Gabriel menyisir ke belakang rambutnya yang basah dengan jari-jari tangan. Ia memasukkan kostum basket ke dalam loker dan menguncinya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu, tapi cowok itu masih terdiam di ruang loker.
Ia baru menyelesaikan lima puluh putaran dan melewatkan tiga kelas. Gabriel hanya menghadiri dua kelas dan salah satunya ia masuk di menit-menit terakhir. Semua orang memperhatikannya. Seperti melihat hantu dari masa lalu, yang seharusnya tidak kembali lagi. Mrs. Nancy hanya memandanginya ketika ia masuk ke dalam kelas. Guru itu berkata dengan mata sayu, “Silahkan duduk, Gabriel.” Dan cowok itu berjalan menuju bangkunya tanpa menjawab apapun.
Gabriel menyampirkan ranselnya di bahu dan berjalan menuju halaman sekolah. Seorang cewek bertubuh kecil dengan lipstik merah di bibirnya berdiri di bawah tangga beranda, menunggunya. Rahang cewek itu mengeras.
Cowok itu menuruni anak tangga dengan acuh tak acuh.
“Kau pikir kau mau ke mana?” cewek itu berbalik ketika Gabriel hanya melewatinya saja. Ia memandang cowok itu dengan penuh emosi. “Sekarang kau sudah kembali. Kau bisa menjelaskan semuanya padaku.”
Gabriel menghela napas. “Apa yang kau inginkan, Kayla?”
“Apa yang kuinginkan?” cewek itu menghampiri Gabriel, matanya menyiratkan amarah. “Kau menghilang selama berbulan-bulan. Tanpa kabar, tanpa telepon, tanpa kata apapun. Aku berusaha menghubungimu setiap hari, tapi kau tidak pernah menjawab telepon atau membalas pesanku. Aku pacarmu, Gabriel, seharusnya kau menghubungiku.”
“Kita sudah putus.”
Kayla menatap Gabriel dengan syok. “Tidak pernah ada kata putus di antara kita.”
“Aku tidak membalas pesanmu atau berusaha menghubungimu, kan? Kurasa seharusnya kau sudah menyadari tanda itu.” Gabriel berjalan membelakangi Kayla, yang masih berdiri dengan mata yang semakin panas.
Kayla mengejar Gabriel dan memeluk pinggangnya. “Tidak, kumohon, jangan tinggalkan aku,” pintanya di balik punggung Gabriel. “Jangan.”
Gabriel menghembuskan napan pelan. Ia melepaskan kedua tangan Kayla dari pinggangnya secara perlahan. “Kau bisa mendapatkan cowok yang lain,” ujarnya, lalu pergi meninggalkan cewek itu.
Kayla hanya terdiam di sana dengan mata berair.
Gabriel menyalakan mesin motornya dan pergi tanpa menoleh sedikit pun. Satu hal tentang Gabriel, ia tidak pernah menoleh ke belakang. Ia tidak pernah menoleh pada pelanggaran-pelanggaran yang sudah ia lakukan. Ia tidak pernah menoleh pada cewek-cewek yang ia tinggalkan begitu saja. Ia tidak pernah menoleh pada tumpukan bungkus rokok yang sudah ia hisap. Karena cowok itu tahu sekali ia menoleh, ia tidak akan bisa lari lagi.
Suara mesin motor menderu menembus bisingnya jalan-jalan sibuk kota Manhattan. Gabriel berkendara ke 8th Avenue, melewati New York Times Building dan Madison Square Garden. Biasanya ia dan teman-temannya akan pergi ke sana saat akhir pekan untuk menonton pertandingan basket. Mereka akan memakai kaus berwarna oranye atau biru sebagai dukungan untuk tim basket negara bagian mereka. Jerry dan Carlos akan membawa beberapa tequila dan vodka, dan kemudian bersenang-senang sepanjang malam yang berakhir dengan mereka semua mabuk. Masa yang menyenangkan.
Gabriel terus berkendara lurus ke arah barat menuju Times Square. Times Square adalah tempat favoritnya. Papan iklan dan televisi hampir memenuhi seluruh jalan utama. Berbagai macam film, musik video, atau berita terpampang di papan iklan yang di pajang di depan gedung-gedung. Jantung kota Manhattan berada di sini. Tempat ini tidak pernah tidur, cahaya dan lampu-lampu dari banyaknya papan digital selalu terpancar mencolok. Gabriel senang datang ke sini saat malam hari. Menikmati gemerlap ramainya suasana kota malam.
Gabriel berbelok di persimpangan jalan. Ada sebuah lahan kosong sempit yang diapit oleh dua bangunan yang terbuat dari bata di pinggir kota. Banyak terdapat karavan yang menetap di sana. Lahan sempit itu sepertinya sudah dijadikan lapangan parkir bagi karavan orang-orang yang tidak punya rumah. Gabriel tidak tahu apakah itu legal atau tidak, tetapi petugas keamanan tampaknya juga tidak pernah mengusik tempat ini. Kalau sudah, pasti karavan-karavan itu telah lama menghilang atau digantikan dengan bangunan baru.
Cowok itu memarkirkan motornya di samping pagar kawat yang sudah bobrok. Ia berjalan melewati seorang lelaki gemuk berjanggut yang sedang memasak di depan karavannya. Suara teriakan terdengar dari sebelah kanan, disusul oleh bunyi nyaring barang yang dilempar. Seorang pria keluar dari salah satu karavan yang berwarna cokelat, lari tanpa arah dan menabrak Gabriel.
“Jangan berdiri di tengah jalan!” sembur pria itu sebelum pergi. Tidak jauh darinya ada seorang wanita mengenakan rol rambut dan daster berdiri di depan karavan dengan mata melotot.
Di pojok lahan ada sebuah karavan berukuran sedang yang tidak terlalu besar. Catnya berwarna putih dengan garis biru tua. Gabriel berdiri di depannya, ragu untuk mengetuk pintu. Ia belum berkunjung kemari lagi sejak pulang ke rumah, dan sekarang ia di sini tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Gabriel di sini tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Sebelum cowok itu bisa memutuskan, pintu karavan mengayun terbuka, menampakkan seorang pria paruh baya bermata abu-abu sama seperti dirinya.
“Gabriel,” seru pria itu terkejut, sebuah folder tergenggam di tangannya.
“Ayah.”
Gabriel bisa melihat kerutan-kerutan pada wajah pria di hadapannya. Dulu kepala Gabriel hanya sampai di bawah bahu pria itu, tetapi sekarang Gabriel jauh lebih tinggi darinya. Gabriel mendapatkan rambut hitam legamnya dari pria itu, tetapi sekarang beberapa rambut putih sudah menghiasi kepalanya. Rahang Gabriel terbentuk sempurna, tetapi ayahnya tidak. Gabriel tetap tinggal bersama ibunya, tetapi ayahnya tidak.