Ia berjalan menyusuri koridor sekolah. Sudah empat bulan berlalu semenjak cowok itu meninggalkan sekolah ini. Musim gugur lalu, ia sama sekali tidak berpikir akan berada di tempat ini lagi. Tetapi lihatlah sekarang, cowok itu bahkan tidak tahu mengapa dirinya memutuskan untuk kembali. Melangkah dengan tenang menuju lokernya, mengabaikan setiap tatapan penasaran orang-orang yang tercengang melihatnya lagi.
Selama empat bulan terakhir cowok itu hidup di jalanan. Melakukan banyak hal bersama teman-teman seperjuangannya. Orang-orang yang mengerti siapa dirinya, dan tidak menghakimi atau memaksanya menjadi apa yang mereka inginkan. Tidak peduli apakah orang-orang itu bertato atau bertindik, yang ia tahu tempatnya adalah bersama mereka.
Seorang cewek berambut pirang ikal dengan syal biru terlilit di leher berjalan ke arahnya. Dia sedang memakai bedak, namun seketika langsung menutup kotak bedaknya ketika melihat cowok itu.
"Gabriel!" seru cewek itu terkejut.
Gabriel tidak memedulikannya.
Cewek itu buru-buru berkata. "Hei, aku berusaha menghubungimu selama ini. Kau dari mana saja? Aku khawatir kau tidak akan kembali ke sekolah lagi, tapi syukurlah kau di sini sekarang." Ia melangkah mengikuti Gabriel. "Apa ada yang bisa kubantu? Tugas atau semacamnya? Oh iya, kurasa aku masih punya formulir kegiatan amal tahun ini jika kau mau ikut."
Cowok itu berbalik. "Jangan pedulikan aku, Hel," balasnya lugas, meninggalkan Helene yang tertegun dengan mulut terbuka.
Tiga orang cewek berdiri di depan lokernya sambil berbisik-bisik. Saat Gabriel tinggal beberapa langkah dari mereka, mereka langsung menyingkir dengan ribut. Mereka memperhatikan Gabriel membuka loker seperti seorang penguntit, dan hal selanjutnya adalah cowok itu menatap mereka dengan tajam. Merasa terganggu.
Seseorang melompat dan merangkul Gabriel dari belakang, mengepit cowok itu di bawah lengannya. “Hei, buddy, apa kabar?” ia menarik Gabriel. “Tidak melihatmu sepanjang musim dingin, ke mana saja kau?” ia menepuk dada cowok itu.
Gabriel melepas rangkulannya. “Hei, Jer,” sapanya. “Kau tahu, hanya bersenang-senang.” Ia mengedikkan bahu. “Jadi, apa yang kulewatkan?”
“Dua pertandingan besar musim kemarin, dan kita kalah di salah satunya. Terima kasih untukmu karena tidak hadir sebagai guard di tim kita.”
Gabriel terkekeh singkat. “Ada Erick di dalam tim.”
Jerry mengibaskan tangannya. “Ah, dia cuma banyak gaya dan besar omongan saja.” Ia merangkul Gabriel lagi. “Ayo ke gym. Pelatih pasti senang melihatmu lagi. Tapi kuharap dia memukul bokongmu dulu karena melewatkan latihan begitu saja.”
Mereka berdua masuk ke dalam ruang loker gym untuk berganti pakaian. Merah dan emas, warna khas sekolah mereka. Gambar singa terlukis di dinding ruangan sebagai lambang maskot tim. Gabriel melepas jaket denimnya dan menggantinya dengan kostum basket, merasa baik bisa mengenakannya kembali.
"Hei guys! Lihat siapa yang memutuskan untuk kembali ke sekolah." Jerry berjalan melintasi lapangan gym sambil merangkul, atau lebih bisa dibilang menyeret Gabriel bersamanya. "Superstar kita!"
Anak-anak yang sedang berlatih langsung berhenti dan memperhatikan dua orang yang baru masuk itu, lalu mereka semua bersorak dan bertepuk tangan menghampiri Jerry dan Gabriel.
"Senang melihatmu lagi, man,” ujar Brad, ia menepuk-nepuk pundak Gabriel. “Kami semua sudah berusaha menghubungimu sepanjang musim dingin. Performa tim kita menurun tanpamu."
"Aku harus berkata kalau aku sedikit kesal harus mengembalikan posisi shooting guard padamu, tapi senang bertemu denganmu lagi, bro." Carlos mengulurkan kepalan tangannya, yang ditinju Gabriel sambil menyeringai. Ia kemudian menerjang dan mengacak-acak rambut Gabriel.
Untuk sementara waktu Gabriel senang dengan semua perhatian ini. Tetapi cowok itu tahu bahwa sebenarnya mereka tidak terlalu peduli padanya. Bagi mereka, dirinya adalah pemain basket dengan kemampuan hebat. Kebanyakan orang-orang di sekolah tahu latar belakang keluarganya, karena kelakuannya yang sering membolos. Orang tua Gabriel bercerai dan kini ia tinggal bersama ibunya, dan kakaknya yang sekarang sudah pergi meninggalkan rumah karena bekerja. Teman-temannya menganggap dirinya cowok biasa yang punya sedikit masalah dan suka bersenang-senang. Bolos, merokok, minum-minum atau pergi ke pesta, itu wajar bagi mereka semua. Mereka berpikir cowok itu seperti kucing liar. Tidak bisa diam di satu tempat, selalu pergi dan menjelajah ke mana pun ia mau.
Yang sebenarnya, melarikan diri.