanjang dada menyusul Yayan. Byuuur!
Persoalan cinta dan cita-cita yang sedang melanda alam pikiranku teralihkan begitu saja. Pikiran kembali jernih, sejernih air yang dengan mesra mendekapku. Tempat ini benar-benar menawarkan kesegaran yang sulit didapatkan di tempat lain.
“Ayo turun, Wan! Seger banget loh,” ajak Yayan menggoda Wawan yang sedang berdiri di atas batu, di tepi muara curug. Ia tak bergeming, tetap fokus memandang lukisan Tuhan di hadapannya. Seperti sedang berbincang dengan Tuhan yang hadir dalam wujud air terjun. Mulutnya terus berkomat-kamit mengagungkan nama Tuhan. Setelah obrolannya dengan Tuhan rampung, barulah ia membalas ajakan Yayan.
“Yan, aku ada koin nih, kalian berdua rebutan buat dapetin koin ini ya!”
Aku dan Yayan mengangguk. “Satu, dua, tiga...!” Wawan melemparkan koin itu di antara kami. Aku meluncur, lalu menenggelamkan diri ke dalam air. Koin itu sudah tampak di depan mata. Menyempil di antara bebatuan. Aku berusaha mengambil koin itu, tetapi hanya bisa kupegang setengah bagian saja. Setengah bagian lainnya ditarik oleh Yayan. Kami berebutan koin itu.
“Nak, kamu lagi apa?” pertanyaan ibu dari luar kamar mengagetkanku.
“Lagi belajar, Mak.”
Ibu berjalan masuk ke dalam kamar. “Makan dulu, Nak! Kamu nggak lelah belajar terus dari pagi sampai malam?”
“Lelah pasti, Mak. Tapi jangan sampai menyerah.”