Intact Yet Broken

Fann Ardian
Chapter #2

Chapter 2

Khansa buru-buru menyelesaikan ujian bahasa Perancisnya dengan gelisah. Pagi tadi ia terlambat bangun, dan belum belajar apa-apa untuk ujian hari ini. Cewek itu melihat sekitar. Hanya tersisa tiga orang di dalam kelas, dan salah satunya sudah berdiri menyerahkan kertasnya kepada Mr. Edgar, yang menunggu dengan tidak sabar. Khansa mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan pulpen. Masih ada sekitar tujuh pertanyaan dan dirinya sama sekali tidak tahu jawabannya. Kalau begini Khansa akan terlambat ke kelas berikutnya. 

Khansa masih menulis jawaban dua pertanyaan terakhir ketika Mr. Edgar mengetuk mejanya. "Kau akan mengumpulkan kertas ujian itu atau tidak?"

"Ya, Sir. Sedikit lagi." Cewek itu dengan cepat menulis dua kalimat dalam bahasa Perancis.

"Apa kau sadar kau tinggal sendirian di ruangan ini?" 

Ia tertegun, lalu menengok sekeliling. Tidak ada siapapun. 

Khansa mendongak melihat wajah Mr. Edgar, yang menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia nyengir kikuk, lalu secepat kilat kembali menyelesaikan jawaban pertanyaan terakhirnya.  

"Ini, Sir." Khansa langsung mengulurkan kertas ujiannya pada Mr. Edgar. 

Mr. Edgar menatapnya sebentar, menyorotkan tatapan bapak gurunya, sebelum menerima kertas ujian Khansa dan berbalik menuju mejanya. 

Khansa segera memasukkan semua alat tulisnya ke dalam ransel kemudian melesat melewati ruangan. "Terima kasih, Sir!" ia berlari keluar kelas menuju kelas berikutnya. 

Dari koridor, Khansa melihat anak-anak yang satu kelas dengannya berkerumun di luar kelas selanjutnya. Ia menarik tangan seorang cewek. "Ada apa?" ia mengarahkan tatapannya pada anak-anak yang mulai berjalan menjauh. 

Cewek itu melihat arah tatapan Khansa. "Oh, kelas tidak ada hari ini. Guru yang biasa mengajar sedang ada tugas ke luar kota." Ia menunjuk pengumuman di depan pintu kelas. 

Khansa mendekat dan membaca tulisan di sebuah kertas yang tertempel di depan pintu. "'Kelas ditiadakan hari ini'," bacanya. "Bagus. Kalau aku tahu aku pasti masih punya lima menit waktu tambahan untuk menyelesaikan esaiku dengan benar." Ia mendengus lelah sambil berkacak pinggang. 

Khansa berbalik, dan saat itulah ia melihat seorang cowok keluar dari ruang konseling. Tinggi dan berambut hitam gelap. Mulut cewek itu menganga.

"Gabriel!" serunya tertahan.  

Khansa sudah lama sekali tidak melihat cowok itu. Kabar yang berhembus cowok itu kabur dari rumah dan tidak bersekolah lagi. Tetapi semua orang juga tahu, Gabriel memang suka membolos dan melakukan apapun sesuka hatinya. Jadi tidak ada yang benar-benar terkejut dengan berita ini. 

Sejak tahun pertama SMA, Khansa selalu berada di satu kelas yang sama dengan Gabriel, tetapi tidak pernah dekat. Mungkin selama ini mereka hanya pernah berbicara satu atau dua kali. Gabriel selalu berkumpul dengan anak-anak populer, sedangkan Khansa lebih memilih anak-anak yang satu pemikiran dan ketertarikan dengannya.  

Beberapa hari sebelum Gabriel kabur dari sekolah, Khansa dan salah satu temannya sempat melihat Gabriel duduk di trotoar di seberang sekolah seorang diri sambil menunduk. Saat itu mendung dan bel pulang sudah lama berbunyi. Khansa tidak tahu apa yang sedang dilakukannya di sana, tetapi dia terlihat sedang menangis. Gerimis mulai turun dan Khansa terpaksa buru-buru masuk ke dalam bus, namun cowok itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

Hal ini membuat pandangan Khansa berubah tentang Gabriel, dan dirinya mulai memperhatikan cowok itu. Khansa berniat mendekati Gabriel, karena kau tahu, cowok itu selalu sangat tertutup dan berantakan. Dia belum pecah mungkin, masih retak. Yang Khansa tahu kedua orang tua Gabriel sudah bercerai dan kakaknya pindah dari rumah mereka. Selama ini Khansa membicarakan tentang Gabriel dengan temannya, Phira, yang menyuruhnya untuk berbicara dengan cowok itu. Tetapi Khansa merasa tidak nyaman karena mereka berdua sama sekali tidak dekat. Namun setelah ia tahu cowok itu menangis di jalanan dan kabur dari rumah selama berbulan-bulan, Khansa tahu ia harus melakukan hal yang dianggapnya benar. 

Khansa baru berjalan dua langkah ketika ia melihat seorang anak kecil berdiri menyapa Gabriel, yang dibalas cowok itu dengan senyuman. Gabriel merangkul anak itu, lalu mereka berdua berjalan bersama meninggalkan gedung sekolah. 

Khansa mengikuti mereka. Ini pemandangan yang tidak biasa. Gabriel biasanya cuek dan masa bodoh kepada orang-orang. Dia jarang mengobrol dengan anak-anak lain kecuali teman-teman basketnya. Melihatnya tersenyum hangat seperti itu memberi kesan tersendiri pada diri Khansa.  

Mereka berdua berbelok ke kanan menuju lapangan atletik. Gabriel melepas jaketnya, lalu berlari kecil menuruni tangga tribun. Dia mengenakan kostum basket bernomor punggung dua sembilan. Sedangkan anak kecil yang ikut dengannya duduk di bangku tribun yang rendah. Lapangan atletik sepi, hanya ada beberapa anak di seberang trek lari sedang bermain frisbee. 

Khansa berhenti di samping pagar lapangan. “Oke.” Ia menghembuskan napas, lalu menaiki tribun dan berjalan lurus ke arah mereka.  

Anak kecil berkacamata bulat itu menoleh dan melihatnya. Ia melambaikan tangan. “Hai, Khansa!”  

Khansa balas tersenyum. “Hei, Freddie.” Ia berdiri di sebelah bocah itu. “Kau sedang apa di sini?”

“Hanya duduk-duduk,” jawab Freddie sambil mengangkat bahu. Lalu ia menunjuk trek lari. “Dan menemani dia.”   

Khansa melihat arah telunjuk Freddie. Gabriel di sana, sedang melakukan pemanasan. Dia tampaknya belum menyadari kehadiran Khansa.  

Tanpa basa-basi, cewek itu langsung memanggilnya. “Gabriel!”

Lihat selengkapnya