InSTAN

Hasan Ali
Chapter #23

InSTAN

Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil.

Mantra dari Alif di PM dalam novel Negeri 5 Menara telah aku tunaikan. Tidak ada yang dapat kulakukan lagi kecuali berserah diri kepada Sang Pemegang Takdir. Rezeki telah diatur, tidak akan tertukar. Wawan yang sudah mantap hidup dalam lingkungan pondok, tidak mungkin ujug-ujug berfoto di depan air mancur yang terdapat tulisan POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN di atasnya sambil mengenakan jas almamater biru.

Bersungguh-sungguh itu bukan hanya dengan belajar, aku juga bersungguh-sungguh untuk meluluhkan hati perempuan yang telah melahirkanku. Itu jauh lebih sulit. Memang tidak ada ukuran pasti seberapa besar kesungguhan yang harus kulakukan untuk bisa mendapatkan keberhasilan. Bisa jadi orang dengan kesungguhan seratus persen akan kalah dengan orang yang hanya mengerahkan sepuluh persen kesungguhannya. Bisa jadi karena bukan di tempat itu rezekinya, bisa juga terjadi karena tidak mendapatkan restu dari orang tua, baik ibu maupun bapak.

Itu yang terjadi pada tahun 2017. Usahaku sudah seratus persen, namun ibu belum sepenuhnya merestui apa yang aku impikan. Ibarat kata, aku sudah menanam seratus bibit tanaman pada sebuah lahan, tetapi langit tidak merestui hujan untuk turun di lahan itu, atau matahari enggan untuk memancarkan cahaya kehidupan. Apa mau dikata? Tidak ada satu pun dari tanaman itu yang berhasil tumbuh.

Tidak ada keberhasilan yang dicapai dengan instan. Jika pun ada, tentu itu bukan aku, karena aku hanya dilahirkan oleh bapak yang bekerja sebagai tukang becak dan ibu yang bekerja sebagai buruh di usaha bulu rambut rumahan. Tidak ada yang bisa diharapkan. Aku tidak mungkin menjadi sukses jika melanjutkan estafet pekerjaan bapak sebagai tukang becak. Kecuali jika tukang becak di negeri ini tidak lagi merasa terhina ketika menerima nasi bungkus yang dibagikan oleh para dermawan. Atau mereka sudah tidak perlu lagi berdesak-desakan mengantre untuk menerima bantuan sosial. Jika masih demikian, maka dapat dipastikan jika menjadi tukang becak, aku akan melanjutkan estafet kemiskinan.

Ada sedikit kebahagiaan ketika aku berhasil menjadi mahasiswa di Fakultas Peternakan UNSOED. Kebahagiaan itu aku rasakan karena berhasil menyandang status sebagai mahasiswa. Sebuah status yang tidak dimiliki oleh ibu dan bapak. Bahkan lulus SMA pun mereka tidak sampai.

Kebahagiaan itu semakin mekar ketika berjumpa dengan sang Bidadari Bermata Bening. Gadis itu seakan menjadi jawaban atas keresahanku, mengapa aku ada di sana. Namun, dorongan untuk mewujudkan impian utamaku kembali menggoyahkan setetes kebahagiaan itu.

Aku bersungguh-sungguh untuk mengejar impian itu. Berusaha menghalau semua hal yang menjadi penghambat antara aku dan impianku. Hingga akhirnya, impian itu hanya dipisahkan oleh tembok tinggi nan kokoh dalam wujud restu dari ibu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain merobohkan tembok tinggi nan kokoh itu dengan menyentuh hatinya. Jika aku beradu lidah dengan ibu, itu tidak ada bedanya seperti anjing yang sedang menyalak, tidak akan membuat tembok itu bergetar walau sejenak.

Ada yang tahu bangsa Ya’juj dan Ma’juj?

Meskipun bangsa Ya’juj dan Ma’juj digambarkan sebagai bangsa yang kejam dan tak berperikemanusiaan, tetapi tidak ada salahnya jika aku mencontoh hal baik dari mereka. Bangsa Ya’juj dan Ma’juj dikurung oleh Raja Dzulkarnain di dalam tembok yang tinggi dan kokoh. Ribuan tahun―hingga saat ini, dan sebelum janji Tuhan ditunaikan―mereka bekerja keras untuk merobohkannya. Sejak pagi hingga petang mereka melubangi tembok itu, tetapi setiap akan melanjutkan pekerjaannya keesokan harinya, lubang itu tertutup kembali. Namun, mereka tidak pernah menyerah hingga akhirnya pemimpin mereka mengucapkan zikir ringan, “Insya Allah”. Zikir ringan itu yang pada akhirnya dapat merobohkan tembok yang tinggi dan kokoh.

Kesungguhanku belajar setiap hari dibarengi dengan doa kepada Ilahi akhirnya dapat merobohkan tembok yang tinggi dan kokoh dalam wujud restu ibu. Ya, ibu telah merestui impianku sepenuhnya. Sekarang aku tinggal menunggu hasil atas usahaku setelah melewati tembok itu. Kali ini, aku tidak menginginkan usahaku berakhir seperti bangsa Ya’juj dan Ma’juj. Kisah mereka berakhir tragis karena kesombongannya setelah berhasil membobol tembok yang telah mengurungnya. Mereka merasa telah berhasil menguasai bumi dan langit setelah mendapati anak panah-anak panah yang dilemparkan ke langit kembali dengan lumuran darah.

Lihat selengkapnya