InSTAN

Hasan Ali
Chapter #21

Kabar yang Mengejutkan

Perempuan yang sedang mengandung itu berjalan seorang diri. Perutnya sudah tampak membesar. Jalannya sudah tak bisa normal. Ia baru saja menyelesaikan lemburnya di PT rambut di kota. Angkot langganannya sudah pulang sedari tadi. Tidak ada teman yang satu arah pulang. Ia harus berjalan seorang diri, menempuh jarak yang cukup jauh hingga sampai di halte bus.

Langit semakin gelap. Tak lama berselang, hujan turun deras. Tetes demi tetes air membasahi tubuh perempuan itu. Ia tak membawa payung maupun mantel. Tak ada tempat berteduh. Ia harus melewati bulakan yang cukup luas untuk sampai di permukiman terdekat. Hanya ada satu dua kendaraan yang lewat, namun tidak ada yang peduli dengan perempuan itu. Seolah-olah perempuan itu hanyalah seekor ayam yang tersesat di jalanan.

Badannya menggigil. Napasnya terasa semakin berat. Kakinya sudah tak kuat lagi untuk berjalan. Bahkan untuk berdiri saja sudah kepayahan. Perempuan itu hanya bisa berbisik kepada Tuhan untuk menyelamatkannya. Andaipun tak mampu selamat, ia berharap bayi di dalam kandungannya dapat diselamatkan. Bukankah waktu hujan adalah waktu yang mustajab untuk berdoa?

Harapan itu semakin menipis. Hujan bertambah deras, seakan-akan tak memberi ampun. Perempuan itu hanya bisa pasrah. Jika memang sudah takdirnya, maka ia harus bersiap. Bukankah meninggal dunia saat mengandung sama seperti meninggal ketika berjihad di jalan Allah?

Pintu surga sudah terbuka di depan mata. Cahayanya tampak begitu terang menyilaukan mata. Perempuan itu disambut oleh satu malaikat. Kepalanya menatap sang Malaikat itu. Ia tersenyum. Sang malaikat menjulurkan tangannya. Perempuan itu menyambut uluran tangannya.

“Maafkan Kangmas terlambat, Dek. Ayo bangkit!” ucap lembut sang Malaikat yang kini hadir dalam bentuk sang Suami.

Perempuan itu belum mati. Sang Suami berkejaran dengan waktu, mengayuh sepedanya sekuat tenaga supaya segara bisa menyambut sang Istri. Apalagi ketika hujan turun. Semakin cepat ia mengayuh sepedanya. Keringatnya bercampur dengan tetesan air hujan. Semakin deras keringat yang keluar dari tubuhnya, semakin besar pula bukti cintanya kepada sang Istri.

Sang Istri didudukkan di jok belakang. Duduk dengan posisi miring. Sang Suami segera mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Kali ini tenaga yang dikeluarkan harus dua kali lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Beban yang dibawa semakin berat. Ada dua nyawa yang menjadi taruhannya. Tiga nyawa dengan dirinya sendiri.

Dari arah belakang, sebuah mobil melaju kencang. Mobil itu menghantam genangan air di tengah jalan. Byuuur! Air itu mengguyur pasangan suami istri di atas sepedanya.

“Maafkan Kangmas, Dek. Maafkan Kangmas karena belum mampu membuat Adek nyaman,” ucap sang Suami dengan suara parau yang dikeraskan. Jika tak dikeraskan, suaranya akan kalah dengan suara rintik hujan.

Sang Istri mencoba tersenyum meski senyumnya tak terlihat oleh sang Suami. “Bisa pulang bersama Kangmas saja, itu sudah menjadi hal ternyaman bagi Adek,” ucapnya.

Meski terdengar samar, tapi sang Suami dapat mencerna kalimat itu. Ia tersenyum lebar. Cinta di hatinya semakin mekar. Cinta itu berubah menjadi tambahan energi bagi sang Suami. Dingin air hujan yang ia rasakan kini berubah menjadi pelukan hangat dengan kehadiran raga dan batin sang Istri.

Malam sebentar lagi menyapa. Satu langgar sudah mengumandangkan azan magrib. Rumah mereka sudah dekat. Tinggal melewati satu tanjakan saja. Namun, takdir berkata lain. Energi sang Suami untuk mengayuh sepeda sudah di ujung tanduk. Salah satu kakinya terpeleset dari pedal. Sepedanya oleng dan terperosok ke dalam got. Sang Suami terkapar di atas jalan, sementara sang Istri terlempar ke tepi jalan.

“Aaarrrggghhh!”

“Tolong! Tolong!” teriak sang Suami begitu melihat sang Istri berteriak menahan rasa sakitnya.

Teriakan sang Suami mampu mengalahkan suara guyuran hujan. Orang-orang mendengar suara itu. Para lelaki segera keluar rumah, membantu pasangan suami istri itu.

“Aduuh! Aduuh!” sang Istri menangis sambil memegang perutnya yang buncit.

“Mobil! Mobil! Pak Anas segera ambil mobil sampeyan. Bawa segera ke rumah sakit!”

Pak Anas segera berlari menuju rumahnya, mengambil mobil yang ia miliki. Di kampung itu, masih sedikit orang yang mempunyai mobil, salah satunya Pak Anas.

Dibantu oleh beberapa lelaki, sang Suami membopong istrinya ke mobil Pak Anas. Mobil itu segera menuju rumah sakit terdekat. Sang Suami mendekap erat sang Istri sambil menggenggam tangannya. Menguatkan sang Istri dengan energi cinta yang ia miliki.

Sampai di rumah sakit, sang Istri segera dibawa ke IGD. Sang Istri masih menahan rasa sakitnya. Sang suami yang selalu berada di sisinya juga merasakan rasa sakit itu, rasa sakit yang menusuk hati.

“Maaf Bapak tunggu di depan ya!” ujar dokter yang hendak menangani sang Istri.

“Saya suaminya, Dok.”

Lihat selengkapnya