Hari ini jam kuliah ditiadakan berganti dengan tugas rumahan.Untungnya beberapa dari tugas yang belum terselesaikan telah dikumpul dan beruntungnya lagi seminggu yang lalu tidak ada dosen-dosen menambah pekerjaan rumah. Namun, tetap saja langkah demi langkah diambil untuk mencari Ketang sebutan ketua angkatan untuk menyerahkan tugas yang belum terperiksa. Ah, mencarinya harus ke laboratorium pasti dia semedi di sana. Langkah perjalanan dinikmati hingga menyusuri kelas-kelas sembari melihat sosok Ketang yang mungkin terlewatkan.
"Al, kamu mau ke mana?" teriakkan nyaring berhasil menghentikan langkah kaki. Dari belakang Shinta dan Artha sedang mengejar diri ini. Tubuh ini berbalik menunggu mereka yang berlari pelan masih menggunakan baju praktek.
"Shint, eh mau ke Lab. ngumpul tugas minggu kemarin," jawaban untuk mereka begitu sudah mendekat. Ada baiknya juga berjalan bersama mencari Ketang.
"Semingguan ke mana nggak bisa dihubungi?" pertanyaan Artha sontak memikirkan beberapa hari yang lalu tidak ada kabar yang dikirim ke kampus. Suratnya pun berupa izin sementara tanpa keterangan jelas, tapi tetap diizinkan.
"Hehehe kerja paruh waktu lagi banyak order jadi yah gitu sibuk banget terus biasalah
bangun kesiangan." Mainstream, terdengar sebagai alasan biasa saja.
"Lain kali walau kesiangan tetap masuk, klinik akhir-akhir ini ramai sekali."
Kini Shinta sedang menggerutu kesal. Artha pun mengangguk membenarkan pernyataannya. Ah, mungkin terlalu lama jadi mereka sedang merindu berat.
"Benar, kita aja yang gak sering jaga aja kewalahan."
"Emang ada apa?"
"Kamu nggak baca berita?"
Kepala ini hanya menggelengkan yang berarti tanda ketidaktahuan. Semuanya berhenti, cukup tahu bahwa Shinta tengah menghela napas berat. Itu tandanya dia akan menjelaskan panjang lebar.
"Akhir-akhir ini ada kasus pembunuhan massal menggunakan racun, gak berbahaya sih racunnya tapi itu sangat menyiksa dengan membuatmu ingin mual tapi tertahan karena tak bisa muntah dan tak bisa berpikir dengan jernih. Yang parah lagi kamu dapat gila karena rasa sakitnya. yakin sang pembunuh ingin korbannya tersiksa penuh kesakitan terlebih dahulu sebelum akhirnya mati menahan sakit. Dan saat ini lebih dari dua-puluh orang meninggal dunia seratus orang selamat sih tapi hampir separuhnya mengalami gangguan kejiwaan."
Penjelasan dari Shinta hanya dibalas anggukkan dari Artha yang sekarang di samping. Nampak mereka memasang wajah ketakutan ketika menjelaskan gejala dan korban selamat. Wah, pasti pembunuhnya ingin berpesta bersama korbannya dengan meracuni para korbannya.
"Al, nanti temani kita jaga ya. Kamu biasanya cukup cekatan dalam mengurus pasien, jadi mau ya ya?"
Menolehkan kepala mendapati Artha yang memegang lengan dan tatapan memohonnya. Artha, dia ini pintar sekali membujuk orang. Tidak ada yang bisa mengelak.
"Tapi pekerjaan-" Tangan Shinta menyilang yang berarti dia tidak mau mendengar.
"Izin terlambat aja Al, lagian semingguan kamu sudah gak masuk kuliah."
Kali ini hanya delikkan mata saja yang keluar saat Shinta dengan seenak jidat lebarnya mengizinkan dari diri ini. Dia tak tahu bagaimana Bos maniak gila uang yang tidak mereka kenal pastinya, itu mengendalikan diri ini jika meminta izin kerja semudah kata mereka. Kalau Bos tahu mungkin dia akan lebih menolong saat kuliah. Namun, rasa tak tega ketika mereka berdua bersekongkol untuk menghasut menemani mereka. Menutup mata berusaha tidak melihat tatapan memelas mereka namun tetap saja tidak tega.