Cowok itu tidak bisa menyembunyikan kalau dirinya sangat senang hari ini.
Tadi pagi Gabriel sengaja berangkat lebih awal untuk memberikan tugas matematikanya pada Mrs. Nancy. Guru itu berbinar tidak percaya ketika memeriksa hasil lembaran tugasnya, beliau tersenyum lebar pada cowok itu. Ada semacam kelegaan di wajah tuanya. Mrs. Nancy bahkan memberikan Gabriel nilai A- karena sudah bersungguh-sungguh mengerjakan tugasnya, kata guru itu.
Dan Mrs. Hay, Gabriel tidak bisa tidak tersenyum sinis saat memikirkan ekspresi guru itu ketika ia memberikan makalahnya siang ini. Dari semua guru, Mrs. Hay yang paling sering mengolok-oloknya. Reaksi tidak tahu harus mengatakan apa menjawab semuanya, bisa dibilang beliau sedikit malu, begitu menurut pikiran Gabriel.
Bel kelas terakhir berbunyi dan Gabriel langsung melesat keluar dari kelas. Ia berlari sambil sesekali melompat melewati koridor. Ia memberikan tos di sepanjang loker, di mana teman-temannya berada. Gabriel bahkan sempat-sempatnya menjitak kepala Carlos sampai cowok itu mengumpat keras. Mollie juga melihat Gabriel dengan kening berkerut, sepertinya cowok itu sedang mabuk.
Gabriel masuk ke ruang loker gym dan mengganti pakaiannya. Latihan baru akan dimulai sepuluh menit lagi dan lapangan masih kosong. Ia mengambil bola basket. Menggiringnya dari satu sisi lapangan ke sisi yang lain, melakukan crossover di antara kedua kaki, berputar lalu melesat melakukan lay up. Ia melakukan three point, tepatnya Gabriel menembak bola dari tengah lapangan. Bola itu melayang dan masuk dengan mulus ke dalam keranjang.
Pintu gym terbuka dan anak-anak basket masuk.
“Coba lihat siapa yang sudah ada di sini,” seru Jerry. Ia melempar ranselnya ke tribun.
Gabriel mengelap keringat dari dahinya. “Hei, dumbo, ayo kemari dan kalahkan aku.”
“Satu lawan satu?” Jerry menyahut sinis, tetapi ekspresinya menyala bagai api. Ia melepas kemejanya. “Ayo. Tunjukkan padaku apa yang kau punya.”
Gabriel tersenyum miring.
Baru saja Jerry akan menyerbu menuju lapangan dan Gabriel memasang posisi, terdengar bunyi peluit memenuhi gymnasium.
“Caswell, tidak ada celana jins di lapangan.” Suara Pelatih Bumer terdengar. Ia berdiri di depan pintu gym. Bumer berjalan dengan langkah-langkahnya yang berat menuju pinggir lapangan. “Apa yang kalian tunggu? Pergi ganti pakaian,” perintahnya dan anak-anak segera riuh menuju ruang loker.
Jerry menyambar kemejanya dari lantai dan menyampirkannya di bahu.
Bumer menyeringai kecil ketika Jerry melewatinya. Perhatiannya kembali ke tengah lapangan, hanya Gabriel yang ada di sana, sedang menembak bola. Gabriel bersiul, menoleh ke belakang. Pelatih Bumer memberikan senyum kecil ketika ia berjalan menjauh menuju bangku tribun.
Latihan sore ini selesai tiga puluh menit lebih cepat karena Pelatih Bumer ada janji makan malam bersama istrinya.
“Bumer seharusnya sering-sering mengajak istrinya makan malam,” gumam Jerry, ia melemparkan sapu tangan dan kostum basket ke dalam lokernya. Ia mengenakan kemeja sembari berbicara. “Kau punya rokok?”
Gabriel melempar pemantik api kepada Jerry sambil mengelap rambutnya yang basah.