“Jeremy tidak ikut sarapan?” tanya Ayah. Ia menaruh jaket kerjanya di sandaran kursi lalu duduk.
“Dia sudah berangkat lebih awal,” jawab Khansa tanpa menoleh, terus memakan telur dadarnya. Padahal sebenarnya Jeremy tidak pulang sejak tadi malam.
Ayah hanya mengangguk, menyapa Lily sebentar, dan menyantap sarapannya. Meja makan hening, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu dari Lily. Terkadang anak balita itu menggumamkan sesuatu. Ayah menghabiskan sarapannya dengan cepat, seperti biasa.
Ayah mengelap mulutnya dengan serbet. “Aku akan pulang larut malam. Jangan menungguku untuk makan malam nanti.”
Padahal kenyataannya dia memang jarang makan malam di rumah, lantas untuk apa memberitahukannya lagi? Khansa berniat mengangguk, tetapi kemudian ia teringat sesuatu. “Eh, Yah, bukankah malam ini kau seharusnya menjaga Ibu?”
Ayahnya terdiam sejenak. Ada kilas bersalah di kedua bola matanya. “Ah, iya.”
“Kau melupakannya.”
“Bukan begitu,” sergah Ayah. “Kau tahu aku sibuk sekali. Terkadang aku tidak mengingat beberapa hal karena terlalu fokus dengan pekerjaanku.”
Khansa hanya menatap kosong ayahnya. “Kau selalu melupakannya,” ucapnya gamblang. “Biaya rumah sakit bulan lalu belum dibayar, ditambah juga dengan bulan ini.”
Khansa sudah bisa menutup seperempat biaya rumah sakit dengan hasil kerjanya di toko bunga, dan juga menghabiskan sebagian tabungannya. Jujur saja dirinya tidak mengerti apa yang ayahnya kerjakan. Bekerja dari pagi sampai malam tetapi seperti tidak menghasilkan apapun. Seolah tidak ingin ambil pusing dengan apa yang terjadi di rumah. Cewek itu tahu Ayah bekerja untuk keluarga mereka, ia tahu ayahnya orang yang baik. Tetapi sikapnya seperti orang plonga-plongo yang membuat Khansa gerah.
Ayah menggaruk tengkuknya. “Maafkan aku, Khansa,” ujarnya. “Kau terpaksa harus mengurus semua ini.”
Khansa menghabiskan susunya sampai tandas. Ia meraih saku ranselnya. “Ini slip administrasi rumah sakit, tenggat waktunya akhir minggu ini. Aku sudah membayar untuk vitaminnya.” Ia menaruh dua lembaran slip di atas meja, memakai ranselnya, dan menggendong Lily. “Aku berangkat dulu.” Ia berlalu meninggalkan meja makan.
Dan ini pertama kalinya Khansa meninggalkan meja makan lebih dulu.
Setelah menitipkan Lily pada Mrs. Gray, ia berjalan menuju halte bus. Suasana hatinya sedang tidak baik hari ini. Mudah terbawa emosi, cepat sekali merasa kesal. Ia mampir ke minimarket sebentar untuk membeli sebatang cokelat, berharap untuk memperbaiki perasaannya. Pelajaran pertama pagi ini adalah matematika. Sembari mencari buku paketnya di dalam loker, Khansa misuh-misuh bete.
“Kau kenapa marah-marah sendiri?”
Seseorang berbicara di belakangnya. Khansa menoleh. Gabriel.
Cewek itu menutup pintu lokernya. “Tidak.”
“Kau sedang ada masalah?”
“Tidak, aku baik-baik saja.” Padahal Khansa tahu seluruh garis wajahnya berkata sebaliknya.
Gabriel hanya menatapnya, hidung cowok itu mengernyit ke satu sisi. Alisnya berkerut.