Yogyakarta, pertengahan 2001
Lelaki berparas tampan itu tersenyum bahagia sambil membawa sebuah boneka teddy bear berwarna pink menuju ke lobby sebuah hotel. Terbayang dalam benaknya, sang istri pasti akan menyambutnya dengan senyum cantiknya.
"Lho? Bapak kok di sini?" Lukmanto, security hotel memandang pria itu dengan bingung. Tak berapa lama Dinta dan Farida, resepsionis hotel juga mengerumuni pria itu.
"Bukannya bapak kecelakaan?" Dinta memandang atasannya lalu memandang Farida.
"Apa maksud kalian?" tanya pria itu sambil mengernyitkan dahi.
"Tadi siang kami mendapat telpon jika bapak mengalami kecelakaan, bahkan dua orang petugas polisi dari Polres Sleman datang kesini dan mengabari ibu supaya secepatnya ke Sardjito menemui bapak..." kata Farida.
Mata pria itu melebar. Apa maksudnya ini? Setelah sekian lama mereka terlindung di tempat yang aman, tinggal menunggu waktu untuk mencapai puncak kebahagiaan, apa yang terjadi sekarang? Tubuh pria itu menegang dan dari dahinya keluar butir keringat dingin, apakah mimpi buruk yang menghantu mereka selama ini akan menjadi kenyataan?
"Pak, bapak tidak apa-apa?" tanya Lukmanto.
Pria itu mengerjapkan mata. "Kita....segera menuju Polres Sleman, memastikan apakah ibu menang dibawa oleh petugas dari sana....Lukman, segera suruh Bima menyiapkan mobil..."
"Baik, tuan..." Lukmanto segera menuju ke pos satpam, biasanya Bima sedang bercengkerama dengan Haryanto satpam di depan sana.
"Ada apa sebenarnya?" Lukmanto menggeleng bingung.
----
Kaliurang, pertengahan 2001
Dua orang pemuda menyusuri jalan di tengah hutan dengan tergesa.
"Kita nyasar! Dengan petunjuk sejelas itu, pasti kawan-kawan kita akan terpingkal saat kita tiba nanti!" Satya menggerutu. Pemuda di sampingnya hanya tersenyum tenang seolah 'tersesat' tidaklah mengganggunya sama sekali.
Mereka terpisah diantara para taruna lain. Hiking di sekitaran Kaliurang yang diadakan oleh sekolah mereka yang tadinya berjalan lancar dan santai, sekarang menjebak mereka dalam kesunyian hutan yang semakin menggelap.
"Tenanglah Satya, kita tidak mungkin tersesat, lagipula di saat seperti ini kita tidak boleh panik, selama kita menuju ke arah yang tepat kita akan baik-baik saja!" kata pemuda di depan Satya dengan tenang.
Sebagai siswa Taruna Nusantara tingkat dua, keduanya tentu sudah dibekali berbagai macam cara untuk memahami posisi angin, mencari jejak dan keterampilan beladiri lain jika terjadi sesuatu dalam perjalanan, walaupun usia mereka masih belia, enambelas tahun, tapi para taruna ini memiliki pemikiran, keterampilan dan kekuatan melebihi pemuda-pemuda seusianya, mereka adalah orang-orang cerdas dan terpilih, kelak mereka akan menempati posisi-posisi penting di pemerintahan atau jika mereka memilih untuk berada di jalur non pemerintah, mereka akan memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan pemuda biasa.
Hari mulai gelap, matahari mulai tergelincir turun.
"Bagaimana ini? Kita bahkan tidak membawa alat komunikasi, tidak membawa senter, hanya tangan kosong saja, semakin gelap, semakin kita tersesat," gerutu Satya.
Pemuda di sampingnya merogoh ke sakunya dan mengeluarkan sebuah pisau kecil serbaguna, melipatnya dan menekan tombol di bawah pisau tersebut, tak lama pisau beralih fungsi menjadi senter.
"Makanya, jangan melupakan perlengkapan all in one mu," kata pemuda tadi kalem, Satya hanya memutar bola mata kesal. "Yalah, kamu kan ketua regu, Gus, semuanya kamu tahu...bintang kelas pula, aku mengandalkanmu! Saking mengandalkanmu malah kita tersesat padahal tujuan kita adalah menerobos jalur supaya sampai di tenda pertama kali!"
Pemuda itu terkekeh, "Aku kan hanya mengikutimu, Satya, kau tanggungjawabku, karena itu saat kau bersikeras menerobos jalur, aku mengikutimu, jadi sebaiknya kita jangan saling menyalahkan, kita pikirkan saja bagaimana kita segera menuju ke pos utama secepatnya, tapi semakin gelap, jika beruntung kita akan bisa melihat api unggun yang akan dinyalakan panitia nanti, menjadi petunjuk yang bisa membawa kita menuju ke pos utama, aku yakin anggota regu kita yang lain sudah sampai di sana, jika mereka merasakan ketidak hadiran kita, mereka akan melaporkan kepada panitia, tenanglah".
Lama mereka menyusuri jalan di tengah hutan dalam kegelapan, saat tiba-tiba mereka mendengar lengkingan kesakitan seorang perempuan.
Bulu kuduk Satya berdiri. "Apa itu Gus? Kau dengar?"
"Ya, aku mendengarnya, kita periksa sumber suara..."
"Kau gila? Bagaimana kalau itu hantu? Kita bisa menghadapi penjahat, tapi kita tidak pernah diajari bagaimana cara menghadapi hantu!" Satya mencekal lengan temannya.
"Tidak ada hantu yang bisa melukai manusia, Satya..." pemuda itu menajamkan pendengarannya dan memastikan teriakan perempuan tadi. Berusaha mendekatkan jarak, feelingnya mengatakan ada seseorang yang membutuhkan pertolongannya segera.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tangisan bayi.
"Gus! Itu pasti hantu, teriakan perempuan, mungkin memang ada orang yang butuh pertolongan, tapi tangis bayi di tengah hutan? Tidak! Sebaiknya kita segera pergi!"
"Tenanglah Satya, bisa jadi wanita itu tersesat bersama bayinya?"
"Kau gila Gus?"
"Sudahlah, sebaiknya kita segera berusaha menemukannya..." pemuda berrambut ikal tadi bergegas berlari diikuti Satya di belakangnya.
----
Hyang Widhi...selamatkanlah dia, aku tidak selamatpun tak apa, tapi selamatkanlah dia....
Wanita itu mengabaikan rasa sakit pada luka-lukanya dan berkonsentrasi untuk mengejan, bayinya harus keluar dengan selamat. Anak ini harus selamat. Para penyerangnya pasti mengira dia sudah tewas karena peluru yang ditembakkan tadi. Peluru itu memang tidak mengenai dadanya, karena perlindungan Tuhan. Memental karena kalung warisan yang diberikan oleh suaminya.
Wanita itu sekuat tenaga mengejan dan pada akhirnya susah payah yang dilaluinya berbuah manis, bayi mungilnya akhirnya lahir, bersimbah darah.
Tangisnya memecah kesunyian malam.
Semoga para penyerangnya tadi sudah jauh dan tidak mendengar tangisan bayi ini.
Hyang Widhi, selamatkan dia....
Wanita tadi tiada putus-putusnya berdoa.
Tiba-tiba dia melihat secercah cahaya.