Priit! Peluit telah berbunyi dalam imaji. Pertandingan sepak bola di Stadion Gelora Muchail telah dimulai. Aku satu tim dengan Sipur. Sementara tim lawan diisi oleh Mas Dwi, Husen, dan Juned. Dua lawan tiga. Meskipun tampak tidak adil, tetapi semua sudah sepakat.
Sipur mengoper bola kepadaku. Aku langsung menendang bola itu dari tengah lapangan. Sialan. Bola itu membentur pohon duku yang berdiri di depan gawang lawan. Bola itu terpental keluar lapangan. Aku segera berlari ke belakang untuk menjadi kiper. Sementara Sipur bersiap-siap menahan gempuran lawan.
Mas Dwi melakukan lemparan ke dalam. Bola diterima oleh Juned. Ia tak terburu-buru. Bola itu dioper kepada Husen yang menjadi kiper. Bola itu tak lama berada di kaki Husen. Bola langsung ditendang ke depan dan mengarah tepat di kaki Mas Dwi.
Sipur berdiri tepat di hadapan Mas Dwi. Membatasi ruang geraknya. Pandangannya fokus terhadap bola di kaki Mas Dwi. Juned mengangkat tangannya, meminta Mas Dwi untuk segera mengoper bola itu kepadanya. Namun, Mas Dwi kesulitan. Sipur berhasil menutup ruang gerak Mas Dwi. Akhirnya, ia mengoper bola itu ke belakang.
Siapa sangka, bola itu tidak sampai kepada Husen. Terhalang oleh pohon duku. Bola memantul dan tepat menuju kaki Sipur. Ia pun tak menyia-nyiakan peluang. Langsung berlari hingga berhasil berhadapan langsung dengan Husen. Tidak ada ampun. Sipur menendang bola itu sekuat-kuatnya. Bola itu meluncur deras tak dapat ditepis oleh Husen. Skor 1-0.
Aku masih berdiri di depan gawang. Bersiap-siap untuk menerima tendangan Juned dari tengah lapangan. Sipur tidak berani menghalangi tendangan Juned. Jarak tengah lapangan dengan gawang memang dekat, lebih dekat dibandingkan dengan lapangan futsal. Kami biasanya memanfaatkan kesempatan itu untuk langsung menendang bola ke arah gawang.
Aku memasang kuda-kuda, bersiap-siap. Juned adalah pemilik tendangan paling kencang di antara kami. Tanpa ampun, Juned menendang bola itu dengan sangat kencang. Bola meluncur di atas kepalaku, tidak dapat kugapai.
“Gooolll!” teriak Juned.
“Mana ada. Tendangan gawang saja. Aku tak bisa menggapai bola itu,” ucapku.
“Kamu nggak melompat, Al. Harusnya kalau kamu melompat masih bisa kamu gapai.”
“Heh, aku sudah melompat lah.”
Begitulah peraturannya. Karena tidak memiliki mistar gawang, maka ketika bola tidak dapat digapai oleh kiper berarti tidak gol. Gawangku hanya menggunakan dua pohon duku yang tumbuh sejajar di kanan kiri sebagai tiang gawang. Sementara tiang gawang tim lawan adalah satu pohon duku di sisi timur dan satu pohon sengon di sisi barat. Aku beruntung mendapatkan gawang di sisi selatan karena gawangnya lebih sempit dibandingkan gawang tim lawan. Dan lagi-lagi, meskipun tampak tidak adil, tetapi semua sudah sepakat.
“Kalian suit saja untuk menentukan gol apa nggak!”
Kami menerima saran dari Mas Dwi. Suit. Dan hasilnya aku menang suit. Juned agak sedikit kesal tetapi tetap bisa melanjutkan pertandingan. Aku mengambil bola yang telah jauh keluar dari stadion. Bola itu meluncur hingga pekarangan tetangga.
“Bolanya peyot,” teriakku.
“Lah itu bolong,” tunjuk Sipur.
“Sini aku tiup.” Tanpa basa-basi, Husen langsung mengambil bola yang kupegang. Ia tiup bola itu di bagian yang bolong.
“Sudah.”
“Heh, kamu sadar nggak, Sen? Itu ada tahinya loh!”
“Hah? Iya kah?”
“Tuh!” tunjuk Juned.
“Mbeeek... mbeeek....”
“Ha... ha... ha....”
Aku mengelap tahi ayam yang menempel di bola dengan menggunakan daun kering yang berserakan di atas lapangan. Segera melanjutkan pertandingan yang tertunda. Belum juga aku menendang bola, hujan mengguyur stadion.
“Pulang, Nak!” teriak ibu kepadaku dan Sipur dari belakang rumah.