Setelah menghadiri rapat dengan PPK Tamenung, Adelio pulang ke penginapan. Dalam perjalanan pulang dia membeli nasi bungkus dan air kemasan botol. Karena dia belum sempat makan. Kedatangannya ke sini adalah dalam rangka koordinasi pemungutan suara ulang, karena kasus dibawanya tiga surat suara dari salah satu TPS ke TPS lainnya dan dimasukan ke situ.
Sudah ratusan kali telpon WA-nya berdering kraaaanng…kriiinnggg… kraaaanng…kriiinnggg saja dari pagi sampai siang hari ini. Baterainya sudah tinggal 30%, padahal hari belum sore. Terpaksa HP-nya dia charge ke power banknya. Karena di Tamenung ini listrik baru dihidupkan pada malam harinya.
Beberapa kontestan di wilayah Tamenung menelpon Adelio agar pemungutan suara ulang itu dibatalkan saja, jika tidak maka mereka akan bertindak, katanya. Tetapi dari KPU Provinsi juga selalu menguatkan untuk tetap melaksanakan pemungutan suara ulang besok, apa pun yang terjadi.
Yang selalu menguatkan Adelio adalah ketua KPUnya serta Verdian Dinataswara dari divisi Data yang selalu menelponnya agar tidak mundur, apapun ancaman mereka. Bahwa ini adalah tugas mereka Adelio sebagai anggota KPU. Ini perintah undang-undang. “Saya tahu ini memang sangat beresiko,” jelas Verdian meyakinkannya, apalagi komisioner KPU sama sekali tidak diansuransikan. Tapi kita tetap harus melaksanakannya. Apapun resikonya.”
Terus terang saja kalbu Adelio sangatlah galau. Ada rasa penyesalannya mengapa dulu harus mendaftar menjadi anggota KPU. Tetapi karena sudah terjadi, yah sudahlah. Dijalani saja, apa pun resikonya.
Sebagai manusia biasa yang tidak punya keluarga pejabat maupun memiliki ilmu kanuragan hebat, sesungguhnya Adelio sangat takut untuk memonitor pemungutan suara ulang ini.
Dia hanya mempunyai kekuatan fisik dan ilmu bela diri sekedarnya saja yang dipelajarinya sejak kecil dan tetap dilatihnya sampai sekarang. Tetapi jika mendapatkan serangan begitu banyak orang secara serentak? Ancaman senjata api rakitan dan alat-alat berat? Apakah itu bisa efektif? I don’t think so.
Dia sudah mendapatkan banyak ancaman dari berbagai pihak, terutama dari beberapa konstestan yang dapilnya berada di daerah Tamenung. Belum lagi pikirannya selalu teringat dengan Irabelle. Apakah mereka akan punya waktu untuk menikah?
Karena dia teringat sudah begitu banyak insiden di dalam Pemilu itu orang sering terbunuh tanpa diketahui jelas penyebabnya dan pengungkapan faktanya sering tidak tuntas.
Salah seorang calon anggota Dewan incumbent sudah menelponnya akan menghadang jalan pulangnya dengan excavator dan buldoser di persimpangan Tamenung. Di air sungai katanya dia sudah menyiapkan pasukan berani mati dengan armada puluhan speed boat 40 HP yang masing-masingnya paling tidak berisi 4 orang.
Awalnya Adelio berencana tidur di penginapan. Lalu oleh Markus, Ketua PPK, diajak menginap di rumahnya saja. Namun ketika mendapatkan banyaknya anaman seperti ini, Adelio tidak enak juga tidur di situ.
Karena takut para pengancam itu benar-benar melaksanakan niat mereka, maka kasihan juga keluarga anggota PPK itu yang akan ikut merasakan getahnya, padahal mereka sama sekali tidak tahu apa-apa.
Para anggota polisi dan tentara yang ada di Tamenung pun sudah ditelpon oleh kontestan pemilu anggota dewan itu. Bahkan sepertinya mereka tidak takut dengan aparat keamanan.
Sehingga Adelio merasakan pasti ada sesuatu agenda tersembunyi terhadap tindakan mereka yang ngotot dan mungkin juga seseorang aktor yang sangat kuat berada di belakang mereka.
Hasil koordinasi Adelio dengan pihak keamanan mereka tadi sore, pihak polsek terus terang saja tidak berani melindungi Adelio.
“Kami di sini hanya berenam, Bapak. Masing-masing hanya diberi beberapa peluru karet dan peluru tajam. Kalau seandainya ribuan orang datang menyerang, bagaimana kami melindungi Bapak? Sementara melindungi diri kami sendiri saja sudah susah.”
Akhirnya pukul 9 malam, Adelio pindah dari rumah ketua PPK dan menginap di rumah seorang Danramil. Karena hanya dia yang berani menjaminnya. Kebetulan Danramilnya juga hanya berada sendirian di rumah dinasnya itu, tidak membawa keluarganya di situ.
Adelio melihat keadaan sekeliling kamarnya, ternyata jendelanya hanya ditutup kaca tanpa teralis. Jadi jika seseorang ataupun sekelompok orang mau mendobrak, maka akan begitu mudah saja memecahkannya dan menerobos masuk.
Sementara pak Danramilnya sendiri tidur di kamar lain. Sangat hemat bicara. Mungkin tidak mau mengganggu atau memang sifatnya begitu. Adelio tidak tahu. Meskipun akhirnya Adelio menyimpulkan, bahwa Danramil itu hanya nyali saja yang sangat berani, tetapi personil dan perlengkapannya sama sekali tidak memadai.
Itulah tentara, pantang mundur.
“Kriing. Kriing. Kriing.” Nomor tidak dikenal. Tetapi Adelio tetap harus mengangkatnya. Karena KPU bersifat melayani. Agar tidak menyalahi undang-undang keterbukaan informasi. Tetapi dia hanya melayanai pesan WA saja. Sehingga telpon masuk itu di cancelnya dan mengirimkan pesan WA.
“Maaf. Dengan siapa, ya?”
“Hallo, Bapak. Saya Musafir. Anggota KPPS Rantau Jengkol.”