Khansa menunggu bus seperti biasa di depan halte. Di halte hanya ada dirinya, dua anak perempuan yang sebaya dengannya, dan seorang bapak-bapak bersetelan rapi membawa sebuah koper yang terlihat terburu-buru. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Busnya belum datang juga. Ia duduk di bangku halte sambil menghabiskan susu kotaknya.
Sembari menunggu, seseorang lewat di jalan raya mengendarai motor di depan Khansa. Kedua matanya mengikuti arah laju motor itu, dan melihatnya berhenti di sebuah mesin minuman tidak jauh dari halte. Pengemudinya membuka helm dan turun dari motor. Khansa memutuskan untuk menghampiri orang itu.
Cowok yang mengenakan jaket denim itu berdiri di depan mesin minuman, memasukkan beberapa sen. Khansa berhenti di belakangnya dengan sedotan dari susu kotak masih berada di antara bibirnya. “Pagi!” ia menyapa.
Cowok itu berbalik. Senyum Khansa berlahan memudar ketika melihat wajahnya.
Gabriel benar-benar berantakan. Kedua mata abu-abunya memerah. Rambut hitamnya acak-acakan. Ada bau rokok di sekitar tubuhnya, dan napasnya beraroma alkohol. Kantung mata di bawah kedua matanya berwarna hitam dan dalam. Dia bernapas dengan tidak teratur.
“Hei, kau kenapa?” Khansa menurunkan sedotan dari mulutnya. Ia memperhatikan Gabriel dari atas sampai bawah.
“Bukan urusanmu.” Bau alkohol yang tajam tercium ketika cowok itu berbicara. Ia membungkuk untuk mengambil minumannya dari mesin penjual otomatis.
“Apa kau semalaman mabuk?”
Gabriel berjalan melewati Khansa dan langsung naik ke atas motor. Ia memakai helmnya.
Khansa mengikutinya. “Ada apa sebenarnya? Kenapa kau terlihat berantakan seperti ini?” cewek itu bertanya dengan bingung.
“Aku bilang bukan urusanmu!” bentak Gabriel. Amarahnya meledak. Ia tidak bisa mengontrol emosinya.
Khansa terkejut. Tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Aku hanya bertanya kau ini kenapa.”
Gabriel membuang napas gusar, mengaitkan pengait helmnya.
Khansa menahan lengan cowok itu. “Aku bertanya padamu, Gabriel.”
Gabriel menepis tangan Khansa dengan kasar dari lengannya. Ia membentak lagi. “Kau ini maunya apa, hah?!” cowok itu berbicara dengan nada tinggi. “Kau selalu saja menggangguku. Aku sudah bilang berkali-kali urus saja urusanmu sendiri! Memangnya kau pikir kau siapa selalu ikut campur urusanku? Aku benci orang-orang sepertimu.” Semua perkataan itu keluar bagai sentakan. Gabriel marah. Ia marah pada semuanya. Ia marah pada dirinya sendiri.
Khansa tertegun. Gabriel terus-menerus menarik dan membuang napas secara tidak teratur. Menyadari keadaan, ia berlahan memegang bahu Gabriel. “Hei...”