Matahari hampir terbenam ketika Khansa menutup buku cetak matematikanya. Ia menguap. Kafeteria sudah sepi sejak beberapa jam yang lalu. Hanya ada Khansa dan Mr. Smith, petugas kebersihan, yang sedang menyapu lantai berjarak tiga meja dari dirinya.
“Sepertinya sudah bersih, Mr. Smith,” komentar Khansa dari mejanya di tengah kafeteria. “Kau tahu, besok pasti ruangan ini akan kotor lagi. Jadi tidak terlalu perlu membersihkannya sampai mengkilap.”
“Memang itu gunanya,” sahut Mr. Smith sembari terus menyapu. “Kalau aku tidak membersihkannya sampai mengkilap, sisa-sisa kotoran dari hari kemarin akan tetap ada dan menumpuk. Di samping itu, aku juga tidak suka ada noda atau kotoran sedikit pun.”
Khansa hanya manggut-manggut sambil memainkan pulpen di jarinya. Terkadang ia tidak mengerti filosofi Mr. Smith tentang kebersihan dan kotoran. Beliau selalu membersihkan ruangan sampai mengkilap, seperti benar-benar mengkilap. Entah karena pria itu hanya melakukan pekerjaannya dengan baik atau dia penggemar sesuatu yang mengkilap. Mr. Smith seharusnya menjadi menteri kebersihan.
Khansa mengumpulkan buku-buku pelajarannya yang berserakan di atas meja dan memasukkan tempat pensil ke dalam ransel. Tiga jam belajar di kafeteria, ditambah mengerjakan tugas sekolah untuk minggu depan sudah cukup untuknya hari ini. Ia masih punya pekerjaan lain nanti malam. Khansa berdiri. “Aku pulang dulu, Mr. Smith,” serunya sambil merapikan bangku tempatnya duduk. “Kurasa kau tidak perlu mengepel lantainya lagi karena sudah terlihat sangat berkilauan,” ujar Khansa nyengir. Ia berjalan ke luar.
Mr. Smith hanya tertawa.
Bulan telah muncul di langit senja ketika Khansa menuruni tangga beranda sekolah. Halaman sepi, nyaris tidak ada orang. Bunga-bunga bermekaran menyambut datangnya musim semi. Udara menghangat. Ini salah satu waktu favoritnya setiap tahun, ketika warna-warna indah menghiasi sekitarnya.
Khansa sedang berjalan menyebrangi halaman menuju jalan utama ketika ia melihat Kayla. Kayla cewek freshman yang cukup populer, sedang terisak-isak di atas kap mobil, dengan dua orang cewek menghibur di setiap sisinya. Kayla mengambil tisu yang diberikan oleh salah satu temannya, lantas meniup hidungnya keras-keras. Lipstick merah belopotan di sekitar bibirnya.
Dia pasti menangisi Gabriel. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Khansa sempat melihatnya berdiri dengan Gabriel di depan sekolah. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dan tidak memperhatikan juga karena Khansa sedang membawa banyak sekali buku. Bisa dipastikan bahwa Gabriel mencampakkannya, atau yang lebih halus, mereka putus. Khansa teringat salah seorang teman cowoknya pernah bilang bahwa Gabriel tidak pernah pacaran lama. Dia hanya ada di awal masa pacaran, lalu seiring berjalannya waktu mulai menghilang. Dan yang Khansa dengar juga, cowok itu sering pergi tanpa kata putus, kecuali jika ceweknya datang ke depan wajahnya dan meminta kepastian.
Khansa menggelengkan kepala. Banyak sekali rumor dan gosip tentang Gabriel di sekolah ini, tetapi cowok itu sama sekali tidak peduli. Tinggi, keren, dan menjadi superstar dalam basket mungkin nilai plus baginya untuk selalu dibicarakan dimana pun. Tetapi lagi, dia tidak terlihat tertarik tentang hal itu sama sekali.
Khansa kadang bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan cowok itu.
***
Bel kecil berdenting saat Khansa membuka pintu sebuah toko bunga.
Seorang wanita berumur tiga puluhan yang sedang merapikan karangan bunga menyapanya. “Khansa.” Ia tersenyum. “Sekarang sudah malam, bukankah kau harus sekolah besok pagi?”
“Tidak apa-apa, Alma. Aku, kan, memang bekerja di sini,” jawab Khansa sambil berjalan masuk. “Jadi, adakah sesuatu yang perlu kukerjakan?”
“Yah, kita punya pesanan untuk besok. Satu buket bunga mawar biru, dan karangan bunga ditambah dekorasi untuk pernikahan Mrs. Gudger. Oh iya, tolong kau siapkan bunga-bunga matahari yang kita punya untuk pesta ulang tahun anak umur enam tahun.”
“Siapa yang berulang tahun?”
“Anaknya Mrs. Vancouver, Ernie, katanya dia sangat menyukai bunga matahari.”