Klontang...! Klontang...!
Puluhan pipa jatuh berhamburan. Kertas putih yang digunakan sebagai pelindung rambut di pipa-pipa itu bolong dan sobek. Rambut yang tergulung pada pipa itu terlepas dan berceceran di atas lantai. Aku menatap benda-benda itu dengan wajah merah padam. Seakan benda-benda itu adalah musuh yang baru saja menyakiti orang terkasihku. Dan aku baru saja membuat musuh itu bertekuk lutut kepadaku.
Tidak ada orang yang menyaksikan kejadian itu. Tidak ada yang mendengar suara pipa-pipa yang berjatuhan setelah aku lempar dengan kencang. Pun tidak ada orang yang mendengar gemuruh batinku sebelum pipa-pipa itu jatuh ke lantai. Kejadian itu berlangsung cepat di waktu yang sama ketika aku mengumandangkan cita-cita. Namun, kali ini ibuku tidak datang ke kamar untuk memastikan suara itu. Mungkin beliau baru bisa tertidur setelah semalaman tidak bisa tidur karena nenekku tidak berhenti mengoceh sendiri.
Kamar ibu bersebelahan langsung dengan kamar nenek. Maka, ketika nenek mengoceh, ibuku akan mendengarnya dengan jelas. Terkadang, nenek memukulkan tongkat kayunya ke meja. Meminta makan atau minum. Padahal beliau baru saja diberi makan oleh ibu. Sering kali bertanya tentang ayam-ayamnya. Ingatannya semakin melemah. Tidak bisa membedakan siang dan malam. Siang digunakan untuk tidur dan malam digunakan untuk mengoceh, membuat orang lain tidak bisa tidur. Namun, meski daya ingatnya berkurang, beliau justru masih mampu melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihafal. Mulai dari surah Yasin, Ar-Rahman, Al Waqi’ah, Al-Mulk, serta juz amma.
Namun, nenek lebih sering mengoceh tanpa makna. Persis dengan apa yang dilakukan oleh kakek sebelum meninggal dunia. Penglihatannya semakin kabur. Pendengarannya semakin berkurang. Jika ibu menasihatinya dengan suara pelan, nenek tidak akan mendengar, meminta ibu untuk mengulangi apa yang barusan dikatakan. Namun, jika dinasihati dengan nada tinggi, nenek merasa seperti sedang dibentak oleh ibu.
Ketika membayangkan wajah lelah ibu dalam mengurus nenek, gemuruh di dalam batinku mereda. Apa yang kualami, sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang ibu alami. Dan ibu tidak pernah mengeluh dengan apa yang beliau alami. Dua kali mengurus orang tua yang sepuh tentu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh semua orang. Tuhan hanya akan memberikan tanggung jawab itu kepada orang yang memiliki kesabaran. Dan orang itu adalah ibuku. Bahkan beliau menganggap tanggung jawab itu sebagai tabungan amal kebaikan. Tidak ada warisan yang beliau harapkan dari orang tuanya. Beliau hanya mengharapkan ketika dirinya sudah sepuh kelak, ada orang yang merawatnya, seperti halnya beliau merawat kedua orang tuanya yang sudah sepuh dengan tulus.
Membayangkan wajah ibu yang memancarkan ketulusan, membuat aku takluk. Tentu, ibu sangat berharap aku bisa memenuhi harapan ibu. Menjadi orang yang akan merawat beliau ketika sudah sepuh kelak. Dan itu tidak mungkin dilakukan jika aku pergi merantau.
“Ali, pergi merantau dan menggapai cita-citamu itu bukan berarti kamu tidak memenuhi harapan ibu. Kamu tentu ingat dengan janji kamu ketika lulus dari SMP bukan?Apakah kamu masih ingin bisa berkuliah di luar negeri? Kalau kamu bisa lolos ke PKN STAN, lalu bekerja di Kementerian Keuangan, kamu akan punya kesempatan mendapatkan beasiswa untuk bisa berkuliah di luar negeri. Tapi kalau tetap di sini, kamu tidak mungkin bisa menunaikan janji itu. Apakah kamu masih ingat dengan janji itu?”
Sejenak, aku memandangi secarik kertas putih di dinding kamar yang mengajakku berkelana mengingat janjiku kala itu. Sejenak, sekelebat keinginanku untuk memenuhi harapan ibu menguap. Ibu memang berharap aku bisa merawatnya ketika sepuh kelak. Namun, beliau juga berharap aku bisa menjadi orang sukses. Dan kesuksesan itu mungkin hanya bisa kugapai jika aku pergi merantau. Mencari ilmu dan bekerja di tempat yang jauh.
**