Intan Padmi

Titisari Prabawati
Chapter #2

[Part II] Keneh

* Kehendak

Kehendak

Pulau Dewata, bertahun tahun kemudian

Lelaki bermata elang itu memandangi resort yang dikelolanya dari balik jendela besar yang berada di ruang kerjanya.

Di musim liburan ini, hotel dan restoran milik keluarganya selalu penuh diboking para wisatawan baik lokal ataupun mancanegara. Bahkan toko oleh-oleh di sepanjang resort sudah mulai kewalahan menghadapi serbuan pengunjung. Cinderamata berupa makanan khas, kaos, dan berbagai kerajinan tangan lainnya memang dijual lebih murah dibanding tempat yang lain, dengan kualitas yang sama unggulnya, karena itu Khrisna Dewa Resort selalu menjadi tujuan utama pada pelancong yang menghabiskan liburannya di pulau dewata ini.

Pandangan lelaki itu kini tertuju pada kebun kosong yang luas di samping hotelnya.

Huh! Lelaki keras kepala itu masih belum mau menjual lahannya kepadanya, padahal dia sudah menawarkan harga yang tinggi!

"Tugus! Ada telfon dari Griya Agung, anda disuruh menghadiri upacara nanti sore di Griya Antara!" Oka Wardana, sekretarisnya, muncul dari balik pintu kaca.

"Ida Bagus Gde Agung Ardhana yang menelfon, kenapa ponsel anda tidak aktif?"

Lelaki itu menghela nafas, jika ayahnya sendiri yang menelfon, pastilah sangat penting. Mungkin ayahnya memahami keengganannya menuju ke Griya Antara, Ida Bagus Antara Wiratha adalah saingan bisnisnya yang paling kolot. Lahan kosong di sebelah Hotel Agung yang sangat mengganggu itu adalah milik lelaki tua menyebalkan itu.

"Apakah aku harus hadir?" gerutu lelaki itu.

Oka Wardana nyengir, "Tidak ada pesta di Griya yang meriah tanpa kehadiran anda, semua tuan putri itu pasti akan menantikan kehadiran pangeran tertampan di pulau dewata, lagipula Dayu Kadek Devi pasti menantikan anda...kabar pertunangan kalian yang akan segera dilaksanakan sudah cukup membuat ketar-ketir para penggemar anda"

Rahang lelaki itu mengeras. Dayu Wirasthi, ibunda Kadek Devi memang selalu merecokinya dengan perjodohan itu dimanapun dan kapanpun mereka bertemu. Lelaki itu bersyukur, sementara ini Aji dan Ratu, ayah dan ibunya, tetap tenang-tenang saja menghadapi status putranya yang masih single. Ida Bagus Ardhana dan Ida Ayu Made Kenanga tidak pernah mengungkit pertanyaan kapan putranya akan segera mengakhiri masa lajangnya, mungkin setelah ulang tahunnya yang melewati kepala tiga sebulan lagi, barulah ibunya akan mulai berulah, tapi lelaki itu berusaha mengabaikannya.

---

Keluar dari Audi Hitamnya, lelaki itu membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya yang mancung dan melihat ke sekelilingnya, tumben Griya Agung terlihat sepi.

Seorang lelaki bergegas menghampirinya.

"Tumben Griya sepi, apakah semua menuju ke Griya Antara?" tanya lelaki itu.

"Sebagian besar sudah, tuan muda, tapi nyonya dan tuan besar masih di Griya, menunggu berangkat bersama anda."

Lelaki itu mengangguk, "Bawakan tasku ke dalam kamar, Nyoman..."

"Baik, tuan muda."

---

"Usianya sudah tigapuluh sekarang..." Kenanga memandang Ardhana. "Sepertinya lamaran dari Griya Pedampel patut kita pertimbangkan..."

Ardhana tersenyum. "Apakah kamu sudah merasa yakin dengan calon menantumu?" tanya Ardhana pada istrinya.

"Kadek Devi gadis yang terpelajar, seorang dokter pula, tingkahnya santun, budinya luhur, itu yang sekilas kulihat saat ada acara di Pedampel kemarin lusa..."

"Nanti akan kubicarakan dengan Mahendra, selama ini dia selalu fokus dengan pekerjaannya. Dulu saat kecil, kita terpaksa menjauhkannya dari Griya dan dia harus belajar di tempat yang jauh, setelahnya dia mengambil jurusan Arsitektur di UGM lalu meneruskan kuliah ke Jerman lalu bekerja di Dubai. Baru dua tahun ini dia mau mengelola Ardhana Group bersamaku diselingi kesibukannya sebagai dosen di Udayana, setelah masalahnya dengan Ida Bagus Antara berakhir, mungkin aku akan mempertimbangkan pernikahan untuknya."

