Setelah dua minggu lebih berlalu, Gabriel berdiri di seberang jalan menatap sebuah kafe & bar yang sudah familiar di hadapannya. Ia berdiri di sebelah motornya, bersandar pada dasbor. Matahari sore bersinar lembut, membuat langit berwarna jingga. Cowok itu sudah bersandar di sana selama kurang lebih setengah jam, tidak melakukan apa-apa. Akhirnya Gabriel meraih ransel dari jok motor dan berjalan menyebrangi jalan raya.
Sebelum ia benar-benar menginjak tepi trotoar, seorang wanita muda mendorong pintu dan keluar dari dalam kafe. Cewek itu sedang mengetik sesuatu di ponselnya, pandangannya tertunduk. Lalu dia memasukkan ponsel ke dalam saku seragamnya dan mendongak. Mata mereka saling bertemu.
Gabriel mengusap-usap bagian belakang kepalanya, sedikit kikuk. Cewek itu menunggu. Perlahan, Gabriel menghampirinya. “Hei.”
Freya melipat kedua lengannya. “Sudah waras sekarang?”
Gabriel berdecak. “Aku selalu waras. Tapi mungkin sempat kelewatan.”
Freya hanya memandangnya tanpa ekspresi selama beberapa detik, lalu ia tersenyum. “Ayo masuk, Gabe. Kutraktir kau bir.” Ia mendorong bahu Gabriel, berbalik duluan. “Kau minum bir, kan?”
Gabriel tertawa. “Yang benar saja.”
Gabriel mengikuti Freya melintasi ruangan, lalu duduk di salah satu kursi tinggi. Freya masuk ke dalam konter, mengambil satu botol bir dari rak. Ia mengambil gelas kaca dan menuangkan isinya untuk Gabriel.
Freya menyodorkan gelas itu pada adiknya. “Bagaimana harimu?” ia bertanya.
“Baik.” Gabriel menyesap minumannya. “Sejak dua minggu kemarin aku harus mengerjakan tugas-tugas yang menggunung. Sekarang juga masih tersisa banyak.”
Freya tertawa. “Itu yang kau dapatkan jika membolos terus.”
Gabriel hanya mengedikkan bahu.
“Aku mempertimbangkan untuk berhenti bekerja di sini.”
Cowok itu mengangkat wajahnya. “Kau serius?”
Freya berbalik untuk merapikan beberapa botol di rak. “Masih kupertimbangkan.” Ia berbalik lagi untuk mengambil kain lap dan meletakkannya di meja konter. “Sebenarnya aku dan temanku bisa saja memilih pekerjaan lain yang bisa kami kerjakan. Penghasilannya juga lumayan.”
“Itu bagus. Aku setuju. Aku lebih senang jika kau tidak bekerja di sini lagi,” dukung Gabriel. Ia senang kakaknya sudah mulai waras.
Freya mencemooh. “Tapi kau tidak akan bisa meminum bir gratis lagi.”
“Aku bisa mendapatkannya sendiri.”
“Tapi ada kemungkinan besar aku juga akan tetap bekerja di sini.”
Kedua sudut bibir Gabriel turun ke bawah.
Freya menoleh sebentar untuk berbicara kepada salah satu rekannya. Ia kembali melihat Gabriel. “Maksudku, aku sudah bisa dibilang nyaman dengan pekerjaan ini. Gajiku juga cukup dan terkadang aku mendapat bonus dari bos. Rekan-rekanku di sini juga baik,” ujar Freya. “Kuharap kau mengerti, Gabe.”
Gabriel menghembuskan napas. Tentu saja Freya tidak akan semudah itu melepaskan pekerjaan ini, terutama jika dia sudah mengenal tempat ini dan orang-orangnya yang bisa membantunya dalam finansial. Gabriel hanya diam, dan Freya bangkit untuk melayani tamu.
Selang beberapa lama kemudian Freya kembali duduk di hadapan Gabriel, segelas air mineral ada di tangannya.
“Aku mengerti,” Gabriel bersuara, cukup kecil dari biasanya. “Kalau ini pilihan yang kau ambil, dan kau harus melakukan ini untuk mendukung kebutuhan sehari-harimu.”
Freya tersenyum sedih.
“Tapi aku hanya tidak ingin kau diperlakukan rendah oleh pria-pria tua itu. Aku tidak ingin kau terjerumus menjadi seperti wanita perayu. Aku tidak ingin kau menjual harga dirimu demi uang.”
“Aku bisa menjaga diri. Kau harus percaya padaku,” balas Freya. “Tapi jika hanya disuruh duduk bersama dengan bayaran yang cukup tinggi, aku tidak akan menolak.”
“Freya!” Gabriel melotot.
Kakaknya terkekeh. “Aku hanya bercanda.” Ia menjitak kepala Gabriel. “Habiskan birmu. Sebelum orang-orang menyadari kau belum berumur dua puluh satu,” sindirnya.