Hari demi hari terus kulalui, tidak ada perubahan berarti yang terjadi dalam hidupku, terutama dalam pekerjaan yang sedang kutekuni. Aku hanya mampu membuat tidak lebih dari sepuluh gulungan rambut yang dinyatakan layak oleh sensir. Padahal teman-teman di meja sebelah yang sudah mahir, bisa membuat lebih dari seratus gulungan rambut dalam sehari. Terkadang, itu mampu menyalakan api semangat dalam diri agar aku bisa seperti mereka, meski lebih sering justru membuat api semangat itu semakin padam.
Satu bangku terdiri atas enam orang. Aku duduk di ujung bangku yang dekat dengan jalur untuk laluan pegawai. Sementara dua orang di sebelahku adalah cewek lulusan SMP. Aku sama sekali tidak pernah mengobrol dengan mereka. Hanya bertanya namanya saja pada hari pertama aku bekerja. Pertama, karena aku introver. Kedua, karena mereka tidak memulai obrolan terlebih dahulu. Dan ketiga, karena mereka cewek. Aku tidak tahu mau mengobrol apa dengan mereka. Tidak mungkin aku mau mengobrol tentang cita-citaku, atau mengobrol soal tim bola favorit, atau buku apa yang sedang mereka baca. Pada akhirnya, aku tetap bersemayam dalam diam, hanya berusaha fokus untuk bisa cepat mahir dalam membuat gulungan rambut. Dengan demikian, aku akan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk modal bertarung di medan ujian menuju kampus impian.
Sementara itu, orang-orang di bangku seberang sudah berganti dua kali semenjak kehadiranku. Bahkan ada yang hanya berangkat setengah hari. Setelahnya, sudah tidak ada kabar lagi. Kurasa mereka hanya iseng-iseng saja mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. Maklum, tempat ini bagaikan tempat pelarian bagi anak-anak yang putus sekolah. Baik yang hanya lulusan SD, SMP, atau SMA. Ketika melihat wajah mereka, seakan terpampang jelas wajah Indonesia. Pendidikan yang rendah, putus sekolah, mental yang lemah, mudah menyerah, dan ketika lulus dari sekolah, mereka seakan hanya dipersiapkan untuk menjadi buruh di tempat semacam ini. Tidak ada tempat lain yang menawarkan sesuatu yang lebih baik. Dan itu terjadi karena tidak ada keahlian yang sanggup mereka tawarkan. Apalagi dengan persyaratan masuk kerja yang hanya bermodalkan fotokopi KTP, tanpa perlu bantuan orang dalam. Dibandingkan bekerja sebagai petani yang harus bermandikan keringat, mereka lebih memilih untuk bekerja di tempat semacam ini. Bukan tidak boleh, tetapi memprihatinkan.
Dan ini hanya satu contoh di salah satu desa yang boleh dikatakan masih terjangkau oleh listrik, jaringan internet, dan jalur transportasi yang memadai. Bagaimana dengan daerah-daerah terpencil di pelosok negeri? Bagaimana kiranya wajah Indonesia emas tahun 2045? Apakah tujuan menjadi bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur dapat terealisasi?
Kembali ke tempat kerja. Hari ini, bangku di seberangku diisi oleh dua orang. Sepasang kekasih pria berkulit hitam dan perempuan berkulit putih. Mereka memperkenalkan diri. Namanya Jono dan Santi. Usianya tidak terpaut jauh dariku. Sama seperti awal kedatanganku, mereka berdua diajari oleh sensir yang hampir setiap minggu selalu mengajari orang-orang baru.
Kedatangan mereka mampu menghidupkan aku dan dua cewek di sampingku yang sedari kemarin saling menikmati diamnya masing-masing. Jono bercerita jika ia dengan kekasihnya sudah menikah secara siri. Ia tak menceritakan alasan apa yang membuatnya hanya menikah secara siri. Dan tentu aku tak mau tahu soal itu. Ia sering membuat lelucon, bernyanyi sendiri, dan bermain tebak-tebakan bersama kami. Terkadang kekasihnya menimpali leluconnya, dan membuat kami tergelak mendengarnya. Meskipun lebih suka dengan keheningan, tetapi ada kalanya aku merasa kesepian dalam keheninganku. Apalagi ketika terbayang dengan senyum manis sang Bidadari Bermata Bening. Muncul rasa penyesalan mengapa aku harus keluar dari UNSOED dan memilih untuk menapaki jalan hidup yang terjal. Dan kehadiran Jono, setidaknya mampu membuatku tersenyum sejenak untuk menikmati hidup.
Bayangan masa depan yang suram sering kali menghantui pikiran. Cita-citaku menuju PKN STAN masih berupa harapan yang entah dapat kugapai atau tidak. Kekhawatiran itu semakin kurasakan karena di tempat ini aku tidak memiliki teman yang memiliki satu visi. Jika tahun ini aku gagal menggapai impianku itu, mungkin penyesalan dalam diriku akan semakin bertambah besar.
“Al, kamu sudah punya pacar?” tanya Jono memecah keheningan.
“Belum.”
“Di sebelahmu ada dua cewek loh. Gimana sih kamu, Al?”
“Heh, aku di sini mau kerja, bukan mau pacaran.”
“Memang di sini ada larangan buat pekerjanya supaya nggak pacaran? Nggak ada, Al. Ini bukan sekolahan, Al. Ah, aku jadi teringat zaman SMP dulu. Sempat kena razia pacaran. Ha... ha....”
“Oh, ternyata kamu sudah pacaran dari SMP, Yang? Berarti aku ini pacar ke berapamu, Yang?”
“Eh, itu dulu, Yang. Sekarang kan kamu sudah jadi istriku.”
“Memangnya kamu SMP-nya di mana, Jon?” tanyaku basa-basi.
“SMP 2.”