Mahendra tersenyum simpul. Bahkan menandai wataknya yang keras, kedua orangtuanya pun sangat berhati-hati menanggapinya.

"Apakah yang dicemaskan ibunda? Putramu ini tidak akan kekurangan jodohnya?" Mahendra mengejutkan kedua orangtuanya dan memasuki ruangan dengan langkahnya yang lebar.

Kenanga tersenyum. "Ibu tidak mencemaskan kau kekurangan jodoh Gus, tapi mencemaskan tentang siapa yang akan kau pilih kelak...jika kita tidak memilih dengan baik, ibu takut kau hanya akan mempersulit dirimu sendiri, Gus?"

"Tidak usah dipikirkan sekarang, ibunda, bukankah sekarang kita harus bersiap untuk upacara di Griya Antara?"

Ardhana mengerdikkan bahu, "Ini hanyalah upacara Gus, jangan lagi merecoki Tugus Antara dengan proposalmu."

Mahendra menghela nafas, "Sayang sekali, lahan seluas itu di Nusa Dua dibiarkan terbengkalai, sebenarnya apa mau Tugus Antara? Seandainya disana dibangun sebuah hotel miliknya, tentu akan lebih baik daripada hanya sekedar lahan kosong."

"Lahan itu bukan milik Tugus Antara, tapi mendiang istrinya, karena itu Tugus Antara tidak akan mengutak atiknya hingga pemilik sahnya kembali," kata Ardhana.

"Benarkah?" Mahendra mengernyitkan dahi. "Mendiang istri? Bukannya Dayu Kemuning masih hidup? Atau sudah meninggal? Pewaris mereka bukankah Yoga? Selama mahendra bersahabat dengan Yoga, kelihatannya Yoga juga sependapat dengan Mahendra untuk mengelola lahan kosong itu?"

"Lahan itu warisan dari istri kedua Tugus Antara, ayah dengar seperti itu, baik Kemuning ataupunYoga tidak memiliki hak untuk mengelolanya,"

"Istri kedua? Yoga tidak pernah bercerita jika ayahnya menikah lagi?" gumam Mahendra. "Tapi Yoga juga pendiam, dia jarang bercerita tentang keluarganya, ah kenapa kita jadi bergunjing, sebaiknya kita bersiap ke griya Antara saja...ibu ratu sudah siap?"

Kenanga merapikan songketnya. "Sudah siap sejak tadi, oh, bajumu sudah disiapkan Nyoman di kamar, segeralah lukir busanamu, tapi Gus, kau harus tahu silsilah keluarga Antara, jadi nanti kau tidak kelihatan seperti orang bodoh jika tidak mengetahui keadaan di sana. Kemuning sangat gerah karena Tugus Antara tiba-tiba membawa putri dari istri keduanya kembali ke Griya Antara. Selama ini Kemuning sudah tenang tinggal bersama Yoga dan Kirani, sekarang ditambah satu putri lagi yang mampu menggeser posisi keduanya sebagai pewaris Griya Antara."

"Bagaimana mungkin?" tanya Mahendra keheranan.

"Sebenarnya, istri kedua Tugus Antara adalah cinta pertamanya, karena konspirasi yang rumit, Kemuning merebut Antara dari cinta pertamanya dan menikahinya. Tapi sepertinya cinta Antara tidak pernah padam, saat mendapat celah, Antara menikah untuk kedua kalinya, sayangnya pernikahan kedua itu tidak lama, istri keduanya meninggal, anak mereka tadinya berada di Yogyakarta, sekarang Antara tiba-tiba membawanya kembali ke Griya. Ibu dengar, istri kedua Antara adalah Dayu murni, kasta Brahmana, sementara Kemuning mendapat gelarnya dari pernikahan, karena itu santer berita dari Griya Antara jika anak tirinya kelak yang akan menjadi pewaris utama, itu yang membuat Kemuning sangat gerah, Antara Group adalah Klan terkemuka di Bali dan masuk tiga besar Group terkaya di Bali, apa jadinya jika Kemuning kehilangan segalanya karena anak tiri itu? Rumit Gus! Karena itu ibu mewanti-wanti kau jangan sampai jatuh hati dengan Kirani, keluarganya terlalu rumit....Kemuning sepertinya berharap kau yang akan menikahi Kirani, ibu sudah berusaha menghindarinya di beberapa pertemuan, tapi dia selalu saja bisa mendesak ibu, sehingga ibu beralasan jika kau dan Kadek Devi memiliki hubungan cukup dekat?"

