Mrs. Hay dan Mrs. Nancy menaruh masing-masing satu tumpukan tugas di hadapan Gabriel. Lalu Mrs. Hay berbalik dan menambah satu tumpukan lagi. Gabriel yang duduk di kursi memandang tumpukan kertas dan buku itu tanpa ekspresi.
“Ini buku-buku yang bisa kau pelajari dan gunakan untuk mengerjakan lembaran-lembaran kertas ini.” Mrs. Nancy menepuk kertas-kertas itu. “Semuanya ada di situ. Kau hanya perlu belajar dengan dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan semua tugasmu.”
“Kau seharusnya bersyukur kami memberikanmu sedikit keringanan dan bantuan,” ujar Mrs. Hay dengan sinis. Beliau adalah guru yang paling sebal dengan perilaku Gabriel, dan selalu mengkritik setiap bertemu dengan cowok itu. “Daripada capek-capek mengerjakan ini semua, seharusnya kau dikeluarkan saja dari sekolah.”
Mrs. Nancy menepuk pelan lengan Mrs. Hay, tetapi wanita tua itu tidak peduli. Dan Gabriel juga tidak ambil pusing. Semua orang di sekolah ini sudah mencap dirinya sebagai cowok urakan yang tidak peduli terhadap hal-hal lain.
Setelah mendengar ceramah kedua guru itu, Gabriel berjalan melewati koridor-koridor sekolah yang sepi. Sekarang sudah lewat pukul tiga, kelas terakhir sudah bubar dari tadi. Tumpukan tugas-tugas ini tidak akan selesai kalau ia tidak kunjung mengerjakannya juga. Gabriel menimang-nimang kemana ia harus pergi. Ia malas pulang ke rumah. Freya dan dirinya masih dalam kondisi tidak baik. Sudah delapan hari sejak pertengkaran mereka dan mereka berdua sama sekali belum bicara lagi. Gabriel dan Freya memang tidak selalu berkomunikasi setiap saat, ada kalanya mereka tidak bertemu dalam waktu yang lama, tetapi kakak-beradik itu selalu dalam hubungan baik.
Gabriel menghembuskan napas. Cowok itu memiliki egonya sendiri. Ia juga muak dengan perilaku Freya yang seperti itu, dan selalu menyepelekan omongannya. Kakaknya hanya tidak tahu betapa Gabriel khawatir dengan kemungkinan yang akan terjadi padanya karena pekerjaannya. Cowok itu hanya ingin kakaknya hidup dengan nyaman dan tenang.
Dua pintu ganda gymnasium terbuka di sebelah kirinya. Ia menengok ke dalam. Petugas kebersihan sedang mengepel lapangan basket. Hari ini memang tidak ada latihan, dan teman-temannya sedang pergi berkencan atau melakukan hal lain. Isabel memberitahunya beberapa jam yang lalu kalau selama tiga hari ke depan latihan pemandu sorak sedang padat, yang membuat cewek itu tidak bisa meluangkan waktu bersama Gabriel.
Tiba-tiba perutnya berbunyi. Yeah, panggilan alam. Akhirnya cowok itu tahu kemana dirinya harus pergi menghabiskan waktu.
***
Baru saja Gabriel melangkah beberapa meter menuju konter kafeteria untuk mengambil makanan apapun yang mungkin masih tersisa, tiba-tiba keningnya berkerut. Wajahnya berubah sedikit masam.
Di sana, cukup jauh darinya, duduk di tengah ruangan, dengan buku-buku berserakan di atas meja, adalah Khansa Guaverra. Cewek itu mencepol sebagian rambut cokelat terangnya, dan membiarkan sebagian lagi tergerai bebas. Dia mengenakan kacamata belajar.
Gabriel menggerutu. Kenapa cewek itu harus berada di kafeteria juga. Tak bisakah dia memilih belajar di perpustakaan sebagaimana orang-orang pada umumnya? Gabriel jadi mempertanyakan sebenarnya cewek itu mau belajar atau menghabiskan isi kafeteria, melihat tiga kaleng minuman dan empat bungkus roti lapis di dekatnya.
Tadinya Gabriel berniat untuk pergi, tetapi memutuskan berbalik lagi karena ia sangat lapar. Ia mengambil makanan di konter dan membawa baki menuju salah satu meja. Hanya sedikit orang yang masih berada di kafeteria, dan rata-rata mereka memilih tempat duduk dekat dengan dinding. Gabriel menjatuhkan ranselnya, menaruh baki makanan di meja yang berjarak empat meja dari Khansa. Cewek itu nampaknya tidak menyadari kehadirannya. Baguslah.
Setelah lima belas menit duduk tenang sambil menyantap makanan dan mengerjakan tugas-tugas yang membuat kepalanya pusing, Gabriel seperti merasakan sesuatu. Ia mendongak dari lembar tugasnya, mendapati Khansa sedang meperhatikannya sambil menyipitkan mata. Ada apa dengan cewek itu? Untuk apa lagi dia memperhatikannya seperti itu? Ia memutuskan untuk mengabaikannya.
“Hei.”
Gabriel tahu panggilan itu ditujukan untuk dirinya, tetapi ia tidak mendongak.
“Gabriel.”
Cowok itu mengangkat wajah. Matanya menyiratkan tanda tanya.
“Apa kau butuh bantuan?”
Tentu saja, pikir Gabriel menggerutu. Tetapi ia tidak ingin memberitahu Khansa. Adanya nanti cewek itu semakin mengganggunya saja. “Tidak perlu.” Dan kembali menulis esainya.