Gabriel memarkir motornya di sebelah ruko bertingkat. Kendaraan kesayangannya kali ini terlihat sangat mengilap. Ia baru saja mencucinya. Saksi bisu yang selalu menemani cowok itu kemana pun ia pergi. Gabriel menepuk-nepuk dasbor motornya dengan senyum puas.
Ia berjalan santai sambil bersiul menuju bar tempat Freya bekerja, ketika seseorang berlari menabrak bahunya. Mata Gabriel bertemu dengan mata penabraknya. Gabriel mengernyitkan dahi. Bukankah dia adiknya Guaverra? Anak itu langsung lari begitu saja.
Sembari memandang punggung anak yang terus berlari itu, Gabriel memungut sesuatu yang terjatuh darinya. Satu butir tablet berwarna putih. Ia mengendus baunya. Ekstasi?
Tak lama kemudian cowok itu melihat Guaverra berlari dari gang kecil di sebelah bar. Ia menghentikan cewek itu. “Hei, apa yang sedang kau lakukan?”
Guaverra membuang napas berat. “Kalau kau tidak keberatan aku sedang buru-buru.” Dia langsung pergi meninggalkan Gabriel di tempatnya.
Pandangannya mengikuti figur cewek itu yang berlari menjauh, lalu kembali pada butir tablet di antara jari-jarinya. Ia tidak menyangka adik Guaverra memakai narkoba.
Tepat saat Gabriel berbalik, Freya berjalan keluar dari dalam gang. Ia segera berlari kecil menghampiri kakaknya.
“Hei, apa—“ ucapannya tergantung di udara ketika melihat Freya memegang sebuah plastik putih dan menutupinya di balik lengan. Gabriel menatap kakaknya, ia mengambil plastik itu. Freya berusaha menahannya, tetapi Gabriel lebih cepat.
Gabriel mendongak pada Freya. “Kau memakai narkoba?” nada suaranya tajam.
“Dengarkan aku dulu.” Freya buru-buru menjelaskan sebelum adiknya salah paham. “Aku tidak menggunakannya.”
“Lantas kenapa kau memilikinya?”
“Itu..” Freya mengulum-ulum kedua bibirnya tidak nyaman.
Gabriel mengembalikan plastik itu ke tangan kakaknya. “Jadi ini sumber penghasilanmu yang lain,” kata Gabriel tidak percaya, raut kecewa terlihat di wajahnya. “Pengedar.”
“Hei, hei, dengarkan dulu.” Freya berusaha menahan Gabriel sebelum cowok itu berbalik pergi. “Aku tidak punya pilihan. Temanku menawarkan. Orang-orang mau membayar berapapun demi satu kantung kecil ekstasi dan heroin.”
Gabriel hanya mengibaskan lengannya pada Freya dan pergi meninggalkannya. “Aku selalu menghindari itu karena kau yang mengatakannya. Aku selalu mendengarkan kata-katamu. Tapi ternyata, kau sama saja.”
***
Gabriel jarang sekali melihat Guaverra belakangan ini.
Ia hanya bertemu cewek itu saat kelas sejarah. Itu juga, dia lebih sering tertidur atau memperhatikan papan tulis dengan seksama, dan saat bel berbunyi langsung pergi meninggalkan kelas. Sudah beberapa minggu ini cewek itu tidak mengusiknya lagi, halusnya menyapanya. Sekarang Guaverra juga jarang belajar sehabis pulang sekolah di kafeteria.
Gabriel mengambil botol minumnya di bangku pemain cadangan, meneguk isinya sampai habis. Sembari istirahat, ia memperhatikan teman-temannya mengoper bola dari ujung lapangan ke ujung satunya. Gabriel mengelap keringat. Cewek itu terlintas lagi di pikirannya.
Apa ini karena masalah dengan adiknya?
Mengingatnya saja membuat Gabriel marah. Adik Guaverra mendapatkan ekstasi itu dari Freya, kakaknya sendiri.
Satu-satunya hal yang tidak membuat Gabriel terjerumus ke dalam narkoba adalah ucapan Freya. Kakaknya benci laki-laki berandalan dan urakan, tidak punya otak untuk membuat hidupnya lebih baik. Gabriel mungkin pernah melakukan semuanya, tetapi ia tidak pernah menyentuh narkoba. Dan sesekali itu membuatnya bersyukur. Dirinya bukan seorang pecandu.
Setelah latihan, ia melangkah ke arah pintu utama menuju tempat parkir. Gabriel mendorong salah satu pintu ganda dan mendapati cewek itu di sana, duduk di salah satu bangku panjang di halaman sekolah. Cewek itu memakai earphone di salah satu telinganya. Dia sedang membaca buku. Gabriel menjilat bibir, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Ia berjalan mendekat sambil mengusap-usap rambut belakangnya.
“Hei,” sapanya. Gabriel duduk di ujung bangku yang lain.