Mahendra berdecak, oh, ini alasan kenapa dia dan Devi diberitakan santer dekat belakangan ini? Ternyata karena ibunya sendiri.

"Jangan bawa-bawa Mahendra dalam masalah ini, ibunda. Jika ibunda mendapat tawaran pernikahan lagi, sebaiknya beralasan tiang (saya) sedang sangat sibuk sehingga belum memikirkan perjodohan."

Kenanga hanya mendesah pelan melihat kekeras kepalaan Mahendra.

"Sebaiknya kita berangkat, ini akhir pekan, biasanya macet....jangan sampai terlambat menuju Griya Antara." sela Ardhana.

"Dimana Jero Made dan Bli Wayan?" tanya Mahendra menanyakan paman-pamannya.

"Mereka bersama istri dan anak-anaknya sudah ke Griya Antara terlebih dahulu, Luh Santhi dan Made Suasti tidak sabar bergosip di Griya Antara..." gerutu Kenanga. Mahendra hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Jangan bilang kalau ibunda juga sudah tidak sabar ingin ikut bergosip?"

Kenanga mencibir. "Tidak! Karena bahan gosip terbesar mereka ada di sini, jadi ibunda tidak berminat bergosip."

Mahendra memandang ayahnya. "Sepertinya ayah sudah pensiun dari dunia politik, bukan? Kenapa masih digosipkan?"

Ibunya tertawa seraya menggandeng putranya. "Sebagai mantan wakil gubernur, ayahmu sudah tidak ada gaungnya, bukan ayahmu yang menjadi sumber gosip nak, bukan juga kiprahnya di dunia bisnis, tapi kau?"

"Tiang? Bagaimana bisa tiang terkena gosip, ibunda? Tiang baru dua tahun berada di Bali..."

"Ketampanan dan status lajangmulah yang membuat mereka bergosip tentangmu, tentang gadis mana yang beruntung nanti untuk mendampingimu, kolom majalah bisnis pun mulai memberitakan keberhasilanmu mengelola Agung Group, semua terobosan dan arsitektur modern yang dipadu arsitektur tradisional Bali yang kau susun untuk rancangan Hotel Bali Agung mendapat banyak pujian. Ibu bangga padamu, tapi sebaiknya kau segera menikah sehingga mereka menghentikan gosip yang tidak-tidak tentangmu..."

"Gosip apa ibu ratu?"

"Banyak yang bilang kalau kau ini playboy atau semacamnya, padahal ibunda tidak pernah melihatmu membawa perempuan pulang ke rumah. Atau kau menyembunyikan banyak rahasia di belakang ibumu? Ni Komang Ariyuni pernah bilang kepada ibunda kalau melihatmu bersama wanita-wanita cantik di Paddy's,"

Sebelum ibunya tambah menggerutu dan bercerita tentang gosip-gosip tentangnya, Mahendra menuju ke kamarnya.

"Mahendra berpakaian dulu lalu kita berangkat..."

----

Bertiga mereka keluar dari mobil, kedua orangtuanya tentu saja segera menemui tuan rumah, sementara Mahendra berpamitan hendak bertemu Pramudya Yoga. Suasana Griya Antara serasa asing bagi Mahendra, sudah puluhan tahun dia tidak bertandang kesini, walaupun Yoga adalah sahabatnya, mereka tidak pernah bertemu di Griya, kebanyakan pertemuan mereka di hotel ataupun cafe. Memang bangunannya tidak banyak berubah, tapi penataan taman dan bunga di sekitarnya membuat banyak perubahan. Banyak orang berpakaian adat berlalu lalang. Ingatan Mahendra yang kuat mengenali beberapa nama pria yang menyapanya.

Dimana Tugus Yoga?" tanya Mahendra kepada salah seorang pemuda yang dikenalnya pernah mendampingi Yoga pada setiap pertemuan.

"Sedang mengawasi pemasangan penjor di depan, Gusti, mari saya antar..." pemuda itu menunjuk ke arah jalan setapak di dekat tembok tempat pemujaan.

Tergesa Mahendra melangkahkan kaki menaiki tangga menuju ke rumah utama, dilihatnya Yoga sedang mengawasi pemasangan penjor gerbang rumah utama, fokus Mahendra tertuju pada Yoga, sehingga tidak memperhatikan kanan dan kirinya, alhasil tubuh tegapnya menyenggol sesosok tubuh mungil yang memekik kesakitan.

Keras dan lunak.

Tentu saja gadis kecil itu langsung terjatuh karena tegap tubuh Mahendra.

Mahendra menoleh dan dengan sigap menangkap tubuh yang hendak terjatuh itu. Reflek tangannya masih cukup bagus karena latihan rutin yang dijalaninya selama ini. Gadis itu tidak jadi membentur petak batu alam di bawah kakinya, Mahendra memegang erat pinggang si gadis.

