Hari ini Gabriel masuk sekolah lagi.
Ia tidak pulang ke rumah selama berhari-hari, dan kemarin malam akhirnya cowok itu memutuskan menginap di rumah Jerry. Jerry harus memaksa Gabriel untuk membuat dirinya mengangkat tubuh dari kasur, dengan iming-iming Pelatih Bumer akan benar-benar menendangnya dari tim kalau dia sampai membolos latihan lagi. Dan untuk alasan yang sudah jelas, Gabriel sama sekali tidak ingin itu terjadi.
Di koridor loker, Khansa Guaverra berjalan dari arah yang berlawanan dengan Gabriel. Ketika cewek itu melihatnya, dia langsung membuang muka. Rasa muak masih tersisa di wajah Guaverra. Dan Gabriel bahkan sama sekali tidak menghiraukan cewek itu.
Sekolah bubar tepat pada waktunya, setelah melewati hari yang panjang. Gabriel mengikuti semua kelas, tetapi ia sama sekali tidak mendengarkan apapun yang ada di dalamnya. Pikiran cowok itu kosong, mengembara. Ia hampir setiap saat memandang keluar jendela, atau tertidur. Terkadang satu kalimat terlintas di pikirannya.
Pernahkah kau tidak berperilaku seperti pecundang?
Kalimat itu terngiang-ngiang di benak Gabriel. Saat kalimat tersebut dilontarkan kepadanya, ia sama sekali tidak peduli. Namun, untuk beberapa hal, sebuah suara mulai menelisik ke dalam relung hatinya.
Apakah dirinya seorang pecundang?
Sepanjang yang Gabriel tahu, ia tidak pernah memikirkan siapa dirinya. Ia tidak pernah menganggap dirinya seperti atau sebagai apa. Pemain basket, pelari tercepat, anak populer. Itu semua label nama yang diberikan untuknya, yang didapatkannya karena Gabriel melakukan sesuatu atau menjadi bagian dari suatu hal. Tetapi di satu sisi, cowok itu juga tahu dirinya bukan siapa-siapa. Karena Gabriel tahu itu, ia selalu bisa lari ke mana pun. Karena itu, ia tidak pernah merasa terikat dengan apapun. Karena itu, ia bisa meninggalkan banyak hal dengan mudahnya. Karena itu, ia menjadi dirinya yang sekarang.
Mesin motor terus menderu. Roda motor mengambil arah menuju 16th Avenue, menuju apartemen Gabriel. Di jam-jam sekarang ia tahu ibunya sedang tidak berada di rumah. Gabriel menaiki tangga darurat dan masuk melalui jendela kamarnya. Ia melempar ransel ke lantai dan langsung merebahkan diri di kasur. Gabriel memejamkan mata. Saat kedua matanya terbuka, ia melihat langit-langit kamarnya yang dipenuhi oleh poster band rock dan penyanyi R&B. Gabriel memperhatikan poster-poster itu untuk beberapa lama.
Sekarang apa yang harus ia lakukan?
Untuk hal-hal yang Gabriel bahkan tidak mengerti, sekarang ia tidak bisa pergi begitu saja lagi seperti empat bulan yang lalu. Menghabiskan waktu bersama McGregor, Teddy, Pitt, dan yang lainnya. Seperti ada sesuatu yang menahannya. Empat bulan yang lalu, Gabriel benar-benar meninggalkan semuanya begitu saja dan pergi. Tanpa beban. Tanpa orang-orang yang membuatnya sakit. Tanpa orang-orang yang membuatnya seperti memohon sebuah perhatian. Tanpa orang-orang yang mengharapkannya menjadi sesuatu yang baik.
Karena ia bukan sesuatu yang baik.
Bunyi berdering terdengar dari ruang utama. Gabriel menoleh ke arah pintu, menghela napas sebelum bangkit untuk mengangkat telepon. Ia berusaha mengabaikan ingatan tentang sofa itu, melintasi ruangan dan meraih gagang telepon. “Ya. Dengan keluarga Henford.”
[“Gabriel, ini aku Nancy.”] Suara wanita tua terdengar di ujung telepon.
Cowok itu berusaha untuk menahan desahan keras. Nenek. “Ada apa?”
[“Mengapa suaramu terdengar seperti itu? Seperti kau tidak suka saja aku menelepon,”] balas Nancy dengan nada jengkel yang menuduh. [“Di mana ibumu?”]
“Dia sedang tidak ada di sini.”
[“Bilang padanya aku akan datang untuk makan malam dan menginap.”] Terdengar suara bergemericing di telepon. [“Aku ingin makan iga bakar.”]
“Tidak bisakah kau makan apa yang kami hidangkan di rumah?” kalimat itu keluar dari mulut Gabriel tanpa sadar.
Suara di ujang telepon terdiam selama dua detik. Gabriel bisa merasakan neneknya kini memberikan perhatian penuh padanya. [Apa? Seperti kentang dan telur? Tidak, terima kasih.”] Nancy mencemooh. Ia berdecak sinis sebelum berbicara lagi. [“Si miskin James sepertinya sudah mempengaruhimu. Hah. Aku bahkan tidak mengerti kenapa bisa-bisanya menerimanya sebagai menantu. Kepalaku pasti sedang terbentur.]
Pegangan tangan Gabriel pada gagang telepon semakin erat.
Terdengar suara bergemericing lagi. Bisa dipastikan Nancy sedang memasang seluruh perhiasan pada dirinya. [“Apa kau masih sering mengunjunginya?”]
Gabriel diam beberapa saat. “Tidak.”
[“Kuberitahu. Kau sudah hampir sama buruknya dengan dia, jangan sampai kau menjadi sepenuhnya seper— uh oh!”] Nancy mengumpat dan disusul bunyi barang-barang jatuh. Ia mengomel-omel. [“Aah, sudah. Pastikan kau bilang pada ibumu.”] Sambungan telepon terputus.
Gabriel mengembalikan gagang telepon pada tempatnya. Sekarang ia harus menunggu di rumah dan memberitahu Tina bahwa Nancy akan datang, lalu makan malam dengan mereka berdua. Gabriel mendesah keras.
***
Tiga jam kemudian Tina baru tiba di rumah. Ia membuka pintu sambil membawa tas kerja dan kantung kertas besar, lalu mendorong pintu sampai tertutup dan menaruh barang-barang nya di atas meja.
Tina terkejut ketika melihat anak bungsunya. “Gabriel!” ada rasa kelegaan dalam suaranya.
Gabriel bangkit dari kursi dan ibunya berjalan untuk memeluknya. Cowok itu menghindar dengan halus. “Nenek akan datang untuk makan malam. Dia ingin iga bakar.” Lengan Tina masih terentang di udara, Gabriel bahkan tidak menatap ibunya.
Berlahan, Tina menurunkan kedua lengannya. “Oh,” gumamnya canggung. Kalimatnya menggantung di antara mereka. “Terima kasih, Nak.”
Mereka berdua terdiam. Tidak berbicara apa-apa lagi. Gabriel berbalik menuju kamarnya.