Cowok yang mengenakan jaket denim itu berdiri santai sambil bersandar di depan loker. Beberapa orang menyapanya dan memberikan tos. Ia bersiul, melihat orang-orang berlalu-lalang di koridor sekolah. Menyugar rambutnya sekali lagi, Gabriel menengadahkan kepalanya yang tersandar.
Beberapa saat kemudian seorang cewek berambut pirang perunggu dikuncir muncul, berjalan menuju lokernya. Dia membuka pintu loker dan menaruh buku-bukunya. Gabriel tersenyum kecil. Ia menghampiri cewek itu.
“Hei. Kau anggota pemandu sorak yang baru, kan? Isabel?” sapa Gabriel dengan halus dan lancar. Ia bersandar miring di sebelah loker Isabel.
Isabel mendongak dari buku-bukunya. Dia terlihat sedikit tertegun ketika melihat Gabriel. “Ya. Bagaimana kau tahu?”
Gabriel dengan nada cuek mengangkat sebelah bahunya. “Aku pemain basket di sini.”
Kali ini Isabel mulai terlihat tertarik. Dia memeluk bukunya di depan perut. “Tapi, sepertinya aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Apa kau anak pindahan juga?”
“Aku baru kembali setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namaku Gabriel,” ujar Gabriel sambil tersenyum ramah, ia mengulurkan tangan.
Isabel menyambut uluran tangannya sambil mengangguk-angguk mengerti. Cewek itu pasti berpikir Gabriel baru pulang setelah mengikuti kejuaraan basket atau semacamnya.
“Sepertinya aku ingat pernah melihat wajahmu di suatu tempat. Ah ya, postermu ada di koridor utama sekolah bersama pemain basket yang lain.” Isabel tersenyum pada cowok itu.
Ada jeda sebentar sebelum Gabriel bertanya. “Jadi, bagaimana menurutmu?” ia berdiri lebih tegak. “Apa kau datang?”
Isabel mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”
“Well, temanku mengadakan pesta di sebuah bar di dekat rumahnya malam ini. Apa kau datang?”
“Temanmu seorang pemain basket, kan? Sepertinya aku tidak begitu mengenalnya. Aku baru pindah ke sini dua bulan yang lalu. Teman-temanku tidak banyak,” jawab Isabel ragu.
“Ah, Isabel, ayolah. Pemain basket dan pemandu sorak selalu berkumpul bersama. Inilah mengapa aku mengundangmu. Aku yakin teman-teman pemandu sorakmu juga akan berada di sana,” bujuk Gabriel dengan sedikit nada memelas. Hanya sedikit. Karena di situlah pesonanya.
Isabel terlihat berpikir. Dia melirik kedua mata abu-abu tajam Gabriel sekilas. “Baiklah. Aku akan datang jika teman-temanku yang lain datang.”
Gabriel nyengir lebar. “Bagus. Beritahu aku jika kau sudah sampai di sana. Aku akan senang hati bisa menyambutmu.” Cowok itu memberikan nomor teleponnya pada Isabel. “Dan omong-omong, rambutmu indah.”
Pipi Isabel sedikit memerah, ia menunduk malu-malu. Kuncir ekor kudanya bergoyang-goyang. “Terima kasih.” Ia menutup pintu loker. “Aku harus pergi sekarang. Temanku sudah menunggu di halaman sekolah.”
Gabriel mempersilakan Isabel pergi seraya memberikan senyuman terbaiknya. Ia memperhatikan cewek itu saat berjalan.
“Dia memang memiliki kaki yang bagus,” gumam Gabriel.
Seseorang menepuk pundaknya. “Di sini kau rupanya,” ujar orang itu.
Gabriel menoleh dan melihat Mollie berdiri di sebelahnya.
“Bisakah kita pulang sekarang? Aku ingin bersiap-siap untuk pergi ke pesta.”
Gabriel membenarkan posisi ranselnya. “Pestanya masih nanti malam. Kenapa kau harus bersiap-siap dari sekarang?”
“Davis Grootte akan berada di sana. Aku harus tampil sempurna saat dia melihatku.”
“Ketua badan siswa? Kau mengejarnya sekarang?”
Mollie mencibir. “Aku sudah lama tertarik padanya. Bukan salahnya kalau dia sangat menawan.” Ia mengecek jam di ponsel. “Nanti kau menurunkanku di depan salon saja. Cepatlah!” Mollie berjalan duluan menuju pintu keluar, disusul Gabriel di belakangnya.
***
Hal pertama yang ingin Gabriel lakukan saat melihat itu adalah memukul sesuatu, atau menghajar seseorang.
Freya duduk di salah satu meja bersofa bundar. Dua orang lelaki dewasa juga ada di sana. Freya duduk bersama dengan salah seorang laki-laki yang terlihat berumur awal empat puluh, bersetelan cokelat, dan berjanggut tipis. Gabriel tidak yakin apa yang sedang mereka lakukan, tetapi Freya tampak duduk di pangkuan lelaki tua sialan itu.