Intact Yet Broken

Fann Ardian
Chapter #22

Chapter 22

Sebenarnya sejak percakapannya yang terakhir dengan Gabriel di koridor di depan kelas, Khansa berhenti mendekati cowok itu.    

Mungkin akhirnya ada sebuah pemahaman muncul di dalam dirinya yang membuat Khansa mengerti untuk tidak berusaha membantu cowok itu lagi, atau pada kenyataannya malah mengganggunya. Itu dan karena Jeremy membuat masalah lagi, sampai kepala Khansa pusing dibuatnya.  

Dua minggu lalu, Ayah masuk ke kamar Jeremy dan menemukan sebuah bungkus kecil berisi beberapa tablet. Saat mereka sedang makan malam, dia bertanya apakah Jeremy sedang sakit. Khansa, mengetahui situasi, langsung menjawab Jeremy tidak enak badan sejak kemarin, dan itu obat yang baru dibelinya untuk Jeremy. Ayah hanya mengangguk. Di dalam hati Khansa mengutuk adiknya itu karena bisa-bisanya menaruh barang itu begitu saja di dalam kamar yang tidak terkunci.  Malam itu juga saat Jeremy pulang ke rumah, Khansa langsung melabraknya yang berujung mereka berdua bertengkar hebat. Ayah harus turun tangan untuk memisahkan mereka. Kekesalan Khansa sudah berada pada puncaknya, tetapi adik pertamanya itu terlalu bebal. Ditambah beberapa hari yang lalu Jeremy juga tertangkap basah merokok di kamar mandi dan membuat mereka berdua harus masuk ruang kepala sekolah.   

Menyebalkan. Mengingatnya saja sudah membuat cewek itu naik darah. Kepalanya dipenuhi dengan semua masalah menyangkut Jeremy belakangan ini, ditambah biaya rumah sakit yang harus segera dibayar. Ayahnya juga tidak banyak membantu. Bekerja dari pagi sampai malam seperti robot. Paling tidak, pekerjaannya menjauhkannya untuk tidak sengaja mengetahui anak laki-laki satu-satunya sudah setengah jalan menuju keterpurukan.

Dan sekarang apa yang ia lakukan malam ini? Khansa berjalan tak punya tujuan, hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah. Jalan-jalan. Dan cewek itu membawa sebotol bir di tangannya. Sudah habis setengah. Sebuah rekor yang bagus dirinya belum melayang. Khansa tadi mampir ke klub malam, tetapi tidak tinggal cukup lama karena bisingnya suara musik yang malah membuatnya tambah pusing. Khansa menaruh botol birnya, duduk di anak tangga di depan sebuah bangunan. Aneh sekali akhirnya dirinya merasa lelah juga. Biasanya dalam keadaan apapun ia selalu bersikap positif. Kepala Khansa tertunduk di antara kedua lututnya.  

Tidak tahu berapa lama ia terduduk dengan posisi itu, Khansa akhirnya mengangkat wajah. Kepalanya berdenyut. Ia mencecap-cecap mulutnya tidak enak. Sembari menarik dan membuang napas, Khansa memandangi mobil-mobil melintas dan orang-orang berlalu-lalang di trotoar. Ia melihat sekeliling. Matanya menyipit. Seperti melihat seseorang yang ia kenal. Gabriel?  

Cowok itu mengenakan jaket denimnya yang biasa, kedua tangannya berada di dalam saku. Dia berjalan seorang diri. Pemandangan tidak biasa melihat cowok itu tanpa motornya.  

“Gabriel?” panggil Khansa ketika cowok itu lewat di depannya. Cowok itu menoleh, keningnya berkerut. “Ternyata benar kau.”   

Gabriel masih memandangi Khansa. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. “Kau sedang apa?”   

“Duduk.”   

Menyadari ada ekspresi teler di wajah Khansa, cowok itu melangkah mendekat. Matanya sedikit menyipit, seperti melihat sesuatu yang tak biasa di hadapannya.   

“Kau sedang apa?” tanya cewek itu.   

“Mencari angin.”  

Lihat selengkapnya