Malam ini Khansa menemani ibunya di rumah sakit. Besok hari Sabtu dan ia libur bekerja, jadi dirinya bisa bermalam di sini. Khansa sedang memotong buah apel. Sembari memotongnya menjadi potongan-potongan kecil, ia berpikir. Sudah seminggu ini Khansa berhenti berbicara dengan Gabriel Henford. Cewek itu lebih memilih membuang muka dan tidak mempedulikan keberadaan cowok itu. Jika mereka berpapasan di koridor atau berada di dalam satu kelas, Khansa juga sama sekali tidak menyapanya.
Kalau ia dibilang masih marah pada Gabriel, tentu saja. Tetapi sebenarnya Khansa juga sadar dirinya tidak punya hak untuk marah atau menghakimi apapun pilihan cowok itu. Ia bukan siapa-siapa Gabriel. Ia juga tidak tahu apa yang dialami cowok itu akhir-akhir ini sampai dia berubah menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Cewek itu menggigit potongan apel, mengunyah sambil merenung. Apa dirinya sudah terlalu ikut campur? Selama ini juga, Gabriel tidak pernah benar-benar menganggap atau pun menerima bantuan dan memedulikan kehadirannya, apalagi berteman. Gabriel hanya mengajaknya bicara beberapa hari yang lalu karena ia juga terus memaksa, sampai mungkin cowok itu kewalahan dengan segala tugasnya dan akhirnya menerima bantuan dari Khansa.
Namun di samping itu semua, Khansa benar-benar peduli dengan cowok itu. Ia sendiri tidak tahu perasaan ini timbul sejak kapan. Yang Khansa tahu, rasa pedulinya pada Gabriel tulus. Mata cewek itu memandang langit malam di luar jendela. Tidak ada unsur apa-apa. Ia hanya ingin cowok itu hidup dengan baik.
Khansa meletakkan piring di atas nakas di sebelah tempat tidur ibunya, mengambil satu buah apel utuh dan berjalan ke jendela. Ia berdiri di sana, memandang lampu-lampu kota Manhattan sambil memutar-mutar apel di tangannya. Sekarang cewek itu merasa tidak enak.
***
Keesokan harinya Khansa menyusuri koridor-koridor pagi sekolah yang ramai sambil celingak-celinguk. Ia mencari Gabriel. Ia mencari cowok itu di lokernya, tetapi tidak ada. Gym juga belum dibuka. Khansa melangkah menuju kafeteria, berharap menemukan Gabriel di antara kerumunan. Tetapi di kafeteria hanya ada Jerry dan anak-anak basket yang lain. Jerry sempat melambai ketika melihat Khansa. Menghela napas, cewek itu berbalik dan berjalan malas menuju kelasnya.
Tepat sebelum belokan menuju kelasnya, Khansa melihat Gabriel bersandar di tembok di sebelah tabung alat pemadam kebakaran. Salah satu kakinya terangkat menginjak tembok, ransel tersampir di salah satu bahu. Kedua tangannya sedang memainkan rubik.