Adelio melayangkan pandangannya kepada sekelompok speedboat 40 HP itu yang ditambat di steigher itu. Dia lalu melirik ke sebuah speed yang kelihatannya masih sangat baru, body fiber glass nya juga masih kinclong. Lalu Adelio menuju ke arah orang yang duduk di dalamnya.
Bukannya cerewet, tetapi biasanya kalau mesin itu masih baru maka akan jarang macet, apa lagi dia harus segera sampai di tempat pemungutan suara. Apalagi perjalanan Adelio kali ini adalah dalam rangka segera melihat persoalan laporan pelanggaran Pemilu di desa Gendang Permai. Katanya ada surat suara tertukar.
“Ke Gendang Permai, Pak. Berapa?”
“500 saja Pak,” jawab pengemudinya yang menggunakan topi ala Meksiko. Maksudnya 500 ribu rupiah.
“Sekali jalan atau PP?”
“Sekali jalanlah, Bapak. Kalau PP mau satu jeti.”
“Wah. Mahal sekali. Kan jaraknya cuma sekitar 28 km saja dari sini.”
“Allaaahh, Pak. BBM sudah naik. Mana untuk dapat BBM-nya susah lagi. Ngantri. Sekarang juga air pasang, resiko kipas kena kayu tinggi. Kipas speed sekarang mahal, Bapak. Di atas satu jeti.”
Akal-akalan mereka. Mereka tahu saya orang KPU
Adelio juga jadi heran. Di mana-mana kalau mereka tahu itu orang dari KPU, pasti tarifnya diberikan tinggi. Karena banyak duit, alasannya. Padahal Adelio ini selalu ber-nego setengah mati dengan bagian keuangan jika mau berpergian. Apalagi alokasi dana dari pusat itu kecil sekali untuk daerah seperti mereka ini.
“200. Bagaimana?”
“Masih jauh, Pak!” Seru pengemudinya mencoba bertahan. “400 saja.”
“Pagi, pak Ketua. Mau ke mana?” tiba-tiba Mulawarman, seorang caleg Pemilu di dapil 3 itu menyapanya.
“Mau ke Gendang Permai Pak,” jelas Adelio.
“Bapak kok sepertinya buru-buru sekali?” tanya Mulawarman lagi.
“Katanya ada masalah di sana Pak,” jelas Adelio enggan berterus terang. Padahal dia tidak tahu jika informasi itu sudah menyebar ke mana-mana, termasuk juga diketahui oleh pak Mulawarman ini.
“Ooh. Saya juga mau ke Gendang Permai. Tadi saksi saya menghubungi pakai Handy Talky. Katanya ada surat suara tertukar di sana.”
“Pakai Handy Talky? Maksud Bapak?”
“Hiyalah, Bapak. Mana ada sinyal di sana. Kami hanya mengandalkan Handy Talky untuk komunikasi.”
“Ooh,” gumam Adelio sambil menganggu-anggukan kepalanya.
“Kalau Bapak mau ke sana. Ikut saya saja. Speed boat saya masih kosong ini. Gratis,” tawar pak Mulawarman.
Adelio tersenyum. “Tidak usahlah, Pak. Saya sudah dengan Bapak ini,” tukas Adelio menjelaskan sambil menunjuk Bapak pengemudi speedboat itu.