Intact Yet Broken

Fann Ardian
Chapter #5

Chapter 5

Gabriel menjatuhkan dirinya di kursi meja makan, menaruh ransel di kursi di sebelahnya. Ia mengambil kotak sereal, menuangkan isinya ke dalam mangkuk besar. Ruang makan apartemennya sepi, dan ia kehabisan susu almond. Gabriel mendesah. Ibu pasti lupa mengambil botol susu yang baru. Gabriel keluar melalui jendela balkon dan berlari menuruni tangga darurat untuk mengambil hal terpenting baginya pagi ini.    

Ibunya menghampiri Gabriel dengan ekspresi linglung. Rambutnya kusut khas bangun tidur.

“Oh, Gabriel, aku minta maaf,” ujarnya ketika melihat Gabriel sedang duduk tenang memakan sarapannya. Ia duduk di hadapan Gabriel. “Aku seharusnya sudah bangun satu jam yang lalu dan menyiapkan sarapan untukmu,” lanjutnya muram, yang dibalas Gabriel dengan mengangkat bahu. Tiba-tiba Ibu bangkit dari kursi. “Apa kau mau kubuatkan sesuatu?” ia berjalan menuju dapur. “Seperti sosis atau telur? Apa kau ingin kubuatkan roti lapis kentang favoritmu?” 

Gabriel menggeleng sambil meminum susu. “Tidak perlu.” Ia mengelap bibir, menyambar ransel dan bangkit. “Aku berangkat dulu.” Ia menghampiri Ibu, mencium pipinya, lalu berjalan keluar melalui pintu. Saat menuruni anak tangga ia berpapasan dengan seorang pria bersetelan rapi.   

“Gabriel, ya?” sapa pria itu sambil menunjuk Gabriel dengan jari telunjuknya.   

Gabriel yang sedang mengetik di ponselnya mendongak. 

Pria itu tersenyum. Rambutnya klimis disisir rapat ke belakang. Kumisnya tipis dan pangkal janggutnya terlihat baru dicukur. Dia memakai jas dan sepatu hitam mengkilap. Gabriel tidak perlu mengenal siapa pria ini untuk mengetahui maksud kedatangannya kemari.  

“Apa ibumu ada di rumah?” 

Ya, tepat sekali.  

“Dia di rumah. Bunyikan saja belnya.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Gabriel langsung berjalan menuruni anak tangga, menyalakan motornya dan pergi.  

Kelas pertama Gabriel hari ini adalah sejarah, disusul kimia. Dan ia tidak boleh tidak masuk di kedua kelas itu. Karena tidak masuk sekolah selama empat bulan, Gabriel harus mengejar semua ketertinggalannya dan masuk ke ruang hukuman selama satu jam setiap hari selama tiga minggu. Kenapa guru-guru tidak bisa membiarkannya sendiri? Terkadang ada di antara mereka yang memberinya banyak tugas tetapi tetap berdiri di depannya dan berceramah. Ada juga yang memberinya nasihat penyemangat. Bisakah mereka memberinya tugas lalu pergi? Ia bukan anak kecil lagi yang harus selalu diceramahi. Lagi pula, omongan mereka semua juga tidak penting.  

Yang diinginkannya sekarang hanya pergi ke lapangan atletik dan menyelesaikan hukumannya. Sebagai anak yang sudah sering menerima hukuman, Gabriel ingin hukuman yang satu ini cepat selesai agar dirinya bisa kembali berlatih basket lagi. Hanya hal itu yang ia pedulikan sekarang. Hanya di sana cowok itu merasa cukup baik.  

Kelas ketiganya adalah bahasa Inggris. Mr. Joseph yang mengajar kelas itu sangat baik pada Gabriel, dan seperti mengerti keadaannya. Gabriel memutuskan melewatkan kelas ketiganya sebelum makan siang untuk melanjutkan hukuman. Toh, Mr. Joseph juga akan mengerti. Dan juga nilainya bisa dibilang bagus dalam bahasa Inggris.

Gabriel melesat menuju ruang loker untuk mengganti celana jinsnya dengan celana basket, lalu bergegas menuju lapangan atletik. Ia berjalan melewati kafeteria, berharap menemukan Freddie. Tapi ia tidak melihat anak kecil berkacamata bulat itu di mana-mana.   

Dalam perjalanan menuju lapangan atletik seseorang tidak sengaja menabrak bahu Gabriel. Ia menoleh, mendapati matanya beradu tatapan dengan seorang cewek bermata hazel. 

Khansa Guaverra.  

Cewek itu mengenakan kaus olahraga berwarna merah marun dengan lengan pendek berwarna putih dan celana pendek berwarna hitam. Rambut cokelat terangnya dikuncir satu, helai-helai rambut mencuat di sekitar kepalanya. Ada bulir-bulir keringat di dahinya.  

Gabriel segera mengalihkan pandangan dan kembali berjalan.

***


Tujuh puluh putaran. Tujuh puluh satu putaran. Tujuh puluh lima putaran. Delapan puluh putaran. Sembilan puluh putaran. Seratus. 

Gabriel menjatuhkan dirinya di lintasan atletik, tangannya terentang di atas kepala. Keringat membanjiri seluruh tubuh dan wajahnya. Rambutnya basah. Kausnya lengket oleh keringat. Matahari bersinar terang di atas sehingga ia harus menyipitkan mata memandang langit. 

Cowok itu terengah-engah, berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin. Ia bangun dan mengambil botol air plastik yang ia taruh di garis start, meminum isinya sampai habis. Lalu menjatuhkan diri ke tanah lagi.  

Sekarang Gabriel sudah pulang ke rumah. Tetapi rasanya tidak ada yang berubah, tidak ada yang terlalu merindukan kehadirannya. Tidak ada yang memperlakukannya dengan perhatian khusus, meskipun dirinya sudah pergi selama berbulan-bulan. Ia memejamkan mata. Mengingat satu setengah tahun yang lalu, ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk berpisah.

Lihat selengkapnya