"Maaf, Luh tidak apa-apa?"

Melihat kebaya merah jambu sederhana yang melilit tubuh gadis itu, bukan songket Bali yang mewah dan mahal, tentu gadis itu adalah salah satu gadis pelayan Griya Antara. Masih muda, dilihat dari langsing tubuhnya, mungkin masih SMP. Gadis itu menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan dengan kaget mendapati dirinya dalam pelukan seorang pria dewasa, gadis itu langsung berusaha menjauhkan dirinya, usahanya malah membuatnya semakin gugup dan kakinya terpeleset, pelukan Mahendra semakin erat.

Wajah mereka menjadi semakin berdekatan.

Gadis itu terbelalak kaget. Mahendra terpana.

Yang dipeluknya bukan anak kecil ternyata, wajah ayu itu milik gadis yang beranjak dewasa, mungkin tubuhnya saja yang mungil, atau mungkin Mahendra yang terlalu kekar sehingga gadis itu terlihat mungil.

Alis yang indah, melengkung sempurna di atas mata bulat nan besar, dinaungi bulu mata lentik nan memikat, hidung bangir yang pas diantara tulang pipi yang memikat, belum lagi bibirnya, ah, warna lembut alami kemerahan yang mampu membuat pria manapun tergoda.

Deg!

Baru kali ini jantung Mahendra mampu berdetak lebih kencang daripada biasanya.

Jemari lentik gadis itu mendorong dada Mahendra menjauh.

"Suksma..." gumam Mahendra. Semburat merah di pipi gadis itu membuat Mahendra terpesona, tidak rela rasanya jika dia melepaskan pelukannya, tapi puluhan mata yang memandang keduanya tentu tidak boleh berlama-lama disajikan pemandangan yang mampu memenuhi dunia pergunjingan para ibu, kasihan gadis ini jika menjadi korban.

"Kau tidak apa-apa, Luh?" tanya Mahendra. Gadis itu hanya mengangguk lalu bergumam pelan dan berjalan menjauh setelah mengucapkan kata permisi. Terbirit-birit menjauh seolah Mahendra berpenyakit menular! Duh! Padahal biasanya para gadis betah berlama-lama dalam pelukannya!

Tiba-tiba tatapan Mahendra bertemu dengan tatapan tajam seseorang.

Yoga!

Kenapa Yoga menatapnya seperti itu?

Mahendra bersikap acuh dan berjalan menuju ke arah sahabatnya dalam bisnis perhotelan itu dan menyalaminya.

"Maaf terlambat..." kata Mahendra, Yoga hanya mengangguk.

---

Intan memegang dadanya yang berdegup kencang. Sudah dua bulan ini dia mencoba beradaptasi dengan lingkungan asing di keluarga ayahnya. Limabelas tahun kehidupannya di Yogyakarta yang damai bersama simbok Pardiyem, pengasuhnya, kini tinggal kenangan.

Ayahnya bersikeras membawanya tinggal di Griya, memperkenalkannya dengan ibu tiri, kedua saudara serta kakek neneknya. Tukakiang Bhisma dan Tuniang Siwi. Paman, Bibi, saudara sepupu, semuanya membuatnya bingung, adat dan kebudayaan yang berbeda, walaupun ayahnya sudah mengajarinya setiap hal tentang kebudayaan Bali, tetap saja sulit beradaptasi di lingkungan yang dirasakannya angker dan seram ini. Wajah-wajah keras yang mengelilinginya, sedikit kesalahan saja bisa membuat orang mencibirnya.

Griya bukanlah sembarang tempat, banyak adat istiadat yang harus dipatuhi. Hanya saja, sikap tidak bersahabat ibu tiri dan saudarinya kepadanya, membuatnya tidak bisa tenang. Ketidak tenangan yang terngiang di pikirannya membuatnya abai, tidak berkonsentrasi dengan sekelilingnya sehingga kejadian memalukan tadi terjadi. Terpeleset dalam pelukan seorang lelaki dan banyak mata memandangi mereka!

Alis melengkung seperti sayap elang itu, tatapan tajam yang mengintimidasi seolah mampu menelanjangi kulit Intan hingga terasa dinginnya menusuk tulang, hidung mancung dan bibir sinis yang seolah tidak pernah tersenyum. Pria itu memiliki paket lengkap penampilan malaikat maut. Proporsi tubuhnya yang tegap mengintimidasi, kulit kecokelatan dan rambut hitam ikal yang menjuntai.

Kokoh!

Tubuh Intan merinding, rasa kokoh pelukan itu masih ada.

Lihat selengkapnya