InSTAN

Hasan Ali
Chapter #20

Kisah Masa Lalu

Sore itu, ketika langit cerah mengantarku pulang ke rumah, ibu menyambutku dengan penuh ramah. Sambutan itu, mampu mengusir rasa lelah setelah seharian berjuang mencari rupiah.

Aku meletakkan bahan-bahan yang akan kugunakan untuk lembur nanti malam di ruang tengah. Kuambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Membayangkan guyuran air membasahi tubuh yang teramat lelah. Itu adalah kenikmatan kecil yang teramat penting. Apalagi ibu sudah menyiapkan teh hangat dengan camilan singkong goreng. Rasa-rasanya, aku sudah tidak sabar untuk menghabiskan hidangan itu.

Langkahku tertahan sesaat setelah melihat nenek yang terkapar di atas ranjangnya. Bukan tertahan sebab terkaparnya, namun sebab napasnya yang terdengar berat. Beliau menoleh, melukiskan wajahnya yang dipenuhi kerutan. Rambutnya yang putih tergerai berantakan di atas bantal. Beliau tak memukul-mukulkan tongkat seperti biasanya. Mungkin sebab tenaganya sudah tidak ada. Atau beliau sadar jika itu hanya akan mengganggu orang lain.

Aku berjalan mendekat dengan handuk masih terselempang di pundak. Tanganku diseret, beliau seakan menyuruhku untuk segera duduk di sampingnya. Aku menurut, duduk di tepi ranjang. Beliau memegang erat tanganku. Barangkali sebab beliau sudah tidak bisa lagi memegang tangan suaminya yang telah mendahuluinya bertemu dengan Tuhan di surga.

Sore itu, di jarak yang teramat dekat, aku dapat melihat dengan lebih jelas keriputan yang terlukis di wajahnya. Barangkali aku juga akan mengalami hal serupa jika Tuhan memberiku umur yang panjang. Tangannya hanya menyisakan tulang yang diselimuti kulit, dan syaraf-syaraf di dalamnya. Ototnya menyusut bersamaan dengan menyusutnya usia.

“Al, kamu sudah besar. Bagaimana kabar ayam-ayam Nini? Kemarin yang hilang satu ekor sudah balik ya?”

Heh, mengapa pula nenekku ingat dengan ayamnya yang kuambil untuk praktikum?

“Ah, tapi itu bukan masalah. Al, kamu mau mendengarkan sebuah kisah masa lalu? Kamu mau mendengarkan kisah seorang perempuan yang menangis karena dilarang oleh emaknya pergi merantau?”

Aku mengangguk.

**

Perempuan itu lahir ke dunia pada masa pemerintahan orde baru. Tahun di mana terjadi ketegangan di Indonesia bagian timur, tepatnya di Papua Barat. Tahun di mana terjadi Pepera atau penentuan perjanjian rakyat Papau Barat. Yang mana hasilnya dapat disaksikan sekarang. Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia setelah secara aklamasi, 1.025 laki-laki dan perempuan yang diseleksi militer Indonesia memilih bergabung dengan Indonesia.

Perempuan itu lahir sebagai anak keempat di sebuah kampung, di tengah pulau Jawa. Kakak tertua dan kakak keduanya perempuan, sementara kakak ketiganya laku-laki. Tidak ada yang spesial dalam diri perempuan itu. Pun tidak ada yang spesial di dalam hidupnya. Namun, barangkali ketidakspesialan itu akan terdengar menarik jika diceritakan di masa depan.

Lihat selengkapnya