Adelio saling pandang dengan anggota Bawaslu yang ada di situ. “Apakah tidak ada solusi lainnya lagi, Bapak?” tanya Rino anggota Bawaslu kecamatan itu.
Adelio berpikir keras. “Atau begini saja. Perolehan suara itu kita berikan ke partai saja, bagaimana? Ke partai masing-masing yang terpilih di situ.”
Agak lama mereka terdiam. “Sepertinya lebih adil. Saya setuju,” ujar seseorang dari Partai kalang Kabut.
“Saya juga Setuju,” timbal seseorang dari Partai Angin Ribut.
Akhirnya semua caleg partai yang berada di situ menyatakan setuju dengan pilihan kebijakan Adelio. Dia mengelus dada. Lega.
“Sepertinya tidak ada masalah lagi, kan?” ujar Adelio sambil menoleh ke arah anggota Bawaslu.
“Saya rasapun itu solusi terbaiknya,” tukas anggota Bawaslu itu membenarkan tindakan yang telah diambilnya.
“Okay, kita nyatakan penghitungan suara dilanjutkan?”
“Silakan Bapak!” ujar anggota Bawaslu kecamatan itu.
Akhirnya penghitungan suara dilanjutkan sampai pada malam hari. Karena sesuai aturannya harus diselesaikan pada hari pemungutan suara. Adelio menunggu sampai pukul 23.40 WIB. Kemudian dia lalu pulang ke kota Rotan. Sudah pukul 01.19 baru sampai. Lalu dia menaiki motornya sekitar 16 menit baru sampai ke rumah.
Adelio memasuki rumahnya dengan perlahan. Dia membawa kunci sendiri, sehingga bisa memasuki rumahnya tanpa menggangu tidur para penghuni lainnya. Di rumah ini hanya mereka bertiga, ayahnya dan Cehan, seseorang yang digaji oleh Adelio untuk mengurusi ayahnya yang sudah tua itu.
Setelah mandi bersih menggunakan air hangat dan minum air madu, Adelio pun pergi tidur. Karena kecapean, tidak lama dia sudah terlelap. Tetapi suatu ketika tiba-tiba dia sudah terbangun. Lalu buru-buru rasanya pergi ke sungai, mau buang air besar.
Dia rasanya kembali ke jaman masa kecilnya. Lalu dia tergelincir dan terjatuh ke bagian sungai yang pusaran airnya sangat kuat. Dia berusaha melepaskan diri dari hisapan pusaran air yang begitu kencang. Tetapi tidak mudah, meskipun Adelio telah berusaha sekuat tenaga. Rasanya dia semakin lemah menghadapi arus air yang tidak ada melemahnya itu. Derasnya arus dan hisapannya tetap konstan.
Lalu seseorang dari pinggiran sungai memanggilnya. Semakin lama semakin kuat. Sepertinya orang itu mengarahkan bagaimana menyelamatkan diri. Lalu orang itu berteriak kuat agar Adelio memegang tali yang dia lemparkan. Tiba-tiba Adelio tersadar. Sepertinya bukan mimpi. Ada suara-suara memanggilnya dari luar rumah.
Dia bangun. Duduk sebentar. Melirik jam tangannya, “pukul 3 dini hari.” Setelah merasa sudah sadar sepenuhnya, dia berdiri perlahan dan berjalan menuju ke arah pintu kamar tidur dan membukanya. Tetapi anehnya kok ruang tamu pintunya terbuka lebar. Lampunya juga hidup. Padahal rasanya tadi sudah dia matikan sebelum tidur. Dan diluar ruangan ada ramai orang berkumpul.
Salah seorang sedang mengetuk pintu rumahnya yang terbuka. Badannya sangat besar, tinggi, dan gendut. Tidak memakai baju dan bagian atas tubuhnya penuh tato. “Tok…tok…tok…Pak. Tok … tok … tok …, Pak. Tok … tok … tok … Pak!” suara ketokan di pintu di sertai suara panggilan.
“Ya,” sahut Adelio sambil menuju keluar pintu.
“Oh,” seru orang itu sedikit terkejut ketika melihat Adelio muncul. “Apakah ini orangtuanya, Bapak?” tanyanya ramah sambil menunjuk jari telunjuknya ke arah seseorang yang sedang duduk melamun menghadap ke arah kolam di depan rumah Adelio.
Sikap dan tutur kata laki-laki itu sama sekali berbeda jika melihat kesan tubuhnya yang penuh tato yang identik dengan para preman yang sering bersikap kasar. Tetapi yang ini ternyata baik dan ramah. So, don't judge a book by its cover.
Sekilas Adelio melihat itu memang postur ayahnya. Tapi kok bisa berada di luar. Seseorang seperti ayahnya itu menggendong tas ransel, sementara di dekat kakinya masih ada sebuah tas dan kantong-kantong plastik lainnya lagi.
Dia segera turun untuk memastikannya. “Ayah, mengapa bisa begini?” tanya Adelio sangat khawatir ketika tahu itu memang benar ayahnya.
“Jadi memang Bapak, saudara?” tanya para lelaki yang mengantarnya itu. Sekarang baru Adelio menyadari jika mereka berjumlah enam orang.
“Memang ayah saya. Sepertinya dia keluar entah jam berapa ketika saya sudah tidur.”
“Syukurlah kalau benar begitu. Jadi kami tidak sia-sia membawanya ke sini.”