Kalau Khansa pernah berpikir tentang hal itu, pastinya bukanlah hari ini.
Ia sedang duduk di mejanya yang biasa setelah pulang sekolah di tempat yang biasa. Sandwich ada di tangan kanannya dan sebuah buku novel ada di bawah hidungnya. Ia mengenakan kacamata, rambut dicepol asal-asalan, dan ada satu jus apel kotak di atas meja, ketika seseorang tiba-tiba menghampiri mejanya.
“Bisa kau bantu aku di bagian ini?”
Khansa sudah mengenal suara dingin yang mengandung ketidakacuhan itu. Tetapi ia tidak menyangka kalimat tersebut akan terlontar dari mulut cowok itu.
Gabriel memegang makalah sejarah Amerikanya, dia menunjuk satu tulisan. Khansa segera duduk lebih tegak untuk menjelaskan bagian itu pada Gabriel.
Sepertinya cowok itu sekarang sudah sedikit menggunakan akal sehatnya. Di mejanya ada sebuah laptop dan buku pelajaran dan catatan berserakan di mana-mana. Ada pula dua tumpukan kertas. Dia dari tadi sibuk dan fokus dengan pekerjaannya. Suatu kemajuan.
Gabriel kembali pada laptopnya dan Khansa kembali pada novelnya.
“Guaverra.” Selang beberapa menit Gabriel memanggil. “Haruskah aku menulis materi yang ini juga? Ini panjang sekali. Aku malas menulisnya.”
“Yang mana?”
Gabriel mengangkat bukunya ke atas dan memperlihatkan isinya kepada Khansa, dia menunjuk satu judul.
Khansa harus sedikit memicingkan mata untuk bisa membaca tulisannya. “Tidak perlu kau tulis jika kau tidak mau.”
Gabriel menurunkan bukunya dan kembali mengetik.
Sembari membaca, Khansa melirik ke arah Gabriel. Cowok itu duduk bersandar di kursi, matanya menatap layar laptop dan jari-jarinya mengetik. Sudut bibir Khansa terangkat sedikit. Ia senang akhirnya Gabriel mau menerima bantuannya. Cowok itu sebenarnya baik, dia punya hati yang tulus. Tetapi entahlah, terkadang tulus beda tipis dengan rapuh. Dia menyembunyikan sifat aslinya di balik reputasinya dan apa yang dia perlihatkan saat bersama teman-temannya. Tetapi ada satu saat di mana Khansa benar-benar merasakan ketulusannya, hanya momen kecil, dan itu pun tidak ia sangka akan datang dari seorang Gabriel Henford.
Mereka tinggal di kafeteria sampai senja, bahkan sampai cahaya matahari tidak terlihat lagi. Mr. Smith juga sudah selesai membersihkan seluruh ruangan sampai kinclong. Beliau juga mulai akrab dengan Gabriel. Lelaki paruh baya itu sempet mengobrol ringan bersama Gabriel dan tertawa ketika dia sedang mengepel di dekat meja cowok itu.
Khansa dan Gabriel juga belajar bersama. Cowok itu cukup sering datang ke mejanya sore ini untuk menanyakan tugas, dan satu dua kali Khansa akan menghampiri meja cowok itu dan duduk di sana untuk beberapa lama. Yang baru Khansa tahu adalah Gabriel pandai matematika. Dia sudah menyelesaikan semua tugas matematikanya.
“Kau benar-benar sudah menyelesaikan semuanya?” Khansa melihat-lihat beberapa kertas yang diklip. Seluruh bagian kosong di kertas sudah terisi semua.
Gabriel memainkan pulpen di sela-sela jarinya. “Aku cepat tanggap soal hitungan dan rumus."
“Yah, kau pastinya sangat bersyukur.” Khansa meletakkan kertas tugas Gabriel dan kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Sekitar pukul setengah tujuh mereka berdua keluar dari gedung sekolah. Gabriel langsung menuju tempat parkir di mana motornya berada. Suara deru motor memecah keheningan di halaman sekolah yang sepi, menjauh sampai menghilang di pertigaan menuju jalan raya. Khansa berjalan santai menuju halte bus di seberang sekolah.
***
Bel makan siang berbunyi dan anak-anak segera berhamburan keluar. Mrs. Hay melepas kacamata, membereskan buku dan peralatannya dari atas meja. Khansa melirik ke belakang dan melihat Gabriel bangkit dari bangkunya, melangkah ke depan kelas sambil membawa makalah.