Mereka berdua berhenti di tepi jalan raya di seberang sekolah. Gabriel dan Khansa masih di atas motor, mengamati halaman sekolah yang kini ramai dengan murid dan orang tua mereka. Meja-meja berisi banyak makanan dan minuman tertata rapi, para murid yang tergabung dalam himpunan badan siswa berada di belakang meja. Khansa melihat Phira di salah satunya, sedang menuangkan minuman soda ke sebuah gelas plastik. Pertemuan orang tua murid seharusnya sudah dimulai hampir dua jam yang lalu, tetapi tidak tahu pasti apakah sekarang sudah selesai.
“Sudah kubilang mereka tidak mungkin datang kemari,” sungut Gabriel dari balik bahunya.
“Ah, kau belum melihat seluruh halaman.” Khansa menjulurkan lehernya tinggi-tinggi. “Eh, orang tuamu seperti apa?”
Gabriel menghelas napas sambil memutar bola matanya.
“Parkir saja dulu motormu.”
Cowok itu memutarbalik motornya menuju tempat parkir. Mereka berjalan-jalan di sekitar halaman sekolah. Gabriel melangkah ragu-ragu di belakang Khansa. Selain khawatir bertemu kedua orang tuanya, ia lebih khawatir jika Tina dan James benar-benar bertemu satu sama lain. Ia sudah tidak bisa membayangkan kedua orang itu berada di satu tempat yang sama. Rasanya aneh sekali. Khansa menepuk lengannya. “Orang tuamu seperti apa?”
“Ibuku tinggi dan ramping, rambutnya pirang dan selalu mengenakan kalung dengan permata-pertama berwarna hijau,” jawab Gabriel. “Ayahku memiliki mata yang sama sepertiku.”
Khansa hanya manggut-manggut. Mereka mendekat ke area bazaar. Memilih menghindari keramaian dan mengamati dari beberapa jarak. Gabriel sebenarnya tidak terlalu memerhatikan sekitar, ia hanya mengikuti cewek itu.
Tiba-tiba Khansa menepuk lengannya lagi. “Eh, apakah itu mereka?”
Gabriel mengangkat wajahnya. Belasan meter jauhnya dari mereka berdua adalah pemandangan yang paling aneh yang pernah dirinya lihat, ia mungkin bisa bergidik. Jika Gabriel memberitahu Freya, kakaknya itu juga tidak akan mungkin percaya.
James dan Tina sedang mengobrol. Berbicara canggung lebih tepatnya.
“Mereka sepertinya baru saja bertemu.” Khansa memotong pikiran Gabriel.
Cowok itu masih mengamati kedua orang itu dengan sangsi. Ia masih tidak yakin.
“Ayo.” Khansa berjalan ke depan, melangkah pelan-pelan. Ia mengayunkan tangannya pada Gabriel sebagai isyarat untuk mengikutinya. Siapa tahu saja hari ini orang tua cowok itu akan rujuk lagi. Pemandangan di hadapannya cukup menjanjikan. Khansa mengamati pria paruh baya yang merupakan ayah Gabriel itu. Matanya berwarna abu-abu terang, hampir seperti warna silver di bawah cahaya matahari. Khansa menoleh pada Gabriel. Mata mereka berdua memang benar-benar mirip.
“Apa yang kau lakukan?” Gabriel masih berdiri, memerhatikan cewek itu melangkah berjinjit-jinjit seperti sedang menyelinap. “Lebih baik kita tidak usah mendekat. Aku akan tetap di sini.”
“Ayo, ikut saja.” Khansa menarik lengan Gabriel. Mereka melangkah lebih dekat lagi.
Tina tertawa, dan itu membuat Gabriel tercekat. Tidak. Lebih tepatnya bergidik ngeri. Mengapa mereka bisa akrab seperti itu?
Khansa menoleh ke belakangnya. “Lihat? Sepertinya progressnya cukup baik.”
Gabriel tidak mengatakan apa-apa. Dengan terpaksa, ia mengikuti cewek itu. Tina dan James sedang berdiri di dekat meja piknik. Menurut intrepretasi Gabriel, itu adalah jenis pembicaraan yang dipaksakan. Khansa dan Gabriel mengamati mereka berdua dari balik pohon. Cukup dekat untuk mendengar obrolan mereka walau samar-samar. Khansa mengintip dari balik pohon sambil memasang kedua telinganya.
Tina dan James mengobrol ringan selama beberapa lama, yang kata Gabriel hanyalah basa-basi. Mereka bersikap normal tadinya, lalu lama-lama suara Tina semakin meninggi dan raut wajah James mengeras. Mereka mulai saling melontarkan perkataan sinis, berdebat, dan akhirnya bertengkar.
Khansa melongo melihatnya.
“Kenapa kau berteriak padaku! Jelas-jelas itu salahmu!” James berseru pada mantan istrinya.
Tina melotot. “Apa?” suaranya tidak kalah tinggi. “Kau tidak pernah menghasilkan apapun selain mengkritik!”
“Sudah kubilang itu tidak akan berhasil,” ujar Gabriel. Ia teringat pemandangan seperti ini di rumahnya yang dulu, terjadi berulang-ulang. Cowok itu tidak nyaman melihatnya. “Ayo kita pergi saja.” Ia mengalihkan pandangannya dari adegan